Tuesday, November 30, 2004

Ma, Tuhan itu ada gak sih?

Minggu kemarin ,seperti minggu-minggu sebelumnya, saya selalu merasa malas ikut kebaktian di gereja. Bukannya tidak mau…biasanya selalu dihalangi oleh kejadian-kejadian (yang menurut saya ;p) tak terduga. Misalnya dengan jam tidur saya yang tidak normal, bangun pagi untuk melakukan ritual adalah pilihan terakhir bagi saya. Selain itu kalau mau gereja sore, apa mau dikata saya sudah pecicilan kesana-kemari (walaupun tanpa penghasilan 20 juta sebulan. Hehehe).

Tapi dengan tekad yang kuat (dan paksaan bangun dari kakak saya), kami berdua pun pergi kebaktian. Penampilan tetap nomor satu…maka karena berdandan, kami hampir saja terlambat.

Masuk, seperti biasa, nyanyi, berdoa, pengakuan iman rasuli, lalu kothbah. Saya selalu berminat terhadap kothbah di kebaktian manapun. Memang saya akui kadang-kadang (baca: sering sekali) tujuan saya hanya mencari celah untuk mencela. Namun tidak jarang juga kok, justru membuat saya lebih berpikir.

Mulai dari pembacaan satu perikop, lalu dibahas panjang lebar. Lalu untuk menyegarkan suasana, dia menceritakan cerita tentang anaknya. Cukup menarik menurut saya. Anaknya baru kelas dua SD (atau kelas tiga yah? Saya lupa). Karena mengalami suatu kejadian, dia bertanya kepada ibunya (yang notabene pendeta, begitu juga ayahnya) pertanyaan yang mengejutkan sang ibu.

“Ma, Tuhan itu ada gak sih?”

Jujur saja, pikiran saya yang mulai ngelantur langsung fokus lagi. Si penginjil lalu bercerita. Dia (tentu saja) sudah mengajarkan konsep keTuhanan kepada sang anak. Mengajarkan dari mulai dasar sampai ritual. Lantas si anak bertanya demikian. Wah…wah…wah…anak sekarang pinter-pinter ya? (Bukan maksud saya mencari dukungan, tapi lihat deh artikel “Kami Butuh Bahasa Baru”. Nyambung looohh…)

Memang akhirnya udah ketebak. Tentu saja si anak kemudian berakhir dengan kepercayaan akan eksistensi Tuhan. Yang mau saya bahas adalah keterbukaan si ibu sekaligus penginjil yang mengakui kalau memang (ini pengakuan dia lho) semua ilmu tentang Tuhan mungkin dia bisa ajarkan, namun masalah percaya apa tidak, tetap tergantung pada orang pribadi. Tergantung dengan hubungan atau kejadian pribadi dengan si Tuhan itu sendiri.

Lalu saya berfikir. Oke. Saya setuju dengan si pendeta. Tanpa bermaksud merusak konsep itu, timbul pertanyaan, mengapa ya banyak orang justru menekankan pentingnya ritualitas daripada religiusitas? Kalau menurut pacar saya sih (yang merasa dibicarakan, I love you! Huahahahha…!!!) secara filosofis kan seharusnya ritualitas menunjang religiusitas. Namun karena masalah konsep kejadian pribadi tadi itu, menurut saya ritualitas itu sendiri tidak bisa diharapkan akan berefek sama pada setiap orang. Ah, itu nantilah di bahas di artikel lain…

Saya dengan tulus mengatakan saya kagum terhadap penginjil yang satu ini. Keterbukaannya terhadap kenyataan membuat dia bisa belajar lebih banyak lagi. Karena biasanya orang-orang kebanyakan (termasuk saya, mungkin) biasanya hanya mau menerima apa yang mau diterima. Contoh: buku-buku self-help biasanya memuat fakta-fakta pendukung saja. Mana mungkin dibuat fakta-fakta yang menyerang. Padahal menurut saya justru kontradiksi seperti itu akan memudahkan saya untuk menilai, lalu saya dapat berusaha sendiri untuk mencari hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi.

Niatnya sih saya mau nyelametin dia lantas diskusi lebih lanjut. Tapi saya takut akan efek-efek serta kejadian-kejadian yang mungkin terjadi selanjutnya, ataupun ekspektasi dari dia yang tidak mungkin saya penuhi. Maka saya memutuskan pergi makan nasi rames dengan kakak saya.

|

Monday, November 29, 2004

Comparison

Lebih tinggi lebih rendah. Comparison. Mengapa?

Saya selalu heran melihat ada orang yang bisa-bisanya melihat dirinya lebih tinggi (jelas yang saya maksud bukan tinggi badan) atau lebih rendah dari orang lain sebagai manusia. Ataupun melihat sesuatu lebih tinggi daripada yang lain. Agama lebih tinggi dari sains. Agama saya lebih tinggi daripada agama lain. Pria lebih tinggi dibanding wanita. Ras ini lebih tinggi daripada ras itu. Anak universitas ini lebih tinggi daripada universitas itu. Anak IPA lebih tinggi daripada anak IPS. Heteroseksualitas lebih tinggi dibanding homoseksualitas. Pilot lebih tinggi daripada tukang becak.

Comparison seperti ini selalu mendorong kita untuk menge-judge lebih lanjut. Bagi orang-orang ‘tinggi’ yang mau dinilai sebagai orang baik berpikir, kasihannya dia…kita harus menyelamatkannya. Bagi orang-orang yang tidak peduli anggapan orang tentang baik tidaknya dia, pasti menghujat. Dasar anak IPS! Ngehitung gini aja ga bisa. Ga bisa berpikir logis! Sistematis!

Ckckckck…lantas dari situ si orang yang posisinya lebih rendah (karena tidak didukung pencarian lebih lanjut) lantas melakukan dua kemungkinan. Pertama, menolak. Enak aja! Siapa bilang kita ga bisa ngehitung? Emang kita ga belajar matematika? Begitu kata anak IPS. Kedua mengakui kalau posisinya memang lebih rendah. Iya…aku memang bersalah…memang hal seperti itu dilarang oleh agama, aku salah, aku berdosa, aku lebih miskin, aku lebih bodoh…

Lantas tindak lanjut dari orang baik tadi, sok mau menerima. Dengan niat heroik mau merubahnya ke arah yang benar. Menurut standar siapa saya gak tau. Menerima juga secara wacana saja. Secara realita? Belum tentu. Lalu si posisi ‘rendah menolak’ membentuk kubu-kubu perlawanan. Lalu membenci. Dan kemudian saling membenci. Si lebih ‘rendah menerima’ ikut saja kata si orang baik. Mengikuti semua terapi-terapi, pelatihan, atau apapun yang difasilitasi si baik untuk memenuhi ekspektasi si baik.

Ekspektasi! Satu hal yang saya lupa. Selain itu comparison seperti ini juga memancing kita membuat ekspektasi yang tidak-tidak. Si baik mengekspektasikan si rendah untuk ikut caranya, berubah menjadi cara yang menurut dia benar. Si ‘rendah menerima’ mengekspektasikan dia berubah menurut kata si tinggi. Padahal belum tentu berhasil dan belum tentu benar bahkan menurut apa yang dianut si tinggi. Si ‘rendah melawan’ akan meminta kesetaraan, meminta diterima, yang justru makin disudutkan oleh si tinggi (yang biasanya lebih mayoritas, lebih mainstream).

Saya tidak mengerti. Kenapa ya? Tinggi rendah, salah benar. Kalo di dunia ilmu pasti, hal seperti itu memang ada. Walaupun itupun tetap relatif. 1 lebih rendah dari 2. pasti. Tapi tetap pada circumstances bagaimana? Air dipanaskan akan mendidih. Pasti. Tapi dalam circumstances yang bagaimana? Nah di dunia sosial? Lebih absurd lagi. Salah menurut siapa? Benar menurut siapa?

Tak saya pungkiri saya pun kadang berpikir seperti si ‘tinggi’, seperti si ‘rendah menolak’ atau si ‘rendah menerima’.

Tidak cukupkah kita melihat semua hal tersebut sebagai hal yang berbeda? Berbeda! Itu saja! Tidak lebih buruk, lebih baik, salah, atau benar.

|

Sunday, November 21, 2004

Semua Serba Seragam

Kampus saya begitu membosankan. Selain kuliahnya, entah kenapa orang-orang nya juga. Semuanya typical. Begini penjabarannya.

Laki-laki nya (rata-rata) memakai kemeja, kancingnya dibuka dua atau tiga, bermotif, lengan pendek. Celananya melebar di bawah (sampai bisa nyembunyiin anak ayam kale), sepatu pantofel atau sepatu basket. Terus di tangan harus ada item-item sebagai berikut: ponsel, Marlboro merah, Marlboro hijau atau putih, kunci mobil dan file folder. Oh ya! Tidak ketinggalan kalung rantai emas. Sedangkan wanita nya (rata-rata) memakai atasan yang sudah pasti terbuka, warna-warna terkini, potongan asimetris. Lantas memakai rok renda atau celana melebar atau celana 7/8. stiletto bertali. Tas tangan dan buku kuliahan.

Hmmmmmm…bosannya….

Keseragaman. Mangapa? Keseragaman bukannya justru membosankan? Bahkan saya rasa para fashion designer sekalipun menyadari keseragaman adalah hal yang membosankan. Karena itu justru dunia fashion selalu berlomba mengeluarkan hal-hal aneh, paling-lain-daripada-yang-lain, dan selalu berganti.

What a pity…melihat keseragaman ini…. Bukanya kita sudah lelah diseragamkan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas? Mulai dari berpakaian, sikap, sampai pola pikir? Coba deh. Anak-anak TK kalau disuruh menggambar pemandangan, apa yang akan mereka gambar? Mulai dari Sabang sampai Merauke pasti rata-rata akan menggambar dua gunung, ada matahari menyembul, lalu awan-awan. Lantas dibuat sungai berkelok-kelok atau jalan di tengah gambar, lebar di bawah frame nya dan menjadi titik di garis horison. Lalu disebelah kanan ada sawah atau danau, dan disebelah kiri ada rumah penduduk. Belum lagi jika anak-anak smp atau smu bahkan anak kuliahan ditanya, apa jenis musik kesukaan mereka. Jawabannya? 90 persen menjawab: R 'n B dan Hip Hop (gheeee). Lantas, mengapa kita harus seragam juga disaat ketidakseragaman tidak mendapat hukuman lagi? Ooo…mungkin saya salah. Saya tidak memperhitungkan hukuman sosial.

Ada suatu teori menarik yang pernah saya baca di salah satu buku Pater Drost. Kata artikel tersebut, tanpa refleksi atas pengalaman hidup kaum muda akan berusaha menyesuaikan diri dengan (apa) yang berlaku sekarang. Dan ini sama sekali bukan pengembangan diri melainkan tenggelam dalam konformisme. Konformisme disini diartikan sebagai sikap ikut-ikutan saja. Sehingga karena identitas diri yang masih lemah, dibutuhkan pengukuhan atas jati diri tersebut. Seperti pengukuhan dan diterima oleh kelompok sebaya. Apakah kolot atau modern tidak menjadi masalah. Dan kelompok itu akan menuntut penyesuaian mutlak. Sehingga konformisme seperti ini dianggap berbahaya karena mematikan identitas diri. Itu realita. Selanjutnya dijelaskan bahwa keadaan ini makin diperburuk lagi oleh keadaan pendidikan kita. Menyeragamkan segala hal. Sehingga kepribadian diri dan ciri-ciri khas lingkungan tidak boleh ada lagi. Dst….dst….

Wah kalau begitu banyak orang di kampus saya (saya tidak berani berkata di kampus lain), hanya mencari konformisme? Mengapa? Apakah mereka takut tidak diterima publik? Mengapa? Rendahnya kepercayaan diri mereka sendiri? Wah saya tidak tahu. Identitas mereka kacau balau? Masa sih? Bukannya masa pencarian jati diri harusnya sudah berhenti pada masa-masa SMU? Takut dikenakan sanksi sosial? Wah itu hanya mempertegas yang saya bicarakan di paragraf lima diatas, yang sebenarnya merupakan keprihatinan.

Ada lagi kasus lain. Ada seorang teman baik saya yang menyukai (katanya) lagu-lagu ‘yang agak cadas atau cadas sekalian’. Lagu-lagu seperti Limp Bizkit, Linkin Park, atau apalah, saya juga ga gitu tau. Semuanya diletakkan di dashboard mobilnya. Namun saya sempat iseng membuka laci mobilnya. Lalu saya melihat kaset-kaset yang justru kebalikannya. Boyband! Backstreet Boys, dan teman-temannya sekalian. Saya tersenyum. Dia langsung panik menutup-nutup laci mobilnya. Malu. Lalu saya pernah sekali membawa salah satu cd jazz kesayangan saya. Tidak sengaja tertinggal di dashboard nya. Lalu dia memanggil saya dan berkata, “Ini cd elu jangan ditinggal. Ntar malu lagi gue kalo disangka orang suka jazz…”. Memprihatinkan saat selera pun harus disesuaikan dengan pendapat orang lain.

Saya sungguh merindukan pemandangan yang beragam. Di mana semua orang (atau setidaknya banyak orang) mempunyai gaya sendiri-sendiri. Sesuai apa yang menurut mereka bagus. Bukan apa yang menurut orang bagus.

Takutnya, hal ini tidak hanya berakhir di cara berpakaian. Namun ke hal-hal lain. Mungkin masalah konformasi dan penyeragaman ini akan membawa kita semua ke generasi yang maunya bilang iya saja. Menurut saja apa kata orang. Belum lagi ditambah embel-embel tidak kreatif, malas memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain. Mem-beo saja kepada orang yang lebih atas atau lebih pintar. Pendeknya, pokoknya setuju. Lalu para atasan akan seenaknya kepada bawahan. Menekan jiwa kreatif, tidak mentolerir ketidaksetujuan karena arogansi nya. Mengapa? karena dari zaman sekolah sudah ditekankan kalau guru selalu benar. Kalau ada yang salah dihukum. Melawan guru apalagi…

Saya sadar kalau memang fenomena konformasi ini mungkin sudah berlangsung sejak dulu. Namun saya tidak habis pikir kenapa sampai sekarang orang-orang masih terpaku pada prinsip yang sama. Lantas siapa yang mau disalahkan? Tatanan sosial? Sistem pendidikan?

Wah…saya tidak mau nge-judge….
Saya kan cinta damai ;p

|

Thursday, November 18, 2004

E Sama Dengan Em Kali Ce Kuadrat

Orang Indonesia memang sudah gila. Entah kenpa sajian-sajian televisi nasional sudah tidak ada lagi yang bisa menghibur saya. Jangan-jangan memang satupun tak ada yang ditujukan untuk menghibur. Saya tidak tahu.

Yang acara gossip lah, yang sinetron lah, yang mistik lah. Nah yang terakhir ini paling sering saya lihat. Mulai dari uji nyali, komunikasi dengan alam gaib, semuanya saya tonton dengan sedikit memiringkan kepala dan memicingkan mata. Kenapa sih? Pikir saya.

Cuma satu hal yang saya ingat. Ada seorang dukun atau apalah sebutannya, bisa memasukkan benda (seperti paku, kristal, atau benda padat lainnya) ke dalam tubuh manusia! Tanpa bedah! Ckckckck…jujur saja saya terkagum-kagum. Memuaskan keingintahuan saya, kemudian saya bertanya kesana-kesini. Mulai dari teman, orang pintar, sampai orang yang mendalami hal-hal seperti itu. Bukannya tertarik memasukkan benda padat ke tubuh saya (that must be hurt!!!), Cuma pengen tahu emang bener gak sih?

Yah akhirnya saya tahu memang kejadian itu bisa terjadi bagi orang-orang ber’ilmu’ tinggi. Jadi secara kronologis, si orang yang berilmu tinggi mengubah benda-benda padat tersebut menjadi energi lalu memindahkannya ke tubuh sasaran, lalu di tubuh itu energi tersebut diubah kembali menjadi benda semula. Wah seremmmnyyaaaaa….saya berpikir.

Namun saya berpikir lagi. Kok bisa sih? Kalau masalah kekuatan yang divisualkan sebagai kegelapan bagi banyak orang, saya gak tau. Cuma yang saya pikirkan, hebat nya orang Indonesia ini!

Betapa tidak? Einstein si tukang tidur (tidur hampir sebelas jam sehari), belum begitu lama dari sekarang telah menemukan kalau semua hakikat massa hanyalah salah satu bentuk energi. Namun lama sebelum itu, orang-orang Indonesia sudah dapat mengubah benda menjadi energi dan mengubahnya kembali menjadi benda semula! Wah wah wah… memang Einstein menemukan rumusannya, tapi orang Indonesia juga yang sudah bisa mempraktekkannya secara langsung. Bahkan dari jaman dahulu!

Mungkin saya salah tangkap mengenai konsep energi si dukun dan konsep energi si Einstein. Tapi kok jadinya masuk akal ya? Orang Indonesia memang hebat…….

|

Kami Butuh Bahasa Baru

Sehabis kuliah saya seperti biasa berjalan menuju kantin, rumah kedua saya. Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba saya melihat sesuatu di majalah dinding yang cukup menarik perhatian saya. Sebuah newsletter dengan judul ‘Beautiful Heart’. Yang menarik perhatian saya (selain tulisan gratis yang ditambah dengan tanda seru) adalah imaji Tuhan Yesus yang di cutout di Photoshop. Saya berfikir jangan-jangan ini newsletter keagamaan. Ah, tapi apa salahnya dilihat.

Isinya edan. Ternyata isinya lebih banyak mengkritik si agama itu sendiri, dan mungkin bisa memancing kemarahan masa. Apalagi di kampus saya yang notabene kampus Kristen ini. Namun mungkin untuk menghindari hal-hal seperti itu, si pembuatnya tidak memberitahukan identitasnya walaupun tersirat. Well, semua orang pasti punya alasan
masing-masing.

Sebenarnya saya bukan mau membahas itu. Ada artikel yang menarik buat saya disitu. Judulnya ‘Ethics Without God or God Without Ethics’ oleh J Billings. Jadi isinya mengungkapkan keraguan; mana yang lebih baik diantara kedua hal tersebut. Isinya mengenai pendapat ateis versus agamawan. Ini kutipannya

“...in fact”, says the atheist, “it is the Christian who admits that difference between right and wrong is unclear; all the Christian knows is what is sin according to God and what is sin. What a pity that the only reason you, a Christian, do not steal is because your God threatened you with horrible punishment if you do. I’m sorry you don’t know that stealing is wrong. It causes innocent people to suffer and inflicting of needless pain is the worst of all crimes...”

Ha! Mungkin si ateis hanya menyederhanakan contohnya. Lagian siapa sih yang gak tau kalau mencuri itu salah? Namun kesimpulannya mungkin, kasihan sekali orang-orang yang beragama tidak melakukan hal-hal buruk hanya karena semata-mata takut dihukum Tuhan. Bukan beranjak dari kesadaran kalau hal itu memang salah dan membuat orang lain menderita.

Menurut saya itu adalah contoh-contoh dari, seperti yang dikatakan Romo Mangun, bahasa-bahasa agamawan yang ketinggalan jaman. Kalau orang dahulu mungkin bisa percaya dan manggut saja diberitahukan ini-itu, manusia sekarang tidak. Kita sudah terlalu banyak tahu. Sejarah dan perkembangan sains telah menarik kita untuk membuat perkiraan bahwa Tuhan itu sendiri tidak eksis. Manusia harus mencari tahu sendiri. Manusia harus mencari jalan keluar sendiri. Hal ini memang tidak saya percayai, namun beralasan jika orang-orang berpikir demikian.

Sejarah telah membuat kedudukan Tuhan dan Gereja serta wibawa Alkitab memudar. Manusia sudah terlanjur banyak tahu. Semua bahasa agama yang dipertahankan berabad-abad dirasa sudah tidak relevan lagi.

Kehidupan jaman nabi Nuh dengan jaman kita jelas-jelas berbeda. Sosial, sains, realitas, ekonomi, atau apapunlah. Jelas semuanya berbeda. Manusia sekarang apalagi generasi muda (termasuk saya), makin kritis, makin cerdas, makin cari tahu. Pertanyaan ‘mengapa’, ’bagaimana mungkin’, sering sekali diajukan. Kami butuh bahasa baru. Manusia sekarang tidak asal percaya dengan suatu hal lalu mau mengikut. Tidak seperti kerbau yang mau saja ditusuk hidungnya dan ditarik kemana-mana. Manusia sekarang banyak mengeluarkan pertanyaan untuk memutuskan.

Seperti misalnya, di salah satu kitab suci agama (dan kitab suci lain, mungkin), ada dinyatakan wanita tidak boleh memimpin jemaat. Lantas ditengah maraknya pergerakan feminis, ditanyakan, mengapa. Jawabannya? Bisa jadi hanya ‘Karena memang kata Tuhan begitu’ atau pernyataan sejenisnya. Lalu ditanyakan. Kenapa Tuhan maunya begitu? Lantas jawabannya apa? Contoh lain. Wanita harus tunduk kepada Pria. Mengapa? Ya jawabannya jangan-jangan itu lagi. Kalau dikatakan pria lebih pintar, lebih kuat, atau lebih-lebih lainnya, jelas tidak. Pintar? Apa kabar dengan Marie Curie? Banyak laki-laki lebih bodoh dari dia. Kuat? Banyak atlit-atlit perempuan yang lebih kuat angkat besi daripada laki-laki kebanyakan. Yah pasti jawabannya kembali ke situ lagi.

Orang dulu mungkin lebih lapang dada dan tidak banyak tanya. Pokoknya iya. Apa kata pemuka agama pasti benar. Orang sekarang berbeda. Orang sekarang menyadari penuh kalau manusia bisa terintervensi dan di dalam kesadarannya itu dia dapat meragukan, apakah memang begitu maunya Tuhan? Atau jangan-jangan bisa-bisanya si pemuka agamanya aja nih? Bisa-bisa si penulis kitabnya aja nih? Manusia selalu menimbang-nimbang, memperkirakan kemungkinan, serta meragukan.

Lantas banyak orang lebih memilih tidak mempertanyakan hal-hal seperti diatas. Mencari amannya saja. Tidak mau mengambil resiko karena banyaknya lubang-lubang bahaya yang mungkin dapet menyeret kita kedalam ketidakpercayaan. Namun satu hal yang perlu diingat, pendewasaan religiusitas justru dapat diraih dengan mengambil resiko seperti itu. Walaupun mungkin kita melakukan kesalahan, setidaknya kita melakukan progress, bukannya stuck. Dan saya rasa melakukan kesalahan adalah salah satu langkah menuju pendewasaan, walaupun harus diikuti kesadaran dan perubahan.

Saya secara rutin mengikuti kegiatan keagamaan dan tidak jarang saya jumpai kepongahan pemuka agama yang mati-matian membela kalau isi kitab suci masih relevan dengan jaman sekarang walaupun dibuat berabad-abad lampau. Mungkin iya. Namun dengan penyampaian bahasa seperti itu konsep ke-Tuhanan itu sendiri tidak bisa masuk ke realita manusia modern yang sudah terlanjur banyak tahu tadi. Realitas serta dimensi penulis kitab itu sendiri jelas berbeda dengan manusia modern yang mengetahui ilmu-ilmu semesta, ilmu-ilmu fisika, ataupun ilmu lainnya dengan lebih maju.

Ibaratnya jika seorang tukang masak berbicara dengan tukang bangunan, sang tukang masak jelas kesulitan menerangkan cara mengadon roti, teknik memasak yang baik, ataupun bumbu mana yang baik untuk masakan apa. Karena dua-duanya berada di dalam realitas dan dimensi yang jelas berbeda jauh. Yang dialami si tukang masak maupun si tukang bangunan, baik pengetahuan maupun jalan hidup memang berbeda dan membentuk realita mereka masing-masing. Tidak ada yang lebih tinggi-lebih rendah, salah-benar. Yang ada hanya, beda. Itu saja

Memang susah untuk meng-kini-kan yang dahulu. Namun jika kaum tradisional menang dan menguasai agama, siap-siaplah agama dan tempat ibadah serta konsep Tuhan akan menjadi sejarah. Akan menjadi salah satu sistem kepercayaan yang dianggap anutan jaman dahulu, sama seperti kita menganggap memberi sesajen di jembatan adalah kepercayaan jaman dahulu. Tidak relevan. Tidak bisa hadir di realita sekarang.

|

Friday, November 12, 2004

Overexpecting

Suatu siang setelah pagi yang melelahkan (termasuk naik angkot berkali-kali, mengambil mobil lantas menabrakkannya ke gerbang rumah) saya merasa diri saya patut mendapat reward segelas sirup markisa (yang entah kenapa tidak habis-habis di rumah) dan beberapa menit internet session.

Buka friendster. Hummmm ga ada yang menarik. Message seperti biasa dari pria-pria gatal *wuaks*.

Masuk Yahoo messenger. Wah lumayan rame! Banyak temen yang udah online (biasanya sih memanfaatkan fasilitas kantor ;p). Ngobrol sana sini. Akirnya seorang teman berkata, “Relationship sucks”.

Ckckck. Saya heran. Kenapa ya? Trauma masa lalu? Hummmm….

Terlepas dari situ saya berpikir. Mungkin sih relationship itu sucks. Tapi kenapa ya? Melalui pemikiran serta pertapaan panjang, saya mendapatkan jawabanya. Eureka! Hehehe…menurut saya (ini menurut saya lho) mungkin relationship itu menjadi akhirnya sucks karena kita sejak awalnya udah overexpecting. Kepada siapa? Kepada apa? Saya tidak bisa menentukan pasti. Kepada pasangan? Kepada keadaan? Banyak hal yang bisa dipikirkan.

Calvin pernah bilang kepada temannya Sussie (komik Calvin and Hobbes boooo…) satu kalimat, “I Find my life is a lot easier the lower I keep everyone’s expectations.”. Hummm… Patut dipertimbangkan. Mungkin karena jiwa phlegmatic saya, kok lebih enak kedengarannya kalo “I find my life is a lot easier the lower I keep MY expectations.”. Haha! Dua dua nya sih patut dipertimbangkan menurut saya. Bahkan mungkin orang bisa pilih sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Atau digabungkan mungkin? The lower I keep everyone’s (including mine) expectations?

Lantas saya beritahukan kepadanya kutipan tadi. Lalu dia menjawab “Wah kalo gitu ngapain punya relationship?”. Saya pun mengalihkan pembicaraan. Saya tidak mau di debat. Sebab dia pintar sekali.

Coba pikir deh. Overexpecting terhadap sesuatu justru lebih memungkinkan membuat kita kecewa pada akhirnya. Saya sendiri punya contoh. Ada seorang mendekati saya yang sudah overexpecting sejak dari awal. Dia mengharap saya juga suka padanya. Dia mengharap saya tidak berhubungan dengan siapapun kecuali dia. Dia mengharap saya pada akhirnya mau jadi pasangannya. Dia mengharap saya tidak selingkuh. Dia mengharap untuk bisa memiliki saya (memiliki, saya artikan mengatur). Saya? Sama sekali tidak mengharap apa-apa. Yang dia dapat? Kecewa. Gue gitu loooohhh! Disuruh tak berhubungan dengan siapapun? Tidak selingkuh? You must be kidding me…..Di miliki oleh dia? What? Aku adalah milikku sendiri. Tak kubagi pada siapapun juga.

Saya dapat apa? Yah banyak. Perhatian (siapa sih yang ga seneng diperhatiin?), kasih sayang (huex), dicemburuin, dibayarin kemana-mana, ah banyaklah! Tapi yang pasti tidak saya dapat adalah rasa kecewa.

Anda mungkin berpendapat saya bodoh, bego, gat au apa apa, apapun lah! Saya tidak peduli. Tapi saya punya teori. Apapun yang dilakukan pasangan kita, itu adalah urusan dia. Karena dia yang melakukan. Dan begitu juga sebaliknya. Apapun yang kita lakukan adalah urusan kita sendiri.

Mungkin anda bertanya (sama seperti teman saya tadi), lantas apa gunanya relationship? Ini jawaban saya. Relationship itu sendiri hanya berpegang pada satu-satunya hal, feeling. Itu saja. Untuk membela teori ini saya mengajukan satu kasus. Apa sih sebenernya yang bisa dilakukan di dalam relationship tapi gak bisa dilakukan di friendship? Mungkin anda akan berakhir pada kesimpulan yang sama seperti kesimpulan saya. Tidak ada! Nonton bareng? Curhat? Pelukan? Ciuman? Nikah? Sex? Apa yang ngga bisa? Name it! Cuma bedanya dengan sang relationship itu tadi ya itu. Feeling tadi. Feeling-nya pasti berbeda curhat dengan sahabat disbanding sama pasangan. Sex-nya juga pasti beda antara teman dan pasangan.

Namun dengan adanya overexpecting itu tadi, jadinya inti utama (feeling, red) relationship tadi jadinya kabur. Harapan kita tak terpenuhi. Lantas kita jadi membuat defense kalau dia memang tidak cocok dengan kita. Defense kalau dia tak menghargai kita. Dan defense-defense lainnya. Lalu kita cenderung membuat diri kita merasa ilfil (bahasa gaulnya hilang feeling). Padahal orang yang cocok dengan kita belum tentu feeling nya lebih kuat daripada orang yang tidak cocok.

Wah kok kita seperti binatang ya? Hehehe… Memang kok. Tapi bedanya kita sadar kalau kita sadar. Kalo binatang nggak ;p

|

Thursday, November 11, 2004

Sombong, Pilih-Pilih Teman, Ja-im

Entah kenapa orang-orang melihat saya dengan first impression demikian. Sebenarnya saya tidak tahu apa-apa mengenai ini. Sampai pada suatu saat, saya aktif dalam sebuah kepanitiaan. Banyak orang yang membutuhkan bantuan saya sebenarnya. Tapi rata-rata (kalau semua terlalu ekstrim) tidak ada yang mau meminta langsung. Mereka semua meminta melalui perantara teman saya. Pertama sih saya gak bother sama sekali. Sampai pada suatu titik, teman saya sang perantara ini pun bosan jadi perantara dan menyuruh mereka meminta langsung pada saya. Hasilnya? Tak ada satupun yang mau. Karena jiwa penggosip sudah mendarah daging , kami pun membahas. Kenapa ya? Hasilnya sih alot. Kami sama sekali tal tahu menahu kenapa.

Akhirnya karena jiwa gossip saya sangat besar, saya bercerita kepada teman saya yang lain dan yang lain dan yang lain. Kesimpulannya? Ya judul di atas. Mereka sendiri berpendapat kalo first impression saya memang sombong, pilih-pilih teman dan jaim. Tertawa sekaligus kaget. Ya ampun! Apa kabar yaaaaa? Udah ga tau malu gini dibilang jaim? Hummmmm….
Sebenarnya saya sendiri tidak menyalahkan pendapat orang tentang saya. Itu hak dan urusan masing-masing orang. Saya juga selalu menilai orang pertama kali dari pakainnya. Tidak adil memang, namun entah kenapa firasat-firasat saya tentang sesorang yang saya nilai dari pakaian yang dikenakannya kadang-kadang banyak benarnya.

Yang bother (apa sih bahasa Indonesia nya bother?) saya adalah, usaha. Usaha orang membuktikan judge mereka. Bukannya mau membenarkan diri, saya sendiri jika menilai orang, akan saya buktikan apakah penilaian saya benar apa tidak. Pernah suatu kali saya bertemu dengan three of my hangout fellows, di tempat kesukaan kami. Biasanya sih kami hanya bertiga, namun waktu saya datang ada dua orang tambahan. Pria dan wanita. Si pria sih saya ga bisa bilang apa-apa. Judge pertama saya adalah, orang ini pendiam. Ga ngomong kalo ga perlu. Dan memang begitu keadaannya. Si wanita? Hummmmm kenapa ya? Dari cara berpakaiannya menyiratkan sepertinya ini orang ga penting deh. Well, apa salahnya dicoba. Saya ajak ngomong, saya usaha to make a conversation. Tiba-tiba entah apa alasannya dia meng-cut pembicaraan saya dengan kalimat “Emang ada yang nanya ya?”

JUEDHHHHHEEEERRRRR! Speechless seketika! Ini orang! Apa-apaan! Toleransi saya sangat besar terhadap joke. Tapi menurut saya ini benar-benar kelewatan! Yah seperti yang dia minta, saya tidak berbicara sepatah pun kepada dia kecuali ditanya. Dan kalaupun dia ngajak saya ngobrol, saya menjawab dengan diawali “ oooo…kalo yang itu mau tau?”
Anda bisa berpendapat saya tidak mampu bersosialisasi atau apapun yang anda mau. Namun saya berfikir. Saya sudah effort membangun percakapan dan tanggapan dia seperti itu. Bukannya dia tidak menikmati percakapan kami. Dia terlihat senang kok waktu kita berdua ngobrol. Apa karena saya terlalu cerewet sampai dia harus berkata demikian? Wah saya tidak tahu. Menurut saya sih nggak. Kami hanya berbicara hal-hal ringan (waktu itu kami membicarakan perawatan rambut). Dan justru menurut saya dia lebih banyak ngomong. Atau ini caranya bercanda? Wah saya tidak bisa mentolerir jika seseorang membuat effort saya menjadi bahan candaan.

Entah sadar entah tidak kalau saya udah sebel ngeliat dia, dia tetap mengajak saya ngobrol dengan obrolan yang rata-rata membuat saya tambah kesel. Hal-hal gak penting seperti warna rambut saya. Tapi pertanyaannya menghina. Apa maunya sih ini anak?
Saya selalu berpendapat betapa berharganya perasaan orang lain sampai saya selalu berhati-hati berbicara dengan orang.

Lantas mereka berdua pulang dan tinggal lah grup utama. Saya dan dua orang teman. Dan ternyata mereka juga merasa demikian. Malahan seorang teman saya menasehati, kalau kita harus bisa menurunkan level pembicaraan kita kalau berbicara dengan orang yang memang level nya lebih rendah. Karena jangan diharap mereka menaikkan level, mustahil! Begitu kata teman saya. Jahat? Pasti! Benar? Mungkin. Saya tidak pernah nge-judge orang menurut level pembicaraannya. Namun apa mau dikata ketika seorang berbicara yang ingin anda lakukan hanya menggaruk aspal sangking….apa ya? Saya juga tidak menemukan kata-kata yang tepat.
Memang sih kita tidak bisa lepas dari to judge and to be judged. Saya juga demikian. Tapi usaha dong. Pengadilan negri saja sebelum memutuskan hukuman memerlukan serangkaian sidang yang panjang dulu. Karena itu mungkin kita butuh usaha setelah nge-judge orang. Usaha pembuktian. Benarkah orang itu demikian apa tidak. Kalau kita menghindari pembuktian itu, hanya akan memperkuat kesan kalau kita adalah orang-orang yang tertutup terhadap kemungkinan dan perubahan.

Yah tapi jika kita orang yang memang tertutup seperti itu, apa boleh buat? Saya tak mampu merubah keadaan sedangkan dia sendiri tidak mau.

Sebenarnya artikel ini kesimpulannya apa sih? Anda mungkin bertanya. Lalu saya menjawab, memang gak ada……
;p

|

Thursday, November 04, 2004

Apakah Tuhan Perempuan

Pertanyaan ini sering sekali saya ajukan untuk menghadapi orang-orang yang memaksa saya mengikuti kegiatan keagamaan seperti persekutuan atau pmk atau apapun namanya itu. Bukannya mau mempertanyakan hal ini sesungguhnya, namun banyak sekali jawaban yang saya dapatkan dan justru semakin memojokkan dia dengan konsepnya. Saya sendiri tidak tahu Tuhan itu perempuan atau laki-laki. Menurt saya terlalu bodoh jika kita mencoba mendiskripsikan Tuhan dengan ukuran manusia.

Pernah suatu hari saya kuliah. Kuliah saya sangat membosankan dengan dosen yang (mungkin pintar) bodohnya gak ketulungan dalam mengajar. Lantas salah satu teman baik saya memancing saya dengan pertanyaan-pertanyaan serta ajakan untuk aktif ikut pmk (persekutuan mahasiswa Kristen). Dengan pertanyaan pamungkas ini saya berkata padanya

Saya: “Oke. Bagaimana kalo saya katakan Tuhan itu perempuan?”
Dia: “ Gak mungkin. Di dalam Alkitab sudah dibuktikan bahwa dia laki-laki sebab datang dalam Yesus Kristus”

Saya tertawa. Bukannya mau mengejek apa yang dipercayainya. Namun saya tertawa akan dua hal. Pertama, dia seorang perempuan. Kedua, dengan mengatakan Tuhan itu tidak mungkin seorang perempuan, dia sendiri telah membatasi ke-Tuhanan Tuhan itu sendiri. Bagaimana mungkin? Dia bisa menjadi apapun yang Dia mau.

Perbincangan kami berlangsung dalam waktu yang cukup lama sampai kuliah berakhir (yang kira-kira dua setengah jam), dan sama sekali alot. Masalahnya, saya mau mencoba mengerti dia dan konsepnya (mengerti belum tentu mempercayai). Namun dia sama sekali tidak. Dia selalu berpendapat saya salah, dan lebih parahnya lagi, dia berusaha sekali mengganti konsep di otak saya.

Lalu dia berkata kita sebagai umat Tuhan harus rajin ke gereja. Saya bertanya. Mengapa?
Dia (D): “Soalnya kita butuh firman Tuhan.”
Saya (S): “Emang cuma bisa di dapat di gereja?”
Dia: “Nggak, kita butuh berkumpul bersama orang seiman.”
S: “Emang cuma bisa di gereja?”
D: “Bukan begitu, kita perlu bertemu Tuhan.”
S: “Emang cuma bisa di gereja?”
Saya ke gereja. Namun saya tidak pernah berpendapat kalau hal-hal diatas hanya bisa didapatkan di gereja. Lalu dia berkata kalau kita perlu bimbingan orang untuk mengerti firman Tuhan. Saya lalu menjawab, “Manusia bisa terintervensi.” Gak tahu deh dia ngerti terintervensi apa nggak.

Pokoknya banyak sekali pertanyaan2 sejenis yang diajukannya. Namun saya tidak tahu dia merasa terpojok ataupun mencoba menyerang, dia bertanya, “Kamu kenapa sih? Udah gak percaya lagi ya sama Tuhan?”. Apa yang harus dikata? Saya pun kembali tertawa.

Lantas saya berkata kalo saya senang sekali membaca buku-buku filsafat, serta buku-buku Romo Mangun dan saya merasa banyak pelajaran tentang Tuhan yang saya dapatkan dari situ. Lalu saya berkata mungkin dia harus mulai membaca lebih banyak. Dia kembali menyerang saya. Dia berkata, “ Romo Mangun? Dia Katolik. Kita kan Protestan.”. Saya kembali tertawa. Apa-apaan ini orang! Betapa sempitnya pikirannya jika dia tidak bisa belajar dari dimensi serta kemungkinan lain. Bahkan saya sebagai pengikut Kristus bisa memetik pelajaran dari dakwah nya AA Gym sekalipun. Apalagi dari guru bangsa seperti Romo Mangun? Belum lagi buku2 filsafat yang ditulis oleh kebanyakan orang atheis. Dan saya yakin seratus persen mereka lebih mengetahui isi Alkitab dibanding saya sendiri yang berani berkata bahwa saya seorang pengikut Kristus.

Saya merasa kasihan melihatnya. Bahkan dengan saya yang masih percaya dengan Kristus saja (menurut penilaian saya) dia tidak berhasil membuat saya mengerti konsep yang dipegangnya. Bagaimana mungkin saya bisa percaya? Bagaimana lagi jika dia terbeban untuk menyebarkan firman Tuhan yang mati-matian dihapalnya kepada orang-orang atheis? Bukannya saya tidak percaya terhadap mukzizat, namun terlalu mustahil rasanya mereka mau percaya hal yang diluar rasio ketika orang yang menyebarkannya tidak bisa (atau tidak mau?) masuk ke dalam realitas mereka. Mau berkata apa dia nanti? Membacakan alkitab didepan mereka? Gak perlu. Mereka sudah tahu isinya. Jangan-jangan justru dia didebat akan keeksistensian Tuhan dengan ayat alkitab lagi (seperti banyak orang Kristen yang perang ayat). Lalu dia mau berkata apa? Terdiam dan menangis? Atau mengharap mukzizat? Mukzizat tidak akan datang jika kita tidak berusaha. Atau justru lebih parahnya lagi, dia berpendapat sang atheis benar dan ikut jadi atheis? Wah…saya tidak mau berpikir ke sana.

Meminjam kalimat Carrie Bradshaw dari sex n the city, I couldn’t help but wonder. Kira-kira apa yang diajarkan yahhhh di dalam pmk itu? (BT)

|

Kasihannya jadi perempuan.

Bukan. Ini bukan tulisan sexist yang mementingkan ego saya sebagai laki-laki. Cuma glimpse tengah malan saya yang mendorong saya membuat teh manis pekat panas, memutar (kembali) cd erykah badu lalu menghidupkan komputer untuk menulis.

Betapa kasihannya jadi perempuan! Itulah yang mengusik saya tengah malam ini. Betapa tidak? Terkungkung di dalam nilai yang dibuat laki-laki sepanjang abad. Dan yang paling parahnya adalah, sangking mendarah dagingnya, makhluk-makhluk cantik ini merasa memang beginilah seharusnya. Bahkan ibu Kartini si pembela kaumnya itupun akhirnya bersifat seperti perempuan lainnya yang harus takluk pada rejim lelaki. Misalnya memutuskan menikah hanya karena ketakutan dicap tak laku. Dimana ketakutan itu lebih merupakan produk dari sebuah ruang sosial abstrak yang invisible ciptaan laki-laki (Faruk, Women Womeni Lupus: 109-110)

Oke. Tidak sejauh itu. Ini hanya bahasan ringan yang (seharusnya) memancing senyum anda. Tapi jika kemarahan yang terpancing, apa boleh buat.
Mengapa saya mengatakan kasihan jadi perempuan? Ini paparannya.

Selalu menunggu
Sepertinya jika perempuan mempunyai pekerjaan utama, bisa dikatakan pekerjaan itu adalah menunggu. Menunggu laki-laki menghampiri, menunggu anak lahir dari kandungan, dan tidak hanya itu. Sampai hal yang paling ringan pun perempuan selalu menunggu. Menunggu air masak, menunggu nasi tanak, menunggu suami pulang, menunggu dibukakan pintu, menunggu telepon dari laki-laki, menunggu sms dari laki-laki, menunggu ajakan kencan dari laki-laki, menunggu lamaran dari laki-laki, bahkan sampai urusan seks sekalipun perempuan menunggu. Baik menunggu diajak sampai menunggu sang pasangan orgasme. Kalau tidak menunggu. Siap-siaplah dicap agresif, kurang perempuan, dan segala cap-cap lain yang tidak berbau perempuan yang entah kenapa selalu dikonotasikan negatif.

Selalu salah
Mungkin terasa basi, tapi jika seorang anak nakal, buruk nilainya, kena kasus narkoba, selalu yang disalahkan ibunya. Secara tidak sadar kita pasti sering berkata “gimana sih ibunya ngajarin dia?” atau “ibunya ga becus tuh”. Kalo anaknya pintar? Baik pula? Masuk PTN bergengsi? Jadi pejabat pajak atau pegawai negri (yang entah kenapa dianggap baik, padahal kerjaannya korupsi)? Nama si laki-laki yang terangkat. Bahkan jika ayahnya seorang pengangguran sekalipun. Contoh lain: kalau keadaan rumah bersih, rapih, jelas yang dipuji si ayah karena dianggap pintar mengatur rumah tangga. Padahal jelas si ibu yang mengepel, nyapu, ngelap jendela, mencuci pakaian sampai tangannya kasar. Si ayah? Palingan baca koran sambil minum kopi yang bahkan dibuatkan istrinya. Kalau rumah berantakan, yah si ibulah yang kena sasaran.
Ada contoh lain. Kasus pemerkosaan yang jelas-jelas karena kebiadaban laki-laki, entah kenapa yang disalahkan tetap wanitanya. Yang dibilang pakaiannya merangsang lah. Dikatain perempuannya yang gatel lah. Lantas disarankanlah makhluk cantik ini menyembunyikan kecantikannya dengan pakaian yang dicap lebih sopan, padahal belum tentu lebih nyaman.
Belum lagi jika si laki-laki selingkuh. Si perempuan pasti disalahkan karena tidak becus memuaskan pasangannya. Dan anehnya lagi dianggap lumrah oleh beberapa kaum masyarakat (dibuktikan oleh poligami yang banyak sekali pengikutnya). Kalau si perempuan yang selingkuh? Wah! Si laki-laki malahan menuai simpati dari orang-orang. Dianggap terlalu baik untuk jadi pasangan perempuan yang selingkuh tadi. Lantas dia disuruh mencari ganti yang lebih baik, lebih cantik, penurut (secara tak tersirat, mengatakan mengikuti ego si laki-laki) dan sebagainya. Si wanita hanya dicap nakal, pelacur…
Pepatah yang mengatakan ‘dibalik lelaki yang sukses pasti ada wanita hebat’, juga menggambarkan hal ini. Karena pepatah ini berbanding lurus, jika dibalikkan maka pepatah ini menjadi, ‘dibalik lelaki yang payah, pasti ada wanita yang buruk.’. Hal ini seolah-olah mengatakan si laki-laki payah karena wanitanya juga buruk. Sehingga si laki-laki payah karena salah si perempuannya.

Selalu dicap buruk jika hebat dari laki-laki
Pernah dengar quote yang mengatakan, perempuan sakti dicap penyihir, yang cantik dibilang pelacur? Sejarah telah membuktikan. Wanita yang sakti selalu dicap penyihir. Terlihat pada kisah Joan of Arc (yang notabene diangkat menjadi santa). Di masanya dia dianggap penyihir dan dihukum mati dengan cara dibakar (ya, hidup-hidup). Selain itu wanita yang terlalu pintar dianggap pelacur. Padahal tidak. Pelacur juga banyak yang bodoh. Walaupun banyak sekali yang cerdasnya minta ampun apalagi bermain dalam egoisme laki-laki. Memperalat laki-laki dengan cinta semu untuk melindunginya serta menjamin semua kebutuhannya.
Lain lagi ceritanya jika si perempuan terlalu sukses, berpendidikan tinggi, serta berpenghasilan tinggi,apalagi cantik. Laki-laki manapun (yang “harkat”nya lebih rendah) tak mau menjadi pasangannya. Dan laki-laki berharkat rendah yang inferior itu lalu membuat si perempuan terlihat buruk dengan mencap si perempuan tak laku. Padahal si laki-laki itu sendiri yang terlalu penakut dan merasa tersaingi kedudukannya, yang parahnya, oleh perempuan.

Sebenarnya masih banyak sekali list yang muncul seperti balon diotak saya. Namun rasa kantuk sudah menyerang dan saya kembali tidak perduli dengan tanggapan laki-laki terhadap perempuan. Hoaaaaaeeeemmmmmmm!!! (BT)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com