Thursday, November 04, 2004

Kasihannya jadi perempuan.

Bukan. Ini bukan tulisan sexist yang mementingkan ego saya sebagai laki-laki. Cuma glimpse tengah malan saya yang mendorong saya membuat teh manis pekat panas, memutar (kembali) cd erykah badu lalu menghidupkan komputer untuk menulis.

Betapa kasihannya jadi perempuan! Itulah yang mengusik saya tengah malam ini. Betapa tidak? Terkungkung di dalam nilai yang dibuat laki-laki sepanjang abad. Dan yang paling parahnya adalah, sangking mendarah dagingnya, makhluk-makhluk cantik ini merasa memang beginilah seharusnya. Bahkan ibu Kartini si pembela kaumnya itupun akhirnya bersifat seperti perempuan lainnya yang harus takluk pada rejim lelaki. Misalnya memutuskan menikah hanya karena ketakutan dicap tak laku. Dimana ketakutan itu lebih merupakan produk dari sebuah ruang sosial abstrak yang invisible ciptaan laki-laki (Faruk, Women Womeni Lupus: 109-110)

Oke. Tidak sejauh itu. Ini hanya bahasan ringan yang (seharusnya) memancing senyum anda. Tapi jika kemarahan yang terpancing, apa boleh buat.
Mengapa saya mengatakan kasihan jadi perempuan? Ini paparannya.

Selalu menunggu
Sepertinya jika perempuan mempunyai pekerjaan utama, bisa dikatakan pekerjaan itu adalah menunggu. Menunggu laki-laki menghampiri, menunggu anak lahir dari kandungan, dan tidak hanya itu. Sampai hal yang paling ringan pun perempuan selalu menunggu. Menunggu air masak, menunggu nasi tanak, menunggu suami pulang, menunggu dibukakan pintu, menunggu telepon dari laki-laki, menunggu sms dari laki-laki, menunggu ajakan kencan dari laki-laki, menunggu lamaran dari laki-laki, bahkan sampai urusan seks sekalipun perempuan menunggu. Baik menunggu diajak sampai menunggu sang pasangan orgasme. Kalau tidak menunggu. Siap-siaplah dicap agresif, kurang perempuan, dan segala cap-cap lain yang tidak berbau perempuan yang entah kenapa selalu dikonotasikan negatif.

Selalu salah
Mungkin terasa basi, tapi jika seorang anak nakal, buruk nilainya, kena kasus narkoba, selalu yang disalahkan ibunya. Secara tidak sadar kita pasti sering berkata “gimana sih ibunya ngajarin dia?” atau “ibunya ga becus tuh”. Kalo anaknya pintar? Baik pula? Masuk PTN bergengsi? Jadi pejabat pajak atau pegawai negri (yang entah kenapa dianggap baik, padahal kerjaannya korupsi)? Nama si laki-laki yang terangkat. Bahkan jika ayahnya seorang pengangguran sekalipun. Contoh lain: kalau keadaan rumah bersih, rapih, jelas yang dipuji si ayah karena dianggap pintar mengatur rumah tangga. Padahal jelas si ibu yang mengepel, nyapu, ngelap jendela, mencuci pakaian sampai tangannya kasar. Si ayah? Palingan baca koran sambil minum kopi yang bahkan dibuatkan istrinya. Kalau rumah berantakan, yah si ibulah yang kena sasaran.
Ada contoh lain. Kasus pemerkosaan yang jelas-jelas karena kebiadaban laki-laki, entah kenapa yang disalahkan tetap wanitanya. Yang dibilang pakaiannya merangsang lah. Dikatain perempuannya yang gatel lah. Lantas disarankanlah makhluk cantik ini menyembunyikan kecantikannya dengan pakaian yang dicap lebih sopan, padahal belum tentu lebih nyaman.
Belum lagi jika si laki-laki selingkuh. Si perempuan pasti disalahkan karena tidak becus memuaskan pasangannya. Dan anehnya lagi dianggap lumrah oleh beberapa kaum masyarakat (dibuktikan oleh poligami yang banyak sekali pengikutnya). Kalau si perempuan yang selingkuh? Wah! Si laki-laki malahan menuai simpati dari orang-orang. Dianggap terlalu baik untuk jadi pasangan perempuan yang selingkuh tadi. Lantas dia disuruh mencari ganti yang lebih baik, lebih cantik, penurut (secara tak tersirat, mengatakan mengikuti ego si laki-laki) dan sebagainya. Si wanita hanya dicap nakal, pelacur…
Pepatah yang mengatakan ‘dibalik lelaki yang sukses pasti ada wanita hebat’, juga menggambarkan hal ini. Karena pepatah ini berbanding lurus, jika dibalikkan maka pepatah ini menjadi, ‘dibalik lelaki yang payah, pasti ada wanita yang buruk.’. Hal ini seolah-olah mengatakan si laki-laki payah karena wanitanya juga buruk. Sehingga si laki-laki payah karena salah si perempuannya.

Selalu dicap buruk jika hebat dari laki-laki
Pernah dengar quote yang mengatakan, perempuan sakti dicap penyihir, yang cantik dibilang pelacur? Sejarah telah membuktikan. Wanita yang sakti selalu dicap penyihir. Terlihat pada kisah Joan of Arc (yang notabene diangkat menjadi santa). Di masanya dia dianggap penyihir dan dihukum mati dengan cara dibakar (ya, hidup-hidup). Selain itu wanita yang terlalu pintar dianggap pelacur. Padahal tidak. Pelacur juga banyak yang bodoh. Walaupun banyak sekali yang cerdasnya minta ampun apalagi bermain dalam egoisme laki-laki. Memperalat laki-laki dengan cinta semu untuk melindunginya serta menjamin semua kebutuhannya.
Lain lagi ceritanya jika si perempuan terlalu sukses, berpendidikan tinggi, serta berpenghasilan tinggi,apalagi cantik. Laki-laki manapun (yang “harkat”nya lebih rendah) tak mau menjadi pasangannya. Dan laki-laki berharkat rendah yang inferior itu lalu membuat si perempuan terlihat buruk dengan mencap si perempuan tak laku. Padahal si laki-laki itu sendiri yang terlalu penakut dan merasa tersaingi kedudukannya, yang parahnya, oleh perempuan.

Sebenarnya masih banyak sekali list yang muncul seperti balon diotak saya. Namun rasa kantuk sudah menyerang dan saya kembali tidak perduli dengan tanggapan laki-laki terhadap perempuan. Hoaaaaaeeeemmmmmmm!!! (BT)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com