Monday, December 27, 2004

Wartawan itu Jelas Sudah Gila

Beberapa hari yang lalu saya menonton reportase tentang jatuhnya sebuah helikopter. Dimana ya? Saya lupa. Pokoknya saya cuma ingat nama helikopternya Super Puma. Itupun saya ingat karena namanya sangat mirip dengan merek dompet saya.

Jujur saja sebenarnya saya tidak tertarik pada kejatuhan sang helikopter _yang diakui sebagai akibat cuaca yang sangat buruk_ itu. Namun saya lebih memperhatikan orang yang bersedih karena kehilangan orang-orang yang tewas dalam kecelakaan itu.

Nelongso sekali kelihatannya. Bagaimana tidak? Setiap hari mereka pasti berpikir, orang tersebut akan pulang. Memang tidak besok, paling tidak bulan depan, atau tahun depan. Yang penting pulang dan masih bisa dipeluk, berbicara, tertawa bersama. Nah tiba-tiba, juedhhherrr....kejadianlah....

Herannya (yang membuat saya panas hati), si wartawan yang meliput. Ingin rasanya saya gampar. Betul-betul tidak menghagai orang lain. Yang lagi serenggukan, diwawancara. Udah gitu yang ditanya pasti hal-hal yang tidak penting. Ada firasat tidak? Bagaimana keseharian si korban waktu hidup? Gimana yang serenggukan gak makin nelongso? Paling parahnya lagi, semuanya ditampilkan secara nasional. Dan tidak cukup sampai disitu, anak si korban yang masih tidak tahu apa-apa tentang kematian juga ikut diwawancara. Lalu si wartawan memanis-maniskan suaranya, diimut-imutkan. Papa gimana orangnya? Sedih gak, Papa meninggal? APA COBAAAA????

Pertama. Pelanggaran privacy. Menurut saya waktu berkabung adalah waktu pribadi. Tidak seharusnya diganggu, apalagi disbarluaskan ke seluruh nusantara.

Kedua. Nilai sesama manusia. Wartawan itu jelas sudah gila. Di saat orang lain berkabung, sempat-sempatnya dia memperjuangkan karirnya. Mengganggu proses perkabungan dengan menyeruak, dengan mik di tangan, kameramen, pertanyaan yang tidak penting, jelas semuanya mengganggu. Menindas hak orang lain untuk berkabung

Ketiga. Alasan tidak masuk akal. Karena kalau dipertanyakan, si wartawan jelas membela kelakuannya sebagai tindak nyata dari kebebasan pers. Bahwa mereka bertanggung jawab memberitakan kejadian kepada masyarakat. Saya rasa kebebasan disitu seharusnya tidak termasuk bebas merampas kebebasan orang lain.

Keempat. Apa tujuannya. Ini yang salah satu yang tidak saya mengerti. Apa tujuannya dia menganggu saat berkabung orang hanya demi waktu semenit, dua menit di televisi. Apa maksudnya memancing rasa prihatin penonton? Sekali lagi. Apa tujuannya? Lantas kalau pemirsa prihatin, apa yang terjadi? Tidak bisa mengubah apapun toh?

Kelima. Nilai etis. Wah saya tidak mau ngomongin ini ah...

Saya selalu berpendapat wartawan atau jurnalis itu pasti orang yang luar biasa pintarnya. Saya sering terkagum-kagum kalau mendengar acara berita di televisi. Apalagi kalau sudah diskusi dengan seseorang. Rasanya semua buku di dunia ini sudah mereka baca!

Namun banyak juga yang membuat saya menggaruk-garuk kepala. Apalagi wartawan infotainment. Kalau tidak dijawab pertanyaannya, mereka marah. Saya ingat pernah menonton reportase tentang Sarah Sechan kalau saya tidak salah. Nah, dia menolak untuk berkomentar. Lantas si wartawan marah-marah sambil memukul mobilnya, memukul suaminya sekalian sambil memaki-maki. Kalau tidak dijawab mereka berkata ‘tolong dong mbak...’. gak ngerti maksudnya minta tolong apa. Kalo si selebritisnya yang minta tolong jangan diganggu, dia mau apa tidak? Jadi heran.

Belum lagi kalau si wartawan merasa berjasa atas keberhasilan si selebritis. Wadooohh... mungkin memang iya, namun seharusnya tanda jasa itu diberikan, bukannya disadari.

Bukan mau sok menjadi pengamat dunia pers, namun semua orang juga tahu kalau dulu pers dikontrol oleh pihak tertentu. Nah begitu diberi kebebasan kok malah jadi mengontrol?

Hah...sudahlah!

Akhir kata saya ucapkan, terima kasih kepada teman-teman pers yang telah membantu karir saya sampai sejauh ini... Tolong lupakan tulisan saya yang ini ketika saya menginjak dunia selebritis nanti.... Pokoknya saya berusaha sangat koperatif dengan rekan-rekan sekalian... saya akan mengadakan press conference dengan makanan enak-enak, menyogok kalian semua dengan hadiah-hadiah....(loh, kok?.......)

|

Template

Hmmmm... gak berasa ya...tiba-tiba udah natal lagi...

Saya tidak tahu. Selama ini kok otak saya malas sekali diajak bekerja. Blog ini pun tak ada pembaharuan selama hampir dua minggu (mungkin). Kenapa saya malas? Mungkin saya tidak merasa tertekan. Aneh ya? Justru saya merasa bisa menulis kalau saya tertekan atau merasa kekurangan. Hehehe...

Namun tidak sekarang! Walaupun pikiran saya tidak tertekan saya berusaha menulis lagi! Merdeka!
Kembali ke atas. Udah natal lagi. Seperti biasa pada hari besar semua operator komunikasi seluler mendadak mandek. Sms pending berhari-hari lah. Nah entah kenapa tahun ini tidak! Semua sms sampai tak terkecuali.

Saya selalu tersenyum-senyum melihat sms kalau di hari besar seperti ini. Karena pasti minimal ada empat atau lima yang isinya sama, Cuma beda namanya saja. Jadinya kok tukeran template gitu ya? Hehehe....personal touch nya udah ga ada.

Berhubung saya mudik di saat natal ini, terpaksalah saya mengikuti kebaktian di gereja tanggal 24 malam, 25 pagi, dan 26 pagi. Gosh! Too much ritual will explode my head!

Mana bahasanya ga ngerti lagi (pake bahasa batak booo). Panas! Ditambah orang-orang yang melihat saya seperti melihat binatang langka. Ah pokoknya males banget lah. Untung ada seorang teman baik saya yang mau menemani saya saat kebaktian melalui sms (I cant imagine how I pass that shit without you! Love you so.).

Nah walaupun saya tidak fasih berbahasa batak, namun saya dapat menangkap beberapa hal dari kothbah si pendeta.

Setelah mendengar, diselingi dengan bergosip, saya menyadari ada hal yang lucu. Ternyata fenomena template itu tidak hanya di dunia sms saja teman! Namun di dalam kothbah juga!

Hahaha... benar-benar membosankan. 20 tahun saya melewati natal, 20 tahun itu juga saya mendengar kothbah yang itu-itu saja intinya. Mungkin di seminari diajarkan berbagai jenis template buat kothbah. Jadi tinggal ambil sesuai suasana, lalu ganti tanggal, nama dan situasi.

Jujur saja selama beberapa tahun belakangan ini saya tidak pernah merasakan feeling chrismast-y lagi. Karena hadiah dan baju baru sudah pasti terasa biasa saja setelah umur segini. Nah saya butuh makna. Namun makna itu sendiri sepertinya sudah sangat usang karena penggunaan template tadi. Itu-ituuuuuu saja. I mean gini deh, buat apa sih membicarakan sesuatu yang orang udah tahu? Bukannya jadi useless?

Perbincangan saya dan keluarga tadi pagi sewaktu sarapan, memberikan saya inspirasi. Ibu saya ngotot harus ke gereja di pagi natal. Dan ngotot juga harus ikut perjamuan kudus. Jadi kalau ditotal, waktunya kira-kira 4 jam! Kebayang gak? Empat jam penuh berada di ruangan panas, mendengar sesuatu yang tidak dimengerti, di judge sama orang-orang. Wah saya memilih untuk tidak datang. Namun karena dipaksa terpaksalah saya datang juga. Walhasil saya jadi main foto-fotoan dengan kakak saya (hasilnya bisa dilihat di account friendster saya).

Nah entah kenapa natal itu dijadikan event setahun sekali yang monumental. Padahal sih menurut saya, orang yang mengaku orang kristen seharusnya tidak harus menunggu event kalau mau mengalami suatu kelahiran kembali. Setiap hari bisa menjadi hari natal. Setiap hari orang kristen bisa menyadari betapa beruntungnya mereka akan kedatangan si mesias. Kenapa harus hari natal? Kenapa harus pakai reminder? Aneh. Mau sadar diri saja harus nunggu occasion.

Kalo saya berpikir sih daripada saya datang kebaktian untuk mendengar kothbah template, untuk diingatkan kembali si mesias sudah datang (yang notabene 2000 tahun yang lalu), yang mengingatkan saya untuk bersyukur dan bergembira karena saya sangat disayang si pencipta, saya lebih memilih untuk tidak datang. Karena saya sudah tahu itu.

Saya menyadari itu semua. Namun tidak karena hari natal. Kesadaran itu bisa saja datang di tengah tahun. Bulan Februari, bulan Agustus atau kapanpun!

Paling bodohnya lagi, masih ada orang-orang yang masih memperdebatkan kapan tepatnya kelahiran sang mesias itu sendiri. Buat apa sih? Tanya saja pada diri sendiri kapan mesias lahir di diri masing-masing.

Nah kalau begitu lebih baik natal itu digunakan untuk berkumpul. Hari libur sangat langka. Berkumpul bersama orang tersayang yang jauh dan jarang berjumpa, kelihatannya cukup menarik. Jangan-jangan justru disitu kita tahu makna natal yang sebenarnya. Melihat betapa beruntungnya kita disayang oleh si pencipta. Melihat keberuntungan kita dari wajah-wajah orang yang kita kasihi. Menyadari beruntungnya kita diberi ijin hidup oleh si pencipta dan tidak tanggung-tanggung, diberi juru selamat pula! Karena menurut kacamata iman, semua itu adalah pemberian si pencipta. Daripada harus berpanas-panas, mendengar kothbah template, terkantuk-kantuk, dihakimi sesama...

|

Wednesday, December 15, 2004

Dongeng Sebelum Tidur

Gara- gara seorang teman, saya kok jadi tertantang untuk menulis fiksi yah? Hehehe…seperti blog ini juga saya buat gara-gara seorang teman…
Identity Crisis? Well…I’m not here to judge…apalagi nge-judge diri saya sendiri!

This is my first experience though! Jadi apa daya kalau jadinya pas-pasan? Lagian kayaknya fiksinya disini kok cuma jadi kedok doang? Hehehe…enjoy!

=====


Di dunia dunia manusia duyung, ada orangtua bernama Athena. Dia adalah pemimpin manusia duyung. Dia disegani dan dihormati. Kata-kata nya bijak dan penuh kebaikan.

Suatu hari Athena sangat berbahagia, karena mereka mendapat seorang anak duyung yang sangat cantik sekali. Karena itu mereka menamainya Helen.

Sebagai keluarga terpandang, Helen dididik dengan cara terpandang juga. Dimasukkan ke sekolah duyung bergengsi dengan para pengajar yang sangat disegani. Ada Pak Paus yang sudah berkeliling dunia dan melihat semua dunia laut. Ada Bu Tiram yang mengajarkan menghasilkan barang indah yang bernama mutiara. Ada Pak Gurita yang mengajarkan seni tari. Dan bahkan ada sang titisan dewa mengajar di sekolahnya, tentang kebijaksanaan.

Helen sendiri sangat suka belajar. Terutama tentang kebijaksanaan dari sang titisan dewa. Selain itu titisan dewa juga mengajarkan kasih sayang, dan banyak sekali pengetahuan-pengetahuan tentang dunia luar. Dan yang paling menarik adalah mengenai kebebasan individu.

Helen sejak kecil sangat disayang oleh Athena. Dan sebagai orangtua yang baik, mereka mengajak Helen untuk selalu beribadah kepada dewa. Di tempat ibadah mereka, sang titisan dewa selalu mengajarkan hal-hal yang dianggap mulia. Jangan mencuri, jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mengingini barang sesamamu, kasihilah sesama duyung. Dan banyak lagi nasihat serta petuah untuk pedoman kehidupan moral komunitas duyung. Helen selalu mendengar dengan antusias. Karena dewa ini sangat baik kelihatannya. Dan dia juga takut ketika titisan dewa berkata jika kita tidak mematuhi kemauan dewa, kita akan disiksa siang malam sampai selama-lamanya.

Suatu hari, sang titisan berkata. Hormatilah orangtuamu. Helen pun selalu menghormati orangtuanya, Athena.

“Kamu harus menjadi juara kelas” kata Athena
Baiklah… saya harus berusaha

Karena Helen memang murid yang ceras, maka dia menjadi juara sekolah.

“Kamu harus pintar menari ombak. Belajarlah pada Pak Gurita”
Wah, saya tidak suka menari… saya lebih suka belajar pada titisan dewa. Ah tapi menari itu kelihatannya indah…baiklah…

“Kamu harus pintar bermain musik. Belajarlah bermain kecapi.”
Aku tidak suka!
“Bermain musik itu bagus, kamu harus menyukainya.”
Benarkah demikian? Akan kucoba.

Namun Helen adalah duyung yang sangat ingin tahu. Bahkan tidak jarang dia muncul ke permukaan laut untuk melihat dunia yang berbeda dengan dirinya. Lalu dia melihat yang namanya manusia. Wah jadi manusia kelihatannya enak. Punya kaki, bisa berlari, dan manusia juga tampan dan cantik perawakannya. Berbeda sekali dengan apa yang dikatakan gurunya di sekolah. Di sekolah dia diajarkan kalau di dunia yang kering, makhluk bernama manusia itu kejam. Dengan tangan dan kakinya mereka merusak dunianya sendiri. Mereka buruk rupanya.

Lantas Helen bertanya pada guru yang dikasihinya, sang titisan dewa.

Apakah benar demikian guru?
“Tergantung kamu Helen. Semua bisa terlihat baik kalau kamu mau merubah konteks.”
Saya ingin tahu lebih banyak guru.
“Kamu bisa Helen. Akan kuberitahu kau sebuah rahasia, karena kau murid terkasihku. Aku punya ramuan yang membuat kamu seperti manusia. Kamu akan punya kaki dan bisa berlari seperti mereka.”

Helen tidak langsung menyambut tawaran itu. Dia harus tahu lebih banyak tentang manusia dulu. Maka dia semakin sering naik ke permukaan dan mulai mendekati perahu-perahu manusia. Dan pada suatu saat penasarannya memuncak sampai dia menghampiri perahu manusia itu.

Apakah kau manusia?
“Ya putri duyung, apa maumu?”
Aku ingin tahu tentang manusia dan dunia kering. Berceritalah.

Lalu manusia bercerita. Dia bercerita manusia itu ada yang baik ada yang jahat. Manusia banyak yang egois. Tapi tidak sedikit juga yang baik hatinya. Dunia kering itu sangat menarik. Ada makhluk bernama kuda yang berlari dengan empat kakinya. Ada makhluk bernama burung yang punya sayap. Tapi anehnya ada yang bisa terbang ada yang tidak. Dunia kering ada makhluk bernama tumbuhan yang mengeluarkan buah-buah manis.

Helen makin sering bertemu dengan si manusia hanya untuk bercakap-cakap. Lalu didalam hatinya dia ingin menjadi manusia. Menjadi manusia sepertinya menarik. Karena manusia dan dunia kering sangat seimbang. Kebaikan seimbang dengan keburukannya.

Suatu hari Athena berkata “ Kau harus menjadi penerusku, nak.”
Tidak mau. Aku ingin menjadi manusia

“Apa? Makhluk hina! Mengapa kau ingin menjadi mereka!”
Pertimbanganku terlalu banyak.

“Katakan padaku daripada kau kucambuk.”
Manusia itu (penjelasan panjang lebar). Karena itu aku ingin menjadi manusia

Athena mendengar dengan kuping terbuka namun hati tertutup.

“Tidak boleh!”
Mengapa?

“Pokoknya tidak boleh! Kamu harus menjadi penerusku.”
Oh orangtuaku, mengapa kau memaksaku menjadi sepeti yang kau mau sementara aku tidak mau? Mengapa kau tak menganggapku sebagai individu? Mengapa aku harus selalu menyesuaikan kemauanku dengan kemauanmu? Apakah alasanmu melarangku?

“Apa kata orang nanti. Aku orang terpandang!”
Aku selalu mengikuti kemauan kalian. Selalu mengadaptasi kemauan kalian walaupun aku tidak suka. Namun sekarang sudah kelewatan. Semua yang kalian mau sudah makin tak masuk akal. Oh mengapa kau mengorbankan anakmu sendiri demi kehormatanmu. Sebegitu egoisnya kah dirimu?

“Karena aku orangtuamu! Aku membesarkanmu dengan penuh cinta! Dengan penuh kasih sayang!”
Lantas apakah itu harus kubalas dengan mematuhimu? Apakah posisi sebagai orangtua memang untuk dipatuhi?

“Tidak sayang, kami melakukannya demi kebaikanmu. Manusia itu hina dan jahat”
Lantas mengapa aku tidak bisa menentukan kebaikan untuk diriku sendiri?

“Kami sudah membesarkanmu dengan penuh kasih sayang! Inikah pembalasanmu?”
Mengapakah kalian sebagai orangtua mengharapkan pembalasan kasih sayang? Kasih sayang balasan tidak seharusnya diharapkan. Biarkan itu datang dari diriku sendiri, dan dengan caraku sendiri. Dimana kasihmu yang sebenarnya, yang sering diagungkan sebagai kasih yang paling tulus? Bukankah tulus berarti tidak mengharapkan balasan? Kasih sayang orangtua seharusnya tulus tanpa pamrih.

“Kamu anak durhaka!”
Apakah kamu tidak merasa sebagai orangtua yang durhaka? Karena setelah mengharapkan balasan dari kasih sayangmu, kau menginjak-nginjak kebebasanku sebagai individu. Kapankah kalian sadar bahwa aku adalah milik diriku sendiri? Kalian durhaka karena kasih sayang kalian bukan kasih sayang sesungguhnya! Kalian mengharap pamrih dibalik menyayangiku.

“Kamu melawan!”
Aku tidak melawan, orangtuaku yang kukasihi! aku hanya mau mengikuti kata hatiku. Aku sudah lelah mengikuti kemauanmu dan membunuh kemaunku sendiri. Sampai kapan aku mensugesti kemauan kalian sebagai kemauanku? Aku sudah lelah.

“Kamu masih anak-anak! Kau tidak tahu apa yang kau percaya.”
Lantas biarlah aku mempercayainya atas resikoku sendiri. Bukankah itu yang dinamakan kedewasaan? Apalagi yang mau kau katakan?

“Kami orangtuamu!”
Apakah itu kartu jokermu, orangtua? Karena kau orangtuaku, karena kau menyayangiku, karena kau membesarkanku, karena kau melahirkanku! Kau mengharapkan balasan dari apa yang kau lakukan? Aku ingin bertanya kepadamu. Apakah sebelum aku lahir, aku pernah minta dilahirkan?

“Dewa berkata Hormatilah Orangtuamu!”
Sekarang kau memakai kata-kata dewa yang kukasihi untuk menyerangku. Sangat butuhkah kau dukungan? Aku menghormatimu selalu, oh orangtuaku. Walaupun aku tidak yakin konsep menhormati kita berada pada level yang sama. Apakah tidak terasa egois kalian meminta hormat sedangkan kalian tidak menghormatiku? Menghormati pilihanku?

Lantas karena pertengkaran ini, Helen lari menemui sang titisan dewa.

Mana ramuan itu? Aku menginginkannya.

“Apakah kau yakin?”

Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Sang titisan mengetahui Helen luar dan dalam. Bahkan dia mengetahui Helen daripada Helen sendiri. Lantas dia memberikannya.

Helen sudah memegang ramuan itu. Sekarang tinggal keputusannya. Hanya tinggal memutuskan.

=====

Seperti layaknya dongeng, harus ada moral ceritanya. Moral cerita dongeng ini adalah,
Konsep anak durhaka sudah diciptakan berabad-abad lampau. Supaya adil, mengapa kita tidak menciptakan konsep orangtua durhaka? ;-)



|

Tuesday, December 14, 2004

Jangan Terlalu Cinta

Sudah dua kali berturut-turut (termasuk ini) tulisan saya mengenai cinta dan perkawinan. Ghee…am I a lovesick bird, or what?

Jadi begini ceritanya. Teman saya pernah berkata “Jangan terlalu cinta sama cewek. Ntar kecewa”

Jujur saja saya ingin ketawa. Tapi tak mungkin saya lakukan karena dia barusan curhat yang sangat nelongso.

Nah! Kecewa karena terlalu cinta? Saya langsung ingin bertanya. Karena terlalu cinta atau terlalu banyak ekspektasi?

Karena saya sangat bingung melihat orang yang mencintai dengan embe-embel (yang tak diakui, mungkin) ekspektasi yang terlalu berlebihan. Ekspektasi seperti, “I hope he/she will be there for me all the time”, atau “ I hope we can make love tonight.” Atau “I hope we can spend our lifetime together”, “I hope you call me” “I hope you not cheat on me”…ah banyaklah…

I mean, come on! Don’t be too naïve…tidak ada seseorangpun di dunia ini yang bisa memenuhi ekspektasi kita seutuhnya. Karena memang tidak ada seorangpun di dunia ini yang sesuai persis, klop, klik, dengan maunya kita. Karena itu suatu hubungan hanya bisa diperthankan dengan usaha.

Nah kadang-kadang karena ekspektasi kita itu, cinta itu sendiri lebih diukur kepada pemenuhan ekspektasi tersebut. Jadi, makin terpenuhi ekspektasinya, kita semakin tersugesti untuk makin cinta pada si pemenuh ekspektasi tersebut atau kita merasa si pemenuh ekspektasi makin cinta terhadap kita. Lalu secara tidak sadar kita menyamakan cinta dengan ekspektasi.

Karena kita tidak jarang berkata (salah satu contoh) “Kenapa sih dia gak pernah nelpon lagi? Apa udah gak cinta lagi ya?” . Mari kita telaah satu persatu. Pertanyaan “kenapa gak nelpon” berarti menandakan si pe-nanya berekspektasi dia ditelpon. Lalu, “Apa udah gak cinta lagi” menandakan dia berspekulasi (merujuk pertanyaan sebelumnya) “gak nelpon” adalah indikasi “gak cinta lagi”, dimana ditelepon adalah ekspektasi dia. Jadi dapat diambil kesimpulan, cinta menurut si tokoh ini adalah pemenuhan ekspektasi

Jadi wajar toh, jika teman saya berkata begitu? Karena cinta menurutnya sama dengan ekspektasi. Jadi kalau terlalu cinta (terlalu banyak ekspektasi) maka jadinya kecewa. Karena memang mustahil semua ekspektasi bisa terpenuhi. Lalu apakah maksud pernyataan ‘cinta itu membebaskan.’? Karena banyak ekspektasi sudah pasti tak membebaskan

Tapi kalau cinta itu identik dengan kekecewaan, apa boleh buat?

|

Sunday, December 12, 2004

Bridal World

Itu judul katalog yang baru saja saya bedah. Nggak tahu dapet darimana. Tiba-tiba saja ada di rumah. Siapa yang berminat untuk menikah ya?

Buka dan buka. Isinya? Mulai dari kartu undangan ada. Kue? Ada. Jasa fotografi? Ada. Pokoknya semua ada. Kesimpulannya? Artificial.

Kue nya, ya ampun…keliatan enak juga nggak. Seperti lilin mainan raksasa yang dibentuk sedemikian rupa. Dan sudah pasti kue ini bisa dimakan pun tidak. Artificial.

Jasa fotogfrafi…pusing tujuh keliling. Apa maksudnya semua foto pre-wed ini?! (menurut saya) bagus juga tidak. Dan saya yakin seratus persen si objek foto hanya melakukan pose-pose seperti itu hanya waktu photo session saja. Sehari-hari? Mana mungkin. Mana ada pasangan yang berlari-lari di pantai sambil mengejar layangan dengan kemeja dan gaun! Mana ada wanita yang masih naik sepeda kemana-mana dan dikejar-kejar oleh sang lelaki! Dan lebih konyolnya lagi, dengan gaun dan jas lengkap. Mana ada pasangan dengan gaun dan jas sembunyi di ilalang hanya untuk ciuman! Mana ada pasangan khusus pergi ke pantai untuk bermain balon! Nyari tukang balon aja susah…Kesimpulannya? Yak! Artificial.

Make up dan wardrobe. Yang ini lagi. Gaun-gaun yang kembang gak jelas. Entah kenapa semuanya warna putih (kok ga ada ya, yang berpikiran nikah pake gaun marun, atau biru tua, atau burgundy?). Ini juga saya yakin kalau si pengantin sendiri setengah mati menahan ketidaknyamanan hanya karena tuntutan peran dalam sehari. Baju pria-nya juga. Aduh! Jas dengan sulaman-sulaman, ruffles… Tidak nyaman? Jelas. Negara tropis! Bisa-bisa panuan lagi…Tujuannya apa? Biar bagus dilihat orang. Karena dia sendiri sudah pasti tidak nyaman (mungkin dia ngaku nyaman, padahal hanya sugesti). Belum lagi harganya yang mungkin bisa memberi makan orang satu kampung. Make up nya juga. Aneh banget. Beberapa jadi seperti hantu menurut saya. Tebal. Mungkin ada tiga millimeter! Apa sangking jeleknya dia sampai tidak berani memperlihatkan muka asli? Artificial.

Dekorasi? Satu hal yang saya bingung. Kenapa pengantin harus duduk di panggung sambil tersenyum manis? Seperti ada tulisan “dilihat boleh, dipegang jangan” yang tak terlihat namun semua orang bisa membaca. Lantas bunga-bunga yang terlalu sumpek. Yang bagi saya tidak jauh beda dengan kuburan. Harus mewah, megah dan mahal. Makin mahal makin bagus.


Undangan. Makin banyak makin bagus! Makin kaya makin baik! Gak ngerti. Ngapain yah ngundang orang yang kenal pun tidak? Bingungnya yang menikah dua orang tapi yang mengundang bisa banyak sekali. Ibu, ayah, mertua, adik, kakak dan entah siapa lagi. Alasannya? Lagi-lagi karena penilaian orang lain. Bukannya bangga kalau pesta pernikahannya mengundang banyak orang (tandanya dia kaya), didatangi artis ini artis itu, pengusaha ini pengusaha itu, pejabat ini pejabat itu. Artificial.

Satu lagi! Penyewaan mobil! Buat apa ya? Kenapa harus disewa kalau mobil sendiri juga ada. Atau lebih parahnya, kenapa harus pake mobil kalau mobil saja tidak punya! Mobilnya harus mentereng. Makin mahal makin bagus. Kan lebih lucu kalau mobil yang dipakai sama dengan mobil jaman pacaran dulu. Biarpun butut tapi banyak kenangan! Lantas mobilnya dihias pita-pita, bunga-bunga, seolah mau meneriakkan pada semua orang, “WWWOOOOYYY KITA MAU KAWINNNNN!!!!”

Orang yang justru harusnya paling bahagia di waktu itu (kedua mempelai), menurut saya justru jadi yang paling menderita. Sudah jadi pajangan, terpaksa memakai baju yang tidak nyaman, tidak boleh berbuat sesukanya, makan banyak-banyak juga gak boleh (bagi yang suka makan). Pokoknya harus selalu tampil prima! Supaya apa? Yah supaya dilihat bagus oleh orang lain. Bayangkan kalau tiba-tiba si mempelai mabuk sangking bahagianya. Kalau sama orang batak, bisa jadi gossip abadi di setiap pesta. Padahal jangan-jangan itu ekspresi kebahagiaannya yang terbesar! Siapa tau? Atau sewaktu speech, si mempelai wanita tiba-tiba berkata, “Saya sangat bahagia. Suami saya sangat perkasa. Seks kami sangat memuaskan, permainan lidahnya dashyat!”. Hahaha…bisa-bisa si wanita langsung ditembak mati oleh ayahnya sekaligus mertuanya. Dan setelah membunuh si wanita, mereka bunuh diri! Padahal jangan-jangan itu ekspresi kebahagiaannya yang tertinggi….

Heran ya? Anehnya lagi hal-hal artificial itu justru lebih bisa membawa kebahagian (yang mungkin artificial juga) bagi si pengantin. Lantas lebih bahagia karena apa? Karena ikrar mereka atau justru karena hal artificial diatas? Jadi bingung…

Disela-sela menulis halaman ini saya sempat berpikir. Emang jelek apa gue yang terlalu apriori sama pernikahan yak? Oh my god! Jangan-jangan gue sirik!

|

Wednesday, December 08, 2004

The Slightest Possibility

Dahulu orang terpintar di bumi ini pernah mengira kalau bumi ini datar seperti meja. Namun sekarang (dan masih sekarang) kita tahu bumi ini berbentuk bola

Dahulu orang terpintar di bumi ini pernah mengatakan kalau matahari berputar mengelilingi bumi. Ternyata sekarang (dan masih sekarang) kita tahu kalau ternyata bumi yang berputar mengelilingi matahari.

Dahulu ada tetapan baku mana timur mana barat. Sekarang (dan masih sekarang) kita sudah tahu bila kita terus menerus ke timur maka kita akan sampai ke barat juga.

Dahulu manusia terpintar di dunia menklasifikasikan dunia makhluk hidup hanya dalam dua kingdom. Hewan dan tumbuhan. Namun sekarang (dan masih sekarang) manusia terpintar di dunia sudah bisa mengklasifikasikan makhluk hidup lebih dari dua kingdom (karena saya bukan orang terpintar di dunia maka saya tidak tahu berapa tepatnya).

Dahulu orang menganggap perbudakan adalah hal yang wajar. Namun sekarang (dan masih sekarang) perbudakan dianggap melanggar hak asasi manusia.

Dahulu orang menganggap perempuan hanya bisa mengurus rumah tanga dan anak serta tugas-tugas domestik lainnya. Namun sekarang (dan masih sekarang) perempuan yang bekerja serta berkarier sudah dianggap lumrah.

Dahulu manusia percaya jika ada orang yang sakit, hal itu disebabkan oleh roh-roh jahat yang merasuki tubuhnya. Namun sekarang (dan masih sekarang) kita sudah tahu bahwa penyakit disebabkan oleh virus, bakteri, mutasi gen atau penyebab lain selain si roh jahat.

Dahulu orang mengetahui buah mengkudu hanya buah yang baunya gak ketulungan. Sekarang (dan masih sekarang) orang tahu kalau mengkudu berkhasiat (namun tetap bau).

Dahulu orang menganggap barter adalah cara paling efektif untuk berdagang. Namun sekarang (dan masih sekarang) kita sudah mengenal alat penukar yang diebut uang bahkan si uang sendiri konsepnya sudah berkembang sangat berkembang sekarang.

Dahulu kaum beragama menganggap Joan of Arc sebagai penyihir, pengancam gereja, dan sebutan lain. Sekarang (dan masih sekarang) beliau malah diangkat menjadi santa.

Lantas mengapa kita bisa berpikir, kalau keyakinan yang kita pegang sekarang itu mutlak? Menganggapnya benar. Lantas mengambil sikap fanatisme terhadapnya. Menutup kemungkinan akan perubahan. Mengecam perubahan dan mengecam orang yang menawarkan argumentasi baru. Menutup kemungkinan revisi. Hitam dan putih. Tidak bisa ditawar.

Kenapa jarang terbersit di pikiran kita kemungkinan terkecil, the slightest possibility, kalau apa yang kita yakini sekarang bisa jadi salah? Mungkin salah terlalu absurd. Bisa jadi ter-revisi, bisa jadi berubah sedikit atau bahkan bertolak belakang sama sekali?

Siapa tahu di masa depan orang akan berkata dengan santainya, “Maklumlah…orang jaman dulu…ilmu nya belum berkembang, masih baru tahap pasca modern, masih baru ini, masih itu, masih begini, masih begitu…”. Sama seperti kita sering berpikir demikian terhadap orang dulu.

Aaahhh… andaikan saya bisa berpikir eksponensial…..




|

Petai dan Jengkol

Saya pernah membaca artikel tentang kuliner. Diceritakan kalo seorang maestro chef dari Jepang (mungkin ya, saya lupa) datang ke Indonesia. Disitu diceritakan kalo si chef tersebut menjelajahi pasar-pasar becek, pasar tradisional, guna meneliti rempah dan hasil bumi khas Indonesia. Dan tentu saja tak terkecuali petai dan sekaligus temannya jengkol.

Lantas dia mengatakan kalau dia telah mencoba semua dan menyukai semua juga tak terkecuali si petai dan jengkol tersebut.

Sudah dapat saya bayangkan. Si petai dan jengkol pasti mendapat penilaian baru dari ibu-ibu bersasak tinggi dan para socialite yang hadir disitu. Kasihan sekali ya? Si petai dan jengkol perlu mendapat rekomendasi dulu dari si chef agar dianggap baik. Tapi kasihan juga si ibu-ibu bersasak tadi. Penilaiannya digantungkan pada rekomendasi seseorang.

Hal seperti ini juga tak terjadi pada petai dan jengkol saja. Bahakan di dunia lain juga. Mari kita ambil contoh. Just for fun, tanpa bermaksud apapun, tanpa menghina siapapun, tanpa menjelekkan siapapun, ditegaskan kembali, only just for fun. Contoh: dunia penulis.

Bahkan penulis-penulis yang dikreditkan sebagai orang pintar, berwawasan luas dan pujian-pujian lainnya. Saya pernah dengar cerita dari sahabat saya. Ada seorang pengarang yang sudah mendapat penghargaan macam-macam. Dan saat dia hendak mengeluarkan novelnya, dia mati-matian meminta kritik dari salah seorang selebritis di dunia filsafat (Kaget? Saya juga kaget kalau dunia filsafat ada seleb nya!). Memang tidak apa-apa. Bagus malah. Saya saja cenderung menutup telinga untuk kritikan.

Namun mengganggu sekali bagi saya kalau ternyata kritik si selebritis filsafat itu (dan sudah pasti) dicetak besar-besar di cover belakang, atau di cover depan sekalian. Kalo memang niatnya benar-benar membangun diri, bukankah seharusnya yang meminta kritik itu justru tidak menggunakannya sebagai alat marketing? Bahkan jika ternyata si selebritis filsafat itu akhirnya mengeluarkan pujian setinggi langit bukannya kritik yang menjatuhkan. Nah lantas jika ternyata novelnya dikritik buruk oleh si selebritis filsafat, mana mungkin dimuat di bukunya.

Ada sebuah novel. Judulnya…ah ga usah disebutlah…takut di sue. Cover belakangnya memuat tanggapan-tanggapan para ahli. Anehnya semuanya bagus atau setidaknya balance. Yang jelek? Gak mungkin dimuat. Padahal (yang saya tau) ada beberapa kritik yang menghujat habis buku ini. Tapi tidak dimuat tuh. Bahkan pada cetakan-cetakan berikutnya. Menurut saya sih bukunya ancur banget. Mati-matian merumitkan hal yang sebetulnya simple. Terlalu berusaha membuat novelnya bergaya kontemporer, membuatnya rumit, atau (shut my mouth please!!!) setidaknya berusaha berkesan cerdas, padahal akhirnya jadi sok cerdas (oke, don’t shut my mouth. Slap it!!!).

Ada dua kemungkinan sih. Si penulis (Atau publisher-nya ya? Tapi kan si penulis tetap bisa menolak…) meminta kritik, lalu dipilah-pilah mana yang menjual mana yang tidak. Lalu kemungkinan kedua, yang diminta kritik takut gak enak sama si penulisnya, takut menghancurkan perasaan si penulis (atau bisa juga takut dianggap menghambat perkembangan dunia sastra) lalu menulis hal yang balance, tidak-baik tidak-buruk. Semata-mata karena menjaga kredibilitasnya juga.

Memang banyak juga buku yang diberikan kritikan secara sukarela oleh pemberinya. Namun jika sampai meminta-minta, bahkan sampai pada tahap ‘ganggu’ (seperti misalnya datang ke rumah si kritikus secara rutin dan memohon-mohon) lalu semata-mata (bila kritiknya mendukung) hanya untuk ditampilkan agar lebih menjual. Itu yang ganggu menurut saya. Kalau bukunya bagus pasti juga akan dapat kritikan bagus juga, bukan?

Betapa kasihannya si petai, si jengkol, dan si penulis, yang butuh exclamation dari orang berkredibilitas agar dirinya dianggap bagus. Yang lebih kasihan lagi, orang-orang yang menggantungkan standarnya berdasarkan exclamation tersebut.

Maybe I’m just too cynical…

Atau ada kemungkinan lain. Si penulis atau si jengkol atau si petai begitu banci tampilnya (karena banyak yang nggak ngerti, maka saya terjemahkan menjadi eksibisionis) sampai exclamation itu harus dipamerkan kepada orang. Wah kalau yang itu saya gak mau komentar ah. Saya kan juga begitu ;p

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com