Petai dan Jengkol
Saya pernah membaca artikel tentang kuliner. Diceritakan kalo seorang maestro chef dari Jepang (mungkin ya, saya lupa) datang ke Indonesia. Disitu diceritakan kalo si chef tersebut menjelajahi pasar-pasar becek, pasar tradisional, guna meneliti rempah dan hasil bumi khas Indonesia. Dan tentu saja tak terkecuali petai dan sekaligus temannya jengkol.
Lantas dia mengatakan kalau dia telah mencoba semua dan menyukai semua juga tak terkecuali si petai dan jengkol tersebut.
Sudah dapat saya bayangkan. Si petai dan jengkol pasti mendapat penilaian baru dari ibu-ibu bersasak tinggi dan para socialite yang hadir disitu. Kasihan sekali ya? Si petai dan jengkol perlu mendapat rekomendasi dulu dari si chef agar dianggap baik. Tapi kasihan juga si ibu-ibu bersasak tadi. Penilaiannya digantungkan pada rekomendasi seseorang.
Hal seperti ini juga tak terjadi pada petai dan jengkol saja. Bahakan di dunia lain juga. Mari kita ambil contoh. Just for fun, tanpa bermaksud apapun, tanpa menghina siapapun, tanpa menjelekkan siapapun, ditegaskan kembali, only just for fun. Contoh: dunia penulis.
Bahkan penulis-penulis yang dikreditkan sebagai orang pintar, berwawasan luas dan pujian-pujian lainnya. Saya pernah dengar cerita dari sahabat saya. Ada seorang pengarang yang sudah mendapat penghargaan macam-macam. Dan saat dia hendak mengeluarkan novelnya, dia mati-matian meminta kritik dari salah seorang selebritis di dunia filsafat (Kaget? Saya juga kaget kalau dunia filsafat ada seleb nya!). Memang tidak apa-apa. Bagus malah. Saya saja cenderung menutup telinga untuk kritikan.
Namun mengganggu sekali bagi saya kalau ternyata kritik si selebritis filsafat itu (dan sudah pasti) dicetak besar-besar di cover belakang, atau di cover depan sekalian. Kalo memang niatnya benar-benar membangun diri, bukankah seharusnya yang meminta kritik itu justru tidak menggunakannya sebagai alat marketing? Bahkan jika ternyata si selebritis filsafat itu akhirnya mengeluarkan pujian setinggi langit bukannya kritik yang menjatuhkan. Nah lantas jika ternyata novelnya dikritik buruk oleh si selebritis filsafat, mana mungkin dimuat di bukunya.
Ada sebuah novel. Judulnya…ah ga usah disebutlah…takut di sue. Cover belakangnya memuat tanggapan-tanggapan para ahli. Anehnya semuanya bagus atau setidaknya balance. Yang jelek? Gak mungkin dimuat. Padahal (yang saya tau) ada beberapa kritik yang menghujat habis buku ini. Tapi tidak dimuat tuh. Bahkan pada cetakan-cetakan berikutnya. Menurut saya sih bukunya ancur banget. Mati-matian merumitkan hal yang sebetulnya simple. Terlalu berusaha membuat novelnya bergaya kontemporer, membuatnya rumit, atau (shut my mouth please!!!) setidaknya berusaha berkesan cerdas, padahal akhirnya jadi sok cerdas (oke, don’t shut my mouth. Slap it!!!).
Ada dua kemungkinan sih. Si penulis (Atau publisher-nya ya? Tapi kan si penulis tetap bisa menolak…) meminta kritik, lalu dipilah-pilah mana yang menjual mana yang tidak. Lalu kemungkinan kedua, yang diminta kritik takut gak enak sama si penulisnya, takut menghancurkan perasaan si penulis (atau bisa juga takut dianggap menghambat perkembangan dunia sastra) lalu menulis hal yang balance, tidak-baik tidak-buruk. Semata-mata karena menjaga kredibilitasnya juga.
Memang banyak juga buku yang diberikan kritikan secara sukarela oleh pemberinya. Namun jika sampai meminta-minta, bahkan sampai pada tahap ‘ganggu’ (seperti misalnya datang ke rumah si kritikus secara rutin dan memohon-mohon) lalu semata-mata (bila kritiknya mendukung) hanya untuk ditampilkan agar lebih menjual. Itu yang ganggu menurut saya. Kalau bukunya bagus pasti juga akan dapat kritikan bagus juga, bukan?
Betapa kasihannya si petai, si jengkol, dan si penulis, yang butuh exclamation dari orang berkredibilitas agar dirinya dianggap bagus. Yang lebih kasihan lagi, orang-orang yang menggantungkan standarnya berdasarkan exclamation tersebut.
Maybe I’m just too cynical…
Atau ada kemungkinan lain. Si penulis atau si jengkol atau si petai begitu banci tampilnya (karena banyak yang nggak ngerti, maka saya terjemahkan menjadi eksibisionis) sampai exclamation itu harus dipamerkan kepada orang. Wah kalau yang itu saya gak mau komentar ah. Saya kan juga begitu ;p
<< Home