Sunday, August 20, 2006

Pengen Makan Badak

Kemaren lusa saya menyaksikan pemutaran ulang Ada Apa dengan Cinta di Trans TV. Apa saya tidak punya hal lain yang lebih baik untuk dikerjakan? Saya jujur mengakui, tidak ada sama sekali.

Saya heran kenapa film ini bisa begitu happening-nya di masa lalu. Karena setelah menontonnya untuk kedua kalinya, hanya satu hal yang bisa saya simpulkan. Film ini kampungan sekali. Pria nerd yang kebetulan suka dengan puisi, lalu mendapatkan pacar seorang perempuan populer di sekolah. Klasik. Standar. Apalagi kata-kata yang diucapkan pemainnya!

Trus, kalo lu ga punya temen, itu salah gue? Salah temen-temen gue?

Halah…

Melihat sisi logisnya, ini film betul-betul menjual impian kosong. Lihat saja si Rangga. Kutu buku, kaku, tidak punya teman, tapi apa yang terjadi? Ternyata beliau diperankan oleh that preety-dumb-boy Nicholas Syahputra. Come on, darling…dunia tidak seramah itu.

Hari ini juga saya menonton film Indonesia di RCTI yang saya lupa judulnya. Film ini bodoh sekali sampai-sampai saya merasa menghabiskan masa muda saya secara sia-sia karena menontonnya!

Apa garis merahnya? Dua film ini sama-sama tidak masuk akal dan menjual impian kosong yang probabilitas kejadiannya 0,0000001 persen.

Kalau anda sempat menonton televisi saat ini, mungkin anda menyadari dunia entertainment kita bisa jadi berada dalam jurang keterpurukan yang sangat dalam. Apalagi yang saya bicarakan selain sinetron dan infotainment sialan itu. Bukannya mau mendukung NU, tapi infotainment itu benar-benar tidak ada gunanya. Apa sih gunanya mengetahui permasalahn hidup orang yang saya kenalpun tidak? Sinetron apalagi. Setting rumah bergaya baroque gagal, lalu pemain-pemain yang tidak masuk akal jahatnya, dan tidak masuk akal baiknya dan tidak masuk akal sempurnanya.

Sinetron semacam ‘Hidayah’ dan ‘Taubat’ juga sama tidak masuk akalnya. Okelah rumah mereka tidak layak huni. Okelah semua mereka miskin. Okelah sinetron ini berbasis kejadian nyata dan berbau agama. Tapi tetap saja. Tokohnya tidak masuk akal jahatnya dan tidak masuk akal baiknya (kalau boleh saya tambahkan, tidak masuk akal bodohnya). Lalu apa yang terjadi? Si baik tanpa melakukan apa-apa selain menangis dan shalat, tiba-tiba dibalaskan dendamnya kepada si jahat oleh entah siapa saya pun tidak tahu. Orang jahatnya lalu mati dengan kudis mengerikan dan lidah menjulur tak terkira! Kembali saya katakan, come on darling, dunia tidak seramah itu.

Paling menyedihkannya, jenis hiburan semacam ini bukan main larisnya. Kenapa? Saya sudah bosan membahas masalah kebodohan bangsa ini. Mari kita bahas yang lain.

Pram pernah membahas, katanya hal ini terjadi karena rejim Soeharto melakukan pembodohan luar biasa dengan hiburan sebagai pilarnya. Yang penting rakyat senang, maka mereka tidak akan protes. Kalau boleh saya tambahkan, mungkin hal ini yang menyebabkan masyarakat indonesia kurang apresiatif terhadap seni yang lebih “serius”.

Sastra, misalnya. Bahkan karya sastra kita lebih dihargai di negri orang lain daripada kita sendiri. Apalagi? Musik? Begitu banyaknya institusi musik klasik di Indonesia yang namanya disembah-sembah di ajang internasional. Tapi di indonesia? Konser musik klasik semurah apapun tiketnya, pasti tidak pernah booming. Mencari sponsor ibaratnya seperti mencari suami idaman.

Kenapa? Simple, karena tidak menghibur.

Sudahlah, saya tidak berminat terhadap politik. Mari kita lihat kemungkinan lain.

Mungkin masyarakat kita sudah terbiasa berada dalam realita keterpurukan mulai dari kemiskinan sampai kebodohan. Kita jenuh dengan realita seperti ini. Kita sudah bosan menjadi orang miskin dan bodoh. Realita kita tidak menyenangkan. Tapi karena kita terlalu bodoh untuk mengubah realita kita sendiri, maka kita mencari-cari sesuatu yang tidak real.

Maka saya tidak heran kenapa dunia hiburan seperti ini laris manis seperti pisang goreng pontianak. Tipe hiburan seperti ini memang seperti gula pada kopi pahit, atau madu pada jamu. Betul-betul mengisi kebutuhan angan-angan kita.

Lalu ada yang salah dengan itu? Saya tidak tahu dengan anda, tapi kalau saya pribadi jelas-jelas melihat ini sebuah kekeliruan besar. Karena tanpa budaya apresiasi, maka kita semua akan tertutup akan perubahan. Tertutup akan ide-ide baru. Maka tanpa perubahan, realitas hidup yang penuh dengan kemiskinan dan kebodohan ini tidak bisa diubah. Maka kita akan tetap miskin dan bodoh.

Mungkin anda bertanya apa solusinya. Saya sendiri tidak tahu. Mungkin mengubah budaya seperti ini sama sulitnya seperti jika saya ingin memakan badak afrika seorang diri.

Kembali ke Nicholas Syahputra. Apakah ada laki-laki yang suka puisi, nerd abis, tapi punya attitude super-cool dan kebetulan bertampang manis-manja?

Dunia tidak seramah itu, teman.

Wrriten only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com