Tuesday, November 22, 2005

Dapat Ponten Seratus

Saya baru-baru ini membaca suatu buku berjudul “The rise of PR, the fall of advertising”. Sahabat saya mencaci-maki buku ini dengan alasan buku itu hanya berlaku untuk ‘jualan’ saja. Saya tersenyum sendiri.

Namun saya bukan mau membahas pendapat sahabat saya atau buku itu secara keseluruhan, saya hanya tertarik membahas salah satu pendapat yang diajukannya. Buku itu berkata segala sesuatu yang sudah kehilangan fungsinya akan berubah menjadi seni. Dalam buku itu dikatakan, periklanan sudah tidak efektif lagi, sehingga dia berubah menjadi seni. Sama dengan lukisan yang dulunya dipakai untuk mengabadikan, sekarang sudah menjadi seni karena sudah dikenal kamera atau video.

Saya setuju.

Pemikiran saya beranjak kepada penilaian. Jika seni berarti sesuatu yang telah kehilangan fungsinya, apakah yang menjadi parameter untuk mengukur kualitas nya? Tentu saja menjadi abstrak.

Mobil dikatakan bagus jika dia memenuhi parameter seperti akselerasi, ergonomi, kecepatan, hemat bahan bakar, dan lain-lain. Ponsel dikatakan bagus jika mempunyai fitur kamera, bisa mengakses internet, atau apapun lah bahsa teknologi itu.

Namun bagaimana kita menilai seni? Apakah paramternya? Setelah berpikir, saya sampai pada kesimpulan, tidak ada. Seni hanya bisa dinilai secara subjektif. Istilahnya dalam lomba fotografi, mengikuti selera juri. Mungkinkah penilaian yang notabene selera individu itu distandarisasi? Tentu saja tidak. Setiap individu itu berbeda, bukan?

Saya punya contoh kasus yang sangat menarik. Tidak lama sebelum ini, saya dan teman-baru-kenal membicarakan suatu buku yang sangat saya benci. Supernova. Hehehehe. Saat itu saya hendak berenang bersama sahabat-sahabat saya (kami berbicara melalui sms).

Dia berrtanya mengapa saya membenci Supernova (yang sangat dia cintai). Saya berkata (seperti yang sering saya katakan), novel itu (menurut saya) me-rumit-kan masalah yang sebetulnya simple. Lalu saya uraikan lagi hal-hal seperti penempatan iptek yang salah (yang saya contek dari artikel seorang profesor yang dimuat di media massa terkemuka).

Entah kenapa teman saya merasa perlu bertanya, ”Lu udah baca buku itu belum?”. Tentu saja saya malas menjawab…

Lalu dia bertanya lagi apakah saya sudah membaca buku itu baik-baik? Dan dia kemudian menjabarkan kalau novel itu ternyata berbicara tentang keseimbangan otak kiri dan otak kanan, intuisi dan logika, dan hal-hal semacam itu. saya berpikir dalam hati, dia nyontek dari ulasan siapa yah? Huehehhe

Jujur saja saya baru tahu. Saya mendapat kesan memang Ny. Siahaan (nama resmi Dewi Lestari saat ini ;p) memang berbicara tentang keseimbangan, namun sejujurnya saya benar-benar tidak tahu kalau keseimbangan yang dia bicarakan adalah tentang keseimbangan otak kiri dan otak kanan.

Lalu teman saya berkata lagi kalau pendapat professor (yang menurutnya sangat emosional itu), sudah dibantah sendiri oleh Dewi sang penulis dan membuat teori si professor berada dalam area abu-abu.

Karena pembicaraan sudah berada dalam tahap aku-benar-kamu-salah, maka saya tidak menimpali. Walaupun dalam hati saya berpikir. Seorang professor ahli fisika yang menghabiskan hidupnya berkutat dalam dunia fisika bisa dibuat berada dalam grey area oleh seorang penyanyi yang kebetulan bisa menulis dan tau teori fisika dari hanya membaca sekilas? Tampak meragukan ;p

Kemudian dia berkata bahwa Supernova memang banyak kekurangannya, namun semua yang saya katakan tidak termasuk kekurangannya karena hal tersebut salah adanya. Hummm…ternyata kami kembali lagi kepada situasi aku-benar-kamu-salah.

Lalu kami sama-sama mulai judging satu sama lain.

Dia nge-judge kalau saya judgemental.

Lalu saya nge-judge juga. Saya katakan semua orang pada dasarnya memang judgemental. Yang saya maksudkan disini, bercerminlah sebelum berucap. Apakah dia menangkap maksud saya? Semoga! Wong mengeinterpretasikan pasangan homoseksual menjadi keseimbangan otak saja, bisa kok ;p

Lalu dia nge-judge, judgemental itu menilai without being wise. Apakah itu saya? Saya gagal menginterpretasikannya. Wong menginterpretasikan pasangan homoseksual saja saya tidak bisa ;p

Lalu saya bingung mau nge-judge siapa lagi. Hehehehe.

Saya menarik banyak pelajaran dari pembicaraan kami.

Yang pertama saya benar-benar membuktikan ternyata penilaian terhadap seni benar-benar hanya bisa dilakukan secara subjektif. Menurut saya bagus, menurut orang lain belum tentu. Lalu apakah yang dijadikan patokan? Tentu saja suara terbanyak.

Yang kedua, saya tetap bingung mengapa Dewi Lestari menggambarkan keseimbangan otak kiri dan otak kanan melalui pasangan homoseksual laki-laki. Apakah dunia Dewi terlalu patriarki sehingga mencap otak berada dalam dunia laki-laki? (homoseksual tetap laki-laki toh?).

Atau ada kemungkinan lain. Jangan-jangan Dewi sendiri tidak bermaksud demikian. Jangan-jangan dia hanya menganggap itu menarik dan memuatnya di novelnya.

Lalu ide siapa keseimbangan otak itu? Mungkin saja para pengulasnya. Karena berada dalam penilaian subjektif, saya gampang saja mengartikan apa saja menjadi keseimbangan otak kiri dan kanan. Kucing bertengkar dengan anjing pun bisa saya artikan menjadi keseimbangan otak kiri dan kanan. Baguskah analogi saya? Kucing dan anjing, lalu otak kiri dan otak kanan. Menurut saya itu ide buruk. Tidak tahu menurut anda.

Yang ketiga, karena berada dalam subjektifitas, maka pembahasan seperti ini seharusnya dihindarkan dari debat. Karena sistem debat yang mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, maka debat akan menjadi sia-sia. Karena benar dan salah hanya akan menjadi sesuatu yang nisbi dalam penilaian subjektif.

Keempat, karena penilaian bersifat subjektif maka setiap orang punya hak masing-masing untuk mengklaim suatu karya seni itu bagus apa tidak. Semua orang punya hak untuk suka ataupun tidak, semua orang juga punya hak memiliki alsannya masing-masing. Kebebasan menilai tentu saja sama dengan kebebasan berkreasi.

Kelima, masih tidak jauh dari poin keempat, mari berbicara interpretasi. Setiap orang tentu saja berhak mempunyai interpretasi masing-masing terhadap simbol-simbol seni. Sama dengan setiap penciptanya berhak menciptakan simbol-simbol tersebut. Jika diibaratkan dengan Supernova, tentu saja saya berhak menginterpretasikan pasangan homoseksual itu hanya semata-mata mencari sensasi saja. Wajar toh?

Keenam, saya kembali belajar bahwa impression kita terhadap seseorang seringkali merupakan refleksi dari diri kita sendiri. Seringkali proyeksi terhadap apa yang kita rasakan. Misalnya, jika saya suka kepada seseorang, saya katakan orang tersebut yang suka terhadap saya. Atau jika saya berkata seseorang sombong, jangan-jangan karena saya yang sombong. Jangan-jangan saya yang tidak menyapa atau tersenyum kepadanya.

Ditengah-tengah swimming session saya yang jelas-jelas bersuasana santai dan ceria, tentu saja pembicaraan kami berdua saya anggap lucu sekali. Apalagi dia menutup pembicaraan dengan kalimat ”Berenang lagi deh, biar otak lu dingin...”

Upssss....? Huehehhehehhe

(FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com