Tuesday, March 22, 2005

Sex Talk (Without Conclusion)

Hari minggu. Sudah dua hari ini saya tidak keluar rumah! Sangat mengagumkan! Dua hari tanpa melakukan apa-apa. Bermalas-malasan, baca buku sampai mata rabun. Biasanya saya langsung demam. Tapi kali ini entah mengapa saya tidak keberatan. Yah walaupun saya tetap keluar rumah sekedar untuk membeli makan siang saya.

Seperti biasa minggu malam ayah saya menelepon. Kangen? Saya juga tidak tahu pasti. Mungkin mereka (ayah dan ibu saya) merasa kesepian karena tidak ada lagi yang mengajak mereka berantam semenjak anak-anaknya merantau.

Udah gereja belum?

(Menipu) Udah tadi jam setengah enam.

Sama siapa?

Sendirian.
(kadang-kadang menipu lebih baik daripada berbohong)

Setelah ngalor ngidul kesana kemari tiba-tiba ayah saya bertanya,

Kapan rupanya kau selesai? (kuliah)

Dua tahun lagi lah pak (menjawab dengan jantung berdegup kencang)

Nanti kau kos aja lah. Kan kakak-kakak udah lulus semua

Iyalah pak. Atau siapa tau aku udah punya apartemen sendiri. (well…keep hoping darling…)

Wah baguslah itu! Memang kita gak boleh lupa berharap dan bermimpi. (Ajaib kata-kata ini keluar dari mulut ayah saya!). Asal kuliah selesai dululah.

(Mencoba yang lebih dashyat). Kalo aku pak, sambil kuliah maunya kerja juga.

Bagus itu (WHAAAATTT???? Bokap gue kerasukan apa nih?). Bapak aja dulu semua dibabat. Kuliah iya. Kerja iya. Kawin iya (Upsss…anti klimaks! Huahahaha)

Well, ayah saya kerasukan apa hari ini saya tidak tahu. Tapi setidaknya saya cukup lega mendengar pemikirannya tidak jauh beda dengan saya.

Kecuali masalah kawin.

Sebenarnya tidak apa-apa jika dia mengatakan pada dirinya. Namun saya hanya menangkap begitu banyak orang yang mengklasifikasikan pernikahan sebagai achievement. Apalagi di kultur saya yang notabene batak, berapapun besarnya penghasilan saya, sebanyak apapun gelar yang tercantum di nama saya, itu tidak akan berarti apa-apa kecuali saya telah menikah. Saya tidak dapat berperan apapun di dalam adat

Saya rasa begitu juga keadaannya di dalam masyarakat. Tidak jarang kita melihat orang merasa harus kasihan atau merasa harus memandang rendah kepada orang yang melajang. Saya tidak mengerti.

Jangankan menikah. Tidak punya pacar saja dianggap memalukan.

Sebenarnya apa sih yang membuat pernikahan didewa-dewakan? Saya sendiri tidak tahu pasti karena saya bukan ahli sejarah maupun antropolog.

Sejauh ini saya hanya menganggap pernikahan sebagai ticket to sex. Sex yang dilembagakan. Kalau begitu bisa diambil kesimpulan, sex itu buruk. Karena harus dapat tiket dulu untuk melakukannya. Sementara orang dulu mendewakan sex sebagai keajaiban, sampai bahkan salah satu cara untuk berjumpa tuhan. Orang bisa saja mengatakan sex itu agung oleh karena itu butuh tiket untuk melakukannya. Namun saya pribadi lebih suka pendapat yang pertama.

Atau saya punya teori lain. Manusia (saya maksudkan lelaki) menganggap partner sex mereka (perempuan) sebegitu rendahnya atau kotornya sehingga untuk melakukan sex saja perlu suatu pengesahan, perjanjian atau persetujuan orang yang pihak yang lebih tinggi (yang memberikan pengesahan perkawinan). Baiklah saya tidak punya teori pendukung apapun untuk statement ini.

Tapi masuk akal bila kita melihat ke belakang. Perempuan pernah dianggap separuh dari proses pencerahan spiritual. Karena penyatuan sex alamiah antara lelaki dan perempuan pernah dianggap cara mengutuhkan diri secara spiritual. Dua duanya seimbang. Laki-laki dan perempuan sama-sama seimbang. Keduanya saling melengkapi untuk mencapai keutuhan.

Zaman berubah. Laki-laki diatas perempuan. Selanjutnya sex dianggap kotor. (Terbukti dari orang suci yang memilih hidup tanpa sex. Diluar orang suci? Tentu saja kotor)

Lalu bila sex selanjutnya dianggap kotor dan hina, maka jangan-jangan itu bukan disebabkan masalah sex nya. Namun masalah partner sex nya. Jadi perempuan dianggap kotor sehingga berhubungan sex dengannya dianggap hina. Lalu lembaga pernikahan diperlukan untuk menaikkan status perempuan menjadi layak untuk berhubungan sex. Dan si laki-laki tidak merasa hina lagi karena si perempuan yang tadinya kotor sudah tidak kotor lagi karena pernikahan. Dan sialnya lagi, perempuan punya selaput dara yang membuktikan dia perawan atau tidak (konsep yang sangat teramat tolol), namun laki-laki tidak punya selaput penis untuk membuktikannya.

Jadi seolah-olah laki-laki menyelamatkan atau menaikkan derajat wanita dengan cara menjadikannya istri. Hal ini dapat dibuktikan dari betapa miringnya pendapat masyarakat tentang perempuan yang tidak menikah (apalagi berhubungan sex tanpa menikah). Namun tidak terlalu buruk jika laki-laki yang tidak menikah. Perempuan tidak menikah walaupun dia sesukses apapun dalam bidang lain, tetap saja disebut perawan tua (yang maknanya sangat negatif). Sedangkan laki-laki, jika tidak menikah, bisa saja dianggap keren apalagi kalau dia punya mobil sport berharga milyaran rupiah, punya rumah dimana-mana apalagi kalau punya wanita dimana-mana (Contoh: tokoh fiktif James Bond). Laki-laki dikatakan bujang lapuk jika dia selain tidak menikah, dia juga miskin dan terpuruk secara social. Perempuan? Jangan harap. Mau dia sekaya apapun, namanya tetap saja perawan tua. (Contoh: Seorang tante yang berpenghasilan 150 juta rupiah dalam sehari namun memilih untuk tidak menikah. Karena ini tidak fiktif maka lebih baik namanya tidak disebut).

Saya (dan mungkin anda juga) jadi pusing… daripada berputar-putar nggak jelas, mungkin lebih nyaman kalau sex dipisahkan dari perkawinan.

Jadi kembali ke pertanyaan awal. Kenapa pernikahan begitu didewa-dewakan? Jujur saja saya tidak tahu. Karena pembahasan saya diatas sudah ngalor ngidul gak keruan. Mungkin ada yang bisa membantu saya?

Atau topik pernikahan mungkin kurang menarik. Baiklah. Lain kali saya menulis tentang sex saja tanpa embel-embel pernikahan.

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com