Monday, March 27, 2006

Universal (Agreement/ Disagreement)

Sampai sekarang ini semakin terkuak kalau ternyata saya memberikan image yang buruk (menurut anggapan mainstream ;p) terhadap sekitar saya. Mau contoh? Baru-baru ini seorang sahabat saya memberitahu kalau dulu dia sebelnya setengah mati melihat tampang saya. Belagu pisan, katanya. Lalu sebelum dia, seorang-yang-saya-sebut-teman-hanya-karena-alasan-formalitas juga mengatakan begitu. Tapi bedanya dengan sahabat saya yang pertama, dia tetap tidak suka melihat saya sampai detik ini. Kenapa kami dapat berbincang-bincang? That’s what I call ‘social skill’. Huehehehhe. Bahkan oknum kedua ini menyarankan salah satu sahabatnya (yang sekarang menjadi sahabat dekat saya) untuk jangan terlalu bergaul dengan saya. Katanya saya membawa pengaruh buruk. Saya hanya dapat tertawa.

Karena sudah kodrat manusia untuk selalu bertanya, maka saya bertanya-tanya. Kenapa ya? Kalau dipikir-pikir sih masuk akal juga. Saya selalu berusaha tampil maksimal (walaupun sekarang sudah tidak terlalu ;p) dalam setiap kesempatan. Kalau jalan? Jangan harap saya melihat kiri-kanan. Lurus ke depan. Dan jangan lupa dagu agak sedikit terangkat. Hummm…no wonder.

Melihat pendapat mereka tak terbantahkan, mari kita tutup bahasan mengenai hal tersebut. Mari kita buka bahasan baru.

Baru-baru ini saya mendapat masalah. Seseorang dalam circle saya (bukan sahabat, bukan teman, dan bukan juga teman-tak resmi) merasa keberatan dia menjadi bahan omongan yang tidak enak di tengah-tengah masyarakat (heh?). Pasalnya, dia melakukan sesuatu yang saya (atau kalau boleh, kami) anggap sangat tidak appropriate dalam situasi yang berlaku saat itu. Karena saya mempunyai informan handal dimana-mana, saya dalam waktu sekejap mengetahui ceritanya secara detil, seluruh masalahnya lengkap dengan kata-kata yang dilontarkannya sampai titik komanya sekalipun. Apa daya saya memang terlahir menjadi orang yang mengarahkan opini publik, saya dengan sangat antusias membicarakannya kepada semua orang. Long story short, berita tersebut sampai di telinganya. Dan dia menjadi senewen karena orang-orang berbicara tidak enak tentang dia. Orang-orang tidak setuju terhadap tindakannya. Disagree. Lalu masalahnya? Dia keberatan dengan disagreement tersebut. (Mohon bedakan ‘accept’ dengan ‘agree’; ‘menerima’ dengan ‘setuju’; ‘acceptance’ dengan ‘agreement’)

Hummm…saya heran. Kalau dia tidak menerima menjadi bahan omongan yang tidak enak di publik, kenapa dia justru melakukan hal yang memancing omongan tersebut? Kenapa dia tidak bisa menerima konsekuensi atas tindakannya sendiri? Bukankah ini yang kita sebut kekanak-kanakan? Atau bahasa kerennya: infantil.

Mari kita hubungkan dengan agreement. Menurut saya orang-orang yang kontra terhadapnya tidak menyetujui hal tersebut sebagai hal yang wajar. Hal tersebut kelewatan, tidak profesional, dan tidak berguna. Wajar kan orang-orang tidak setuju?

Ada lagi. Masalah berikutnya adalah ke-tidak-suka-an dia karena dia menjadi bahan omongan orang lain. Muncul pertanyaan lagi. Siapakah dia sampai berhak mengatur pendapat orang lain?

Dan yang paling parah, dengan bersikap seperti itu dia mengharapkan universal agreement. Dia berharap semua setuju dengan dia dan tindakan semena-mena yang dilakukannya. Tidak tahu menurut anda. Menurut saya hal ini agak sedikit tidak tahu diri. It is intriguing to say, bahkan Tuhan pun tidak punya privilege untuk mendapat universal agreement ;p

Apa yang harus kita lakukan untuk mendapat universal agreement? Menurut saya hanya satu. Mengurung diri di kamar tanpa harus bertemu dengan makhluk hidup lain. Ups maaf saya salah. Hal tersebut juga mungkin akan menerima ketidaksetujuan dari keluarganya. Bikin repot saja. Sekolah gak mau, nyapu gak mau, cuci piring gak mau. Jadi apa dong? Ga tau ya? Mungkin mati aja ;p

Saya sadar betul semua orang mengharapkan agreement. Kalau dapat ya sukur. Kalau tidak? Yah seharusnya jangan memaksakan persetujuan itu terhadap orang lain. Semua orang punya hak untuk suka atau benci toh? Mau tetap berusaha? Berikan pandangan logis. Masih tetap bersikeras? Sudahlah nak…
Huehehhehe….

Tapi apa jadinya kalau semua hal yang kita lakukan bukannya mendatangkan universal agreement, tapi justru universal disagreement. Seperti saya, misalnya?

Tidak apa-apa. Wong saya tidak keberatan dengan universal disagreement itu kok ;p


Ps. Maafkan saya kalau tulisan ini terlihat emosional (YES I AM) dan sedikit membela diri. Huehehhehehe

Only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com