Debate is Masculine, Conversation is Feminine
Itu salah satu quote favorit saya. Walaupun terlepas dari pengklasifikasian gender dari sifat yang mungkin saja dimiliki tidak oleh laki-laki tidak oleh perempuan. Setelah membaca quote ini, mungkin sebagian laki-laki akan sangat bangga mengatakan kalau dia memang lebih suka debat daripada diskusi. Hummm…ini mungkin merupakan sebagian laki-laki yang insecure akan kelaki-lakiannya sendiri. Well, siapa sih yang secure di jaman sekarang?
Berbicara tentang debat dan diskusi, jujur saja saya tidak suka berdebat. Menurut saya itu tidak ada bedanya dengan anak SMU yang lagi tawuran. Tidak jarang perdebatan jusru membawa kita kepada jalan buntu. Disaat ada yang menang dan kalah, maka kita akan berbicara komparasi yang berujung kepada benar dan salah.
Nah, yang benar yang mana? Tentu saja yang membuat lawannya diam seribu bahasa. Membuat lawannya kehabisan ide, kosakata, atau konsep yang bisa menjatuhkan lawannya.
Lalu apakah yang menang selalu benar? Susah juga dijelaskan. Karena perdebatan diluar dunia ilmiah seringkali jauh dari kata benar atau salah. Karena memang begitulah tatanan hidup kita. Yang kalah juga belum tentu salah. Karena arti kebenaran di dunia sosial adalah konsep yang paling banyak diterima orang. Semakin banyak pendukung konsep tersebut, semakin benarlah konsepnya.
Kebanyakan perdebatan hanya merupakan adu tarik urat leher, keras-kerasan suara, dan seringkali bukan lagi mempermasalahkan untuk menemukan titik temu, tapi simply hanya ingin menjatuhkan lawan.
Selain itu perdebatan menutup kemungkinan orang untuk menjadi salah. Di dunia perdebatan, kesalahan tidak termaafkan (yang anehnya mirip sekali dengan sistem sekolah).
Kesalahan hanya memberi celah bagi lawan untuk menyerang kita.
Benar-benar cara primitif manusia yang dimodernisasi.
Kesalahan hanya akan mempermalukan diri sendiri dengan sanksi sosial.
Ckckckck…
Perdebatan juga sering membawa kita kepada ke-keras-kepala-an. Yang bermula (atau berujung?) kepada sikap fanatisme sempit. Menganggap semua konsep diluar pemikirannya salah. Sehingga seringkali membawa kita kepada kebencian tak beralasan. Kalau mau berbicara lebih jauh, justru akan membawa kita menjadi orang paling acuh terhadap sekitar kita, dan tidak melupakan sikap egois dan paling parahnya, bentrokan.
Mungkin anda bisa berkata, debat memang hanya bisa dilakukan orang berkepala dingin dan professional (merujuk kepada perasaan). Namun saya bisa yakin seratus persen, perdebatan (sekecil-keciiiiiiiilnya) dapat membuat susana tidak nyaman, pertikaian, dan rasa benci. Adakah yang lebih parah dari rasa benci?
Jadi jika disimpulkan apa yang saya uraikan diatas, perdebatan itu: keras kepala, jauh dari titik temu, tidak boleh salah, bentrokan, primitive, egois, rasa benci, etc, etc, etc...
So? Menjadi feminine tidak buruk-buruk amat toh?
<< Home