Friday, March 16, 2007

Work – Friendship

Bagaimanakah seseorang menghadapi masalah?

Lebih tepatnya, bagaimana seseorang menghadapi pembuat masalah?

Saya yakin tidak ada aturan ideal untuk ini.

Baru-baru ini seseorang yang saya kenal membuat masalah. Cukup seru. Orang ini dengan lihainya dapat membuat orang-orang disekitarnya membuat kelompok-kelompok. Kalau satu kelompok kontra, maka yang lain akan pro. Dan hebatnya, yang tadinya kontra bisa menjadi pro.

Saya benar-benar heran akan kemampuan persuasive seperti itu. Kagum, lebih tepatnya.

Tapi lebih baik si-pembuat-masalah kita kesampingkan sekarang. Karena saya sudah eneg membahasnya dan kemungkinan besar tulisan saya akan memancing kericuhan kecil di sekitar saya.

Mari kita bahas orang-orang disekitarnya. Baik yang pro maupun yang kontra.

Satu hal yang bisa langsung saya pelajari disini, kebanyakan orang memandang masalah secara bias. Pihak-memihak mustahil ditentukan pemikiran logis. Terkadang pendekatan personal dapat membuat semua orang yang kontra sontak menjadi pro. Pendekatan personal itu misalnya menjelaskan mengapa dia membuat masalah tersebut (baik kenyataan maupun fiktif). Dan tentu saja yang paling terkenal, for-the-sake-of-friendship.

Masalah tetap masalah. Persetan dengan persahabatan…

Jangan salah sangka. Saya bukannya orang yang tidak menghargai persahabatan. Tapi kadang-kadang ada teritori yang tidak bisa dicampur dengan teritori persahabatan. Teritori persahabatan itu private.

Bukankah dengan menggunakan persahabatan sebagai defense mechanism itu taktik yang sangat licik? Apakah atas nama persahabatan masalah yang terjadi akan segera selesai? Apakah kekacauan yang dibuatnya tiba-tiba secara ajaib akan rapi seketika? Apakah semua kesalahannya akan lenyap tiba-tiba seperti tidak pernah terjadi? Tentu saja tidak. Itu hanya tindakan orang pengecut.

Saya bicara tentang tanggung jawab. Ketika seseorang membuat kekacauan, maka konsekuensi logisnya adalah dia seharusnya merapikan kekacauan yang dibuatnya sendiri.

Ketika orang tersebut lari dari tanggungjawabnya, tentu saja orang sekitarnya akan bereaksi. Secara logis seharusnya reaksi yang muncul adalah kontra. Namun ketika area persahabatan masuk ke dalam masalah, maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Lebih parahnya lagi ketika pembuat masalah tersebut menggunakan kelemahannya sendiri sebagai perisai. Dengan kelemahannya dia berhasil meluluhkan hati orang lain. Saya tidak tahu hati mereka benar-benar luluh atau pura-pura luluh supaya disebut berhati nurani atau bermoral baik (tidak seperti saya).

Yang sangat saya sesalkan adalah ketidakmampuan banyak orang untuk melihat masalah secara logis dengan menggunakan nalar. Sehingga ketika si pembuat masalah bikin onar, maka masalah tersebut dicampur-aduk-kan dengan hal-hal lain. Like and dislike misalnya.

Ketika ‘dislike’ berperan maka orang cenderung melihat masalah dengan lebih objektif. Apakah ini berarti orang yang bekerjasama seharusnya tidak menyukai satu sama lain?

Who knows…

Dari pemikiran ini saya berpikir tentang pentingnya sebuah persahabatan.

Sahabat saya pernah mencoba suatu tes terhadap saya. Tes psikologi. Salah satu hasilnya mengatakan kalau penempatan diri saya di lingkunan sosial sangat baik. Tapi saya mempunyai hambatan dalam berelasi intim dengan orang lain. Bahasa lebih umumnya adalah saya tidak gampang menjalin relasi sahabat dengan orang lain karena ada hambatan. Entah itu dari diri saya sendiri atau dari lingkungan saya.

Saya sudah tahu itu.

Dengan gamblang saya mengatakan hal tersebut kepada sahabat saya. tentu saja saya menghambat diri saya sendiri untuk menjalin relasi sebagai sahabat dengan orang lain. Karena pada hakekatnya, saya berpikir dua orang sahabat adalah orang yang mempunyai dasar prinsip yang sama. Dan yang paling crucial adalah saling menghormati. Apa yang harus dihormati ? Tentu saja banyak hal. Area pribadi, filosofi hidup dan masih banyak yang lain.

Dari dasar saling menghormati tersebut saya bersikap sangat memilih untuk masalah sahabat. Ketika sesorang tidak mampu menerima saya dengan segala pemikiran saya maka lebih baik dia pergi jauh-jauh dari hadapan saya. Karena dasar saling menghormati yang saya bicarakan pada pargraf sebelumnya tidak eksis.

Beranjak dari pemikiran tersebut maka saya sangat membenci orang yang menggunakan persahabatan sebagai defense mechanism. Karena menurut saya dia sudah menginjak-nginjak rasa saling menghormati tersebut. Karena dia menggunakan persahabatan itu sebagai alat demi tujuannya. Karena dia menggunakan sahabatnya sendiri demi tujuannya. Karena dengan demilkian dia mengganggu kepentingan orang lain dengan kepentingannya. Karena dia telah merugikan orang lain.

Kepentingan atas persahabatan menurut saya adalah kebutuhan kita akan afeksi. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hal lain. Maka ketika afeksi tersebut disalahgunakan demi tujuan apapun (sadar atau tidak sadar) maka menurut saya persahabatan itu sendiri sudah berakhir saat itu juga.

Saya menjadi sedikit ragu untuk bekerja dengan sahabat-sahabat saya. Karena saya takut saya akan mencemari persahabatan yang telah saya bangun dengan susah payah.

Semoga ketika saya bekerja dengan sahabat, saya dapat tetap menjaga nilai persahabatan saya dengannya. Hal ini saya lakukan karena saya menghormati pemikiran yang telah saya buat sendiri dan menurut saya inilah yang saya percayai sebagai kebenaran yang harus dilakukan.

Tapi kini motivasi saya bertambah.

Jangan sampai saya jadi seperti si pembuat masalah yang saya ceritakan diatas.

Idih...amit-amit...

Jangan sampe....(knock knock knock)


Written only by (FNS)

|

Friday, December 22, 2006

My Brain and My…

Ketika saya masih sekolah dulu, saya bukanlah murid yang dikenal sebagai yang terpintar. Prestasi saya memang tidak pernah buruk, tetapi jarang saya menjadi yang terbaik. Saya selalu menjadi mediocre. Medium level is the most unnoticed level. So there I was, mediocre and unnoticed.

Beranjak kuliah, di mana saya berada jauh dari orangtua dan terlepas dari kewajiban belajar teratur dan mempelajari pelajaran yang tak saya suka, saya mulai menemukan cara saya sendiri untuk berprestasi. Lagi-lagi saya bukanlah mahasiswa yang dikenal sebagai yang tercemerlang. Walaupun saya berada pada top level, saya tetap pada range medium. There I was again, mediocre and unnoticed.

Saya mulai memandang bahwa sebuah institusi dengan sistem penilaian yang seragam ternyata tidak cocok untuk saya. Sistem penilaian yang menurut saya seperti mesin saja, tidak melihat satu persatu talenta tiap orang. Sistem ini gagal melihat, menilai apalagi mengembangkan talenta saya.

Jadilah saya seorang outsider. In family or school, or college. I made my own way. Achieving on my own way.

Begitupun dalam masalah pertemanan. Saya tak pernah punya banyak teman. Dan biasanya teman-teman saya bukan berasal dari komunitas yang sama dengan saya. Karena saya mediocre dan unnoticed, tak banyak teman sekolah atau sekampus yang mengenal saya. Mungkin karena teman-teman sekolah atau kampus juga cenderung terikat dengan sistem nilai institusi tersebut, yang sudah terbukti gagal menilai saya.

Terbiasa memiliki teman yang kalau menurut istilah saya “entah dari mana”, saya berkenalan dengan seorang arsitek. Lulusan sebuah institut teknologi terkenal di amerika yang termasuk dalam daftar Ivy League, hubungan pertemanan kami berkembang dari friends, discussion partner, flirting partner sampai akhirnya working partner. Satu ketika saya membawa dia bekerja untuk salah satu project yang saya tangani. Walaupun seorang arsitek, darah cinanya yang kental membawa insting bisnisnya lebih menonjol ketimbang kemampuannya merancang bangun sebuah bangunan.

Berteman dengannya sangatlah seru. Sejak awal pertemanan kami, saya merasa dia mengenal saya dengan cara yang tepat. Menilai dan menghargai saya dengan benar. Dia mampu melihat kemampuan saya yang tak mampu dilihat teman-teman dalam komunitas saya.

Tidak hanya secara intelektualitas. Teman saya ini menanggapi saya sebagai seorang perempuan dengan cara yang sangat benar. Not to mention kemampuan kissingnya yang berada pada the highest level dalam daftar saya..hehehe… Walaupun perbincangan kami seringkali berkisar pada pekerjaan, bisnis, buku-buku, musik, philosophy bullshit, dia tetap menanggapi saya sebagai seorang perempuan. Menyenangkan sekali rasanya bila kemampuan kita tidak dinilai berdasarkan stereotype gender, but yet being treat as a true woman. Semuanya tepat.

Satu kali ketika kami berbincang ngalor ngidul, kami saling membicarakan bagaimana kami saling melihat diri masing-masing. Dia bertanya, pria seperti apa dia di mata saya. Dengan panjang lebar saya menjawab bahwa dia sangat cina in business term, arogan, sombong, angkuh, incredibly smart, the hell of a kisser, women eater, and certainly not a boy friend material. Dia hanya tertawa-tawa mendengarnya.

Gantian saya bertanya padanya apakah saya ini di matanya. Tanpa pikir panjang dia berkata
“oh you are simply a pussy with brain”.

My goodness…

Setiap kali ingat itu saya tertawa. Entah mengapa, rasanya “pussy with brain” memang tepat menggambarkan saya.

Medan, December 21st 2006
6.11 pm.
Posted by NCM only

|

Thursday, November 23, 2006

Memoir

Saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah buku oleh James Frey, A Million Little Pieces (AMLP). Buku ini adalah sebuah memoar tentang seorang mantan pecandu narkoba, alkoholik dan kriminal. Saya memutuskan membeli dan membaca buku ini karena pada satu ketika saya menonton Oprah Show di Metro TV (aslinya tayang Spetember 2005, tapi di stasiun TV kita baru tayang sekitar Mei 2006), di mana Oprah memutuskan menjadikan buku ini a month choice of oprah’s book club, which is claimed to be the most powerful book club in the world oleh sebagian besar media people di amerika. Wow.. pikir saya. Setahu saya Oprah sangat berhati-hati memilih buku dalam book club nya. Selain Anna Karenina-nya Leo Tolstoy, saya pernah mengingat bahwa John Steinbeck terdaftar sebagai salah satu pengarang yang bukunya terpilih oleh goddes Winfrey. And this James Fray worth to put as same level as Tolstoy? He must be good. Thanks to Oprah, buku Frey terjual sampai 3,5 juta kopi dan menjadi New York Times nonfiction paperback bestseller.

Saya mengetahui ada kontroversi yang sangat besar soal buku ini, tetapi saya telah habis membacanya sebelum mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di amerika sana. Menurut saya buku itu betul-betul bagus, mencekam dan benar-benar membuat kita tak bisa berhenti membacanya. I mean, saya dalam perjalanan pelesir di Singapore kala membelinya, dan seringkali saya lebih suka duduk saja di coffee shop kompleks SMU atau di taman belakang Esplanade untuk membaca buku ini.

Sesampai di rumah, segera saya men-dial telkomnet instant dan meng-google Mr. Frey. Reaksi pertama saya adalah tertawa geli, betapa banyaknya informasi tentang betapa buku ini telah menjadi kontroversi terutama di awal tahun ini. Permasalahannya sebenarnya simple, James Frey merekam pengalamannya selama berada dalam klinik rehabilitasi dalam rangka menanggulangi ketergantungannya terhadap alkohol dan narkotik. Ia merekamnya dalam sebuah memoar (memoir), yang ternyata diketahui kemudian bahwa ada beberapa fakta yang di-“fabricated” olehnya. Setelah saya baca di beberapa situs, fakta yang di”twist” tersebut hanya berjumlah sekitar 5% dari total halaman. Tidak banyak, tapi mungkin karena buku ini sangat bagus, semua orang berharap agar ceritanya benar-benar nyata terjadi, setiap kata, setiap kejadian. People does read this book religiously.

Yang membuat buku ini menjadi bestseller di US sana adalah terlibatnya Oprah Winfrey yang memutuskan buku ini menjadi oprah’s book club nya. Bahkan di edisi keduanya, AMLP ditempeli stiker Oprah’s Book Club di sampulnya, yang tentu saja meningkatkan secara tajam penjualan buku ini di seantero negeri. Setelah mengundang Frey ke talkshownya yang berlevel internasional itu, buku itu tentunya semakin laris saja.

Adalah The Smoking Guns, sebuah media online yang dengan iseng yang serius mengadakan penyidikan terhadap fakta AMLP, mempublishnya di internet dan menyerang Frey habis-habisan. Oprah Winfrey tak tinggal diam. Segera ia memanggil kembali Frey untuk mengkonfrontasi semua kebohongan Frey. Saya tidak menonton acaranya tentu saja, karena tak diputar atau belum atau sudah tapi saya tidak nonton. Dihadirkanlah publisher Frey yang kebetulan adalah seorang wanita ber reputasi internasional untuk memberikan penjelasan terhadap hal ini. Tentu saja dari penyidikan saya di internet (internet is god), saya tahu bagaimana situasi di studio Harpo kala acara ini disiarkan. Oprah mendakwa Frey, dan Frey dengan pasrah saja mengakui bahwa beberapa fakta yang dia ungkapkan dalam bukunya memang “fabricated”. Bahkan salah satu teman saya berkata bahwa dalam majalah Newsweek pun masalah ini diangkat dan salah satu kalimat dalam ulasannya yang ingin saya quote adalah: “Thou shall not make Oprah angry!”
Hahahaha.. saya geli mendengarnya.



Saya melihat betapa masalah ini membawa arus pendapat yang pro kontra. Beberapa penulis begitu marah karena “kebohongan” Frey yang berani-beraninya meletakkan buku ini sebagai non fiksi, sementara buku ini jelas tidak sepenuhnya nyata. Para pecandu dan mantan pecandu atau keluarga pecandu ada yang pro dan kontra. Kebanyakan mereka pro, karena menurut mereka apa yang digambarkan Frey sebagai kecanduan memang begitulah adanya. Ada juga yang marah karena dalam bukunya Frey menolak mengatasi kecanduannya dengan metode yang dianggap paling berhasil. Menurut Frey kecanduan adalah kecanduan, dia tidak ingin menggantikan kecanduannya terhadap narkotik dengan kecanduan untuk pergi ke berbagai pertemuan rutin seumur hidup. Untuk melepaskan kecanduan kita harus melakukannya sendiri, atas kekuatan sendiri, memutuskan untuk tidak menyentuh narkotik sedikitpun. Dan saya sangat sependapat dengan apa yang diungkapkannya itu.

Memoir, adalah sebuah catatan perjalanan hidup seseorang tentang apa yang dialaminya menurut sudut pandangnya sendiri. Buku Frey adalah sebuah memoir. Saya beranggapan bahwa hal-hal yang didramatisir Frey dalam bukunya hanyalah semata-mata hasil observasinya dan pengalaman hidupnya yang dituliskannya dari sudut padangnya sendiri yang sudah pasti sangat subjektif. Saya sadar, terkadang ketika sesuatu terjadi menimpa kita, sebuah kesulitan atau kengerian, sangat mungkin kita melihatnya dari titik yang ekstrim. Seringkali perasaan kita menjadi sangat sentimentil, sangat dramatis dan tak jarang kita memang merasakan hal yang menimpa kita tersebut sungguhlah sangat beratnya, walaupun bisa jadi dari sudut pandang orang lain hal tersebut tidak seekstrim itu.

Menurut saya itulah yang terjadi dalam buku Frey. Ditambah peran Oprah Winfrey yang membuat buku ini menjadi sangat-sangat terkenal, melambungkan nama penulisnya, menjadikan Frey the new it boy, the bad boy we all love, dan saya harus akui bukunya sangat bagus. Begitu memukaunya buku ini, hingga saya berpikir bahwa semua orang sangat berharap buku ini real. Semua orang berharap semua kejahatan yang dilakukannya nyata, bahwa Frey memang se-kriminal itu, bahwa hidupnya sedramatis itu, seperti semua orang berharap pada miracle, pada angel dan pada fairy tales. Buku ini sangat menginspirasi seperti fairy tales, memberikan harapan pada para pecandu, memberikan motivasi untuk sembuh bagi para pecandu. Pendeknya saya melihat betapa buku ini sebenarnya memberikan efek yang positif pada banyak orang.

Terus mengapa begitu banyak penghakiman yang diterima buku ini? Begitu banyak good and bad judgement, dan tentu saja di dunia kita di mana “karena nila setitik rusak susu sebelanga” berlaku, maka bad judgement lah yang paling didengarkan dan paling mengemuka. Lagi-lagi saya tidak bisa tidak, berpikir bahwa orang-orang begitu marah karena kecewa, mengapa kisah ini tidak (sepenuhnya) nyata. Frey mengecewakan mereka, menjatuhkan harapan banyak orang dengan memoarnya yang tidak nyata. Lalu saya kembali mengingat, kalau sebuah memoir adalah sebuah catatan yang dibuat sesuai sudut pandang subjektif dari penulisnya, apa salahnya dengan buku Frey? Mungkin ketika ia menjalaninya ia memang merasakan kengerian sedalam itu. Ketika ia berada di pusat rehabilitasi itu, tubuhnya memang merasakan kesakitan luar biasa seperti itu. Atau ketika ia berbuat kriminal, ia merasakan rasa bersalah se-ekstrim itu. Dan bebrapa fakta yang direkayasa bukanlah hal benar-benar mempengaruhi esensi buku itu secara keseluruhan. Bahkan menurut saya dengan 5% fakta yang di-twist tersebut, buku ini benar-benar mencapai maksudnya. What is the big deal about it?

Kalau saja kita mau jujur, ada sebuah buku yang semuanya berisikan memoir, mempengaruhi mayoritas kehidupan manusia di bumi ini dan tak seorangpun dapat memastikan kebenarannya. Buku itu berjudul Alkitab. Yes, Holly Bible. Yang berisikan memoir Matius, Markus, Lukas, Yohanes dan banyak lagi nabi-nabi. Terlepas dari pro dan kontra -yang sekarang ini semakin banyak saja yang kontra- buku ini dijustifikasi sebagai benar. Diyakini sebagai nyata. Diimani apa yang tertulis akan terjadi, dan sudah bertahan ribuan tahun, dengan revisi sana-sini, dikeluarkan dalam berbagai versi dan tetap di-judge to be the truth. Wow.. heehhehe…

Yah, anyway bukan maksud saya meletakkan buku Frey pada tingkat religi seperti halnya Holly Bible. Saya hanya menyoroti betapa orang-orang butuh tempat berpijak, butuh tempat berharap dan berpegang. Para pecandu dan keluarga pecandu merasakan bahwa mereka benar-benar dimengerti, dipahami penderitaan dan kesulitannya dan melihat secercah harapan untuk dapat lepas dari kecanduannya, terlepas dengan cara seperti yang dilakukan Frey atau bukan. Dan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan harapan, banyak orang yang menjadi marah, mencaci maki tanpa melihat apa yang sebenarnya ingin disampaikan Frey dan bukunya. Saya berpikir, mungkin kalau ditemukan lagi sebuah manuskrip tua yang mengungkapkan bahwa apa yang tertulis di dalam Alkitab hanya rekayasa semata, maka kemarahan umat manusia benar-benar akan membuat dunia ini kiamat dan segera melupakan bahwa Alkitab adalah salah satu buku utama yang telah membuat kehidupan di dunia ini teratur dan terarah.

Mungkin sastra dunia harus memperjelas kembali terminologi “memoir”, agar tak ada lagi kebingungan tentang apa yang tergolong memoar dan apa yang tidak. Setau saya, para sastrawan dan ahli linguistik dunia sekarang inipun masih memperdebatkan hal itu.

Sebagai seorang mantan mahasiswa komunikasi, kami diajarkan bahwa “bad news is a good news”. That is what happened to Frey’s book. Begitu kontroversi ini mengemuka, penjualan bukunya menjadi meningkat sekitar 3 kali lipat dari jumlah penjualan best seller itu. Dengar-dengar juga ia tengah mempersiapkan screen-play film berdasarkan bukunya ini dan berhasil menjangkau Brad Pitt sebagai co-producer dan masih mempertimbangkan antara Ryan Gosling, Tobey Maguire, Orlando Bloom, Josh Hartnett, atau Jake Gyllenhaal sebagai pemeran utama.

Humm…


Posted by NCM only

|

Thursday, October 12, 2006

Scolae

Suatu hari salah seornag teman gila saya memberi kabar kalau di kampus saya AKHIRNYA dibentuk pers mahasiswa. Saya cukup lega mendengar kabar ini karena orang-orang di kampus saya sudah dapat dikatakan berada dalam tahap ‘mengkhawatirkan’ baik dalam pola pikir dan tindakan.

Katanya dia ikut bergabung. Saya juga tadinya berniat. Cuma setelah saya pikir-pikir, lebih baik menunggu dulu. Jangan-jangan organisasi ini ujung-ujungnya cuma jadi perkumpulan orang-orang sok idealis tanpa output apapun.

Pada mulanya mereka menerbitkan media (saya mau menyebutnya majalah, namun terlalu jelek. Menyebutnya jurnal, terlalu kopong. Saya tidak tau namanya apa) berjudul ‘Scolae’. Ide nya dari teman gila saya itu. Sumpah, saya belum pernah mendengar istilah ini. Rupanya katanya itu bahasa latin (atau bahasa apalah saya juga lupa) dari sekolah. Saya hanya mengangguk-ngangguk.

Ternyata media yang diterbitkan pers mahasiswa ini tidak sedashyat namanya. Saya sebagai media watcher, tidak bisa menemukan apapun yang bagus menurut standar saya. Media ini dibuat dari kertas A4 yang dibagi dua. Terdiri dari beberapa lembar. Tipis sekali. Isinya membingungkan. Tidak ada kesatuan konsep. Kelihatannya semua orang ingin menunjukkan kalau dia yang paling pintar. Artikelnya berisi masalah-masalah filosofis yang pembahasannya dirumit-rumitkan bahkan dipersepsikan terlalu jauh sehingga maksud asalnya jadi kabur. Intinya : gagal total. Dapat diduga, media ini cuma keluar dua edisi (yang saya tau).

Daripada membahas ‘scolae’ sebagai media gagal, lebih baik kita membahas ‘scolae’ sebagai kata yang mewakili sebuah makna.

Karena penasaran saya melakukan research. Ternyata ‘scolae’ itu artinya ‘menggunakan waktu luang untuk belajar’. Kata ‘scolae’ berubah menjadi ‘school’ dalam bahasa Inggris dan menjadi ‘sekolah’ dalam bahasa Indonesia.

Dashyat! Kalau menggunakan waktu luang untuk belajar, berarti seharusnya belajar itu menyenangkan. Kenapa saya muak sekali sama sekolah ya? Ah sudahlah…

Saya berpikir, terkadang sebuah sistem itu akan melenceng dari tujuan asalanya jika sudah terlalu lama berjalan. Kalau kita lihat pada mulanya, ‘scolae’ itu sendiri menjamin kegiatan belajar akan menyenangkan. Kenapa? Karena dilakukan di waktu luang. Waktu luang menurut saya adalah waktu dimana orang-orang tidak melakukan apa-apa karena semua pekerjaannya telah selesai. Istirahat. Seharusnya menyenangkan, membuat rileks dan tidak membosankan.

Pikiran saya melayang jauh ke salah satu diskusi saya dan teman saya yang lain. Menurut dia, kebenaran yang diperolehnya sudah dirasa cukup. Sehingga dia merasa tidak perlu mengisi logical gap yang ditemuinya. Waktu itu kami membicarakan masalah agama.

Dengan tetap menghormati pendapatnya, saya berpikir, bagaimana bisa seseorang bisa puas dengan setengah-pengetahuan. Saya rasa kalau semua orang sudah puas, dunia ini akan berhenti berputar.

Dari situ saya berpikir tentang pemuasan kebutuhan akan pengetahuan. Atau saya istilahkan menjadi ‘ingin tahu’. Sejalan dengan ‘lapar’ sehingga ‘ingin makan’ atau ‘sakit perut’ sehingga ‘ingin berak’

Jika asumsi saya akan rasa ‘ingin tahu’ itu benar, maka mustahil sistem bernama sekolah itu dirancang sesuai kebutuhan pemakainya. Karena saya rasa keingintahuan seseorang itu semuanya berbeda dan sangat luas cakupannya. Sementara dengan egoisnya perancang sekolah mengkotak-kotak bidang dan memenjarakan diri dengan label etika profesi. Saya benar-benar heran melihat banyak sahabat saya yang mengambil jurusan psikologi. Mereka dengan sangat bangga tidak memberitahu apapun tentang psikologi demi nama etika. Padahal dengan gampangnya saya bisa membeli buku psikologi dan belajar mengenai test Rhorschah, misalnya.

Pengkotak-kotakan itu sendiri menghalangi saya untuk memuaskan rasa ingin tahu saya. Saya sekarang di jurusan akuntansi. Dulu memang saya ingin tahu bidang akuntansi. Tapi seiring dengan perkembangan, saya tertarik juga dengan dunia desain grafis. Namun sejago apapun saya membuat letterhead atau sebrilian apapun corporate identity yang saya buat, tetap saja saya tidak akan menjad desainer grafis. Karena pengkotak-kotakan itu akan membuat saya menjadi akuntan dan bukannya desainer grafis. Orang yang pantas menyandang gelar itu Cuma lulusan fakultas seni rupa.

Pengkotak-kotakan itu juga mencegah terjadinya percampuran disiplin-disiplin ilmu itu sendiri. Sehingga akuntansi akan tetap menjadi pelajaran paling membosankan yang pernah ada, psikologi menjadi ilmu paling misterius di muka bumi dan ilmu menjahit hanya dipandang sebagai cara membuat pakaian.

Padahal tanpa percampuran, rasanya mustahil kita mengenal komputerisasi sistem perbankan pada saat ini. Tanpa kolaborasi desainer grafis dan ahli komputer, tidak mungkin tercipta software seperti Photoshop atau Corel. Tanpa kolaborasi penjahit dan pebisnis, kita tidak akan mengenal bisnis ritel konveksi dan membuat baju kita sendiri-sendiri.

Sedihnya dunia pendidikan tidak mengijinkan kolaborasi, atau setidaknya pada tahap awal. Mungkin setelah anda mencapai gelar doctoral anda boleh mencoba menggabungkan dua ilmu.

Kapan gelar doctoral itu dicapai? Setelah berumur 50? Ketika usia tidak lagi mengijinkan kita untuk beraktivitas lebih sibuk dari semstinya? Ketike osteoporosis sudah membuat kita bongkok? Ketika semangat kita pudar karena kejenuhan?

Dan sistem sekolah sendiri memantati (mengarahkan pantat-nya, red) hasrat ingin tahu dari orang-orang didalamnya. Mencekoki anggotanya dengan hal-hal yang tidak menarik minatnya, mematikan keunikan setiap pribadi, menggeneralisasi semua orang dengan sistem ujian dan rangking (dan IPK. Damn!), menghukum kesalahan dan masih banyak lagi.

Hah…saya kecewa. Baik terhadap makna ‘scolae’ yang menjadi sekolah, maupun media ‘scolae’ yang hanya terbit dua kali itu.

Sahabat saya dengan cepat mengundurkan diri dari pers mahasiswa. Saya juga mengurungkan niat. Ternyata pers mahasiswa di kampus saya tidak se-cool yang saya bayangkan.

Written only by (FNS)

|

Thursday, September 21, 2006

Highlights: Blogwalking, Wine, Cinta sampai Seks

Karena blogwalking tadi, saya tergoda untuk mulai menulis lagi. memang akhir-akhir ini saya lagi mengidap writers block yang sangat parah. Kalau sudah berada di depan monitor, otak blank. Saya merasa semua hal di dunia ini sudah pernah saya tulis.

Blogwalking tadi membuat saya menghasilkan suatu kesimpulan. Orang-orang masih tergila-gila akan cinta. Semua blog menuliskan degradasi bernama cinta itu. Hah….

Bukannya mau ikut-ikutan, tapi belakangan ini saya menemui literatur-literatur menarik tentang something-silly-called-love.

Kalau saya mendeskripsikan arti cinta disini, saya akan sama seperti orang lain yang hendak menstrukturkan yang tak terstruktur. Maka, mari kita bicarakan sense nya saja.

Sebuah literatur yang saya baca (yang tentu saja saya lupa penulis maupun judulnya) mengatakan, sebetulnya sense akan cinta yang kita kenal sekarang ini adalah hasil dari perbuatan orang-orang barat yang kaya di jaman dahulu. Dimana orang masih hidup susah, mereka dapat duduk di kafe dengan wine, atau makan malam di restoran terbaik bersama lawan jenis mereka dan merasakan suatu perasaan yang dikenal sebagai cinta. Sebetulnya ini bukan cinta. Tapi asmara. Perbedaannya terletak pada nafsu seks nya.

Asmara disini saya terjemahkan sebagai segala perasaan yang mendorong kita untuk melakukan hal-hal untuk semata-mata dapat berhubungan seks.

Pada zaman sebelumnya tidak ada dikenal asmara. Atau lebih tepatnya, orang membedakan asmara dengan cinta. Orang menikah karena memang seharusnya demikian. Karena masyarakat telah membentuk struktur bahwa satu-satunya cara untuk meneruskan keturunan (berhubungan seks) hanya dengan menikah. Maka setelah menikah cinta akan muncul. Mungkin cinta itu timbul dari kebiasaan. Cinta disini bukan asmara. Lebih kepada perhatian dan afeksi. Tanpa unsur seksual sama sekali.

Kalau seksual lain lagi. seksual itu murni hewani. Murni dorongan. Murni insting. Tujuannya apa? Yah tentu saja meneruskan keturunan.

Budaya timur lebih mengerti perbedaan cinta dan seks. Seperti yang saya tulis di artikel sebelum ini (Cinta (-) Senggama), di dunia timur tidak mengenal istilah “making love”. Kita hanya mengenal senggama. Karena bagi budaya kita jelas-jelas cinta dan seks memang tak bisa disatukan. Bagi kita sebetulnya tidak ada istilah “membuat cinta”. Karena budaya kita memisahkan seks dengan cinta. Bahkan lebih ekstrim lagi. cinta itu sama sekali berbeda dengan asmara. Atau dengan kata lain. Seks tidak bisa membuat cinta.

Dalam perkembangannya, cinta malah dihubungkan (atau disamakan) dengan asmara (seks). Mengapa? Karena masyarakat menganggap seks itu degradasi. Itu nafsu hewan. Kotor. Jorok. Mungkin karena itu semua biarawan dan biarawati tidak berhubungan seksual.

Namun namanya sudah naluri, seks tetap eksis. Manusia membuat cara untuk membuat seks muncul ke permukaan dengan cara yang lebih sopan dan lebih suci. Dengan mendompleng nama cinta.

Brainwashing yang dilakukan berabad-abad telah berhasil melebur cinta dan seks. Sehingga kita sering tidak menyadari, sebenarnya kita tidak merasakan cinta. Kita membentuk hubungan dengan pasangan kita murni berdasarkan insting seksual. Insting membuat keturunan.

Sehingga banyak orang merasa cintanya lenyap seiring dengan penurunan minat seksual terhadap pasangannya. Karena menurutnya cinta dan seks itu adalah hal yang sama, atu setidaknya sejalan.

Salah seorang sahabat saya pernah menuliskan di blog-nya, kalau tujuan manusia itu hanya ada dua. Survive dan meneruskan keturunannya. Hubungan seks adalah satu-satunya cara untuk meneruskan keturunan.

Kalau menganggap pernyataan ini benar, maka konsep cinta bercampur dengan asmara itu adalah hal yang konyol. Karena seolah-olah manusia membodohi diri, menipu dirinya sendiri kalau dorongan asal hubungan manusia dengan pasangannya itu murni seksual. Manusia seolah-olah mengingkari keberadaannya sendiri kalau dia mengatakan seks itu sama dengan cinta.

Banyak laki-laki yang lebih jujur akan keberadaan asal manusia ini. Tidak percaya? Bagi anda yang perempuan (atau yang laki-laki, kalau boleh), coba perhatikan pasangan laki-laki anda. Apakah dia tertidur setelah berhubungan seks? Kalau iya, jangan heran. Karena memang itu tujuan hidup manusia. Setelah capek-capek memperjuangkan sesuatu, tentu saja beristirahat satu-satunya cara untuk menyelesaikan kemenangan bernama orgasme.

Kalau anda tidak setuju bahwa seks merupakan salah satu tujuan manusia, maka anda harus melihat betapa banyaknya orang yang menganggap seks sebagai salah satu pencapaian.

Orang-orang yang menganggap cinta dan seks itu adalah hal yang sama, seringkali menganggap orang-orang single sebagai orang yang patut dikasihani. Kenapa? Karena menurut dia, jika dia punya pacar, maka kesempatannya untuk meneruskan keturunannya (berhubungan seks) semakin besar. Maka pencapaian bernama seks lebih mudah didapat daripada orang single.

Maka dengan motivasi ini dia akan mengasihani orang single. Memandang orang single sebagai orang gagal. Karena menurutnya tanpa pacar, maka kesempatannya berhubungan seks tidak ada. Kesempatannya mencapai tujuan hidupnya tidak ada. Hanya saja banyak orang tidak menyadari motivasi tersebut dan salah menerjemahkannya sebagai bentuk perhatian kepada sesama temannya yang kebetulan single.

Saya mau berbagi pengalaman. Saya yang sampai sekarang betah menjomblo seringkali ditanya orang.

“Udah punya pacar belon lu?

“Wah, belum.....”

(Dengan mata mengasihani a. k. a perhatian) “ Ooooo.... hayo dong cari! Mau sampe kapan jomblo terus….“

Maka saya hanya bisa tersenyum.

Apa lagi yang bisa saya perbuat?

Written only by (FNS)

|

Sunday, August 20, 2006

Pengen Makan Badak

Kemaren lusa saya menyaksikan pemutaran ulang Ada Apa dengan Cinta di Trans TV. Apa saya tidak punya hal lain yang lebih baik untuk dikerjakan? Saya jujur mengakui, tidak ada sama sekali.

Saya heran kenapa film ini bisa begitu happening-nya di masa lalu. Karena setelah menontonnya untuk kedua kalinya, hanya satu hal yang bisa saya simpulkan. Film ini kampungan sekali. Pria nerd yang kebetulan suka dengan puisi, lalu mendapatkan pacar seorang perempuan populer di sekolah. Klasik. Standar. Apalagi kata-kata yang diucapkan pemainnya!

Trus, kalo lu ga punya temen, itu salah gue? Salah temen-temen gue?

Halah…

Melihat sisi logisnya, ini film betul-betul menjual impian kosong. Lihat saja si Rangga. Kutu buku, kaku, tidak punya teman, tapi apa yang terjadi? Ternyata beliau diperankan oleh that preety-dumb-boy Nicholas Syahputra. Come on, darling…dunia tidak seramah itu.

Hari ini juga saya menonton film Indonesia di RCTI yang saya lupa judulnya. Film ini bodoh sekali sampai-sampai saya merasa menghabiskan masa muda saya secara sia-sia karena menontonnya!

Apa garis merahnya? Dua film ini sama-sama tidak masuk akal dan menjual impian kosong yang probabilitas kejadiannya 0,0000001 persen.

Kalau anda sempat menonton televisi saat ini, mungkin anda menyadari dunia entertainment kita bisa jadi berada dalam jurang keterpurukan yang sangat dalam. Apalagi yang saya bicarakan selain sinetron dan infotainment sialan itu. Bukannya mau mendukung NU, tapi infotainment itu benar-benar tidak ada gunanya. Apa sih gunanya mengetahui permasalahn hidup orang yang saya kenalpun tidak? Sinetron apalagi. Setting rumah bergaya baroque gagal, lalu pemain-pemain yang tidak masuk akal jahatnya, dan tidak masuk akal baiknya dan tidak masuk akal sempurnanya.

Sinetron semacam ‘Hidayah’ dan ‘Taubat’ juga sama tidak masuk akalnya. Okelah rumah mereka tidak layak huni. Okelah semua mereka miskin. Okelah sinetron ini berbasis kejadian nyata dan berbau agama. Tapi tetap saja. Tokohnya tidak masuk akal jahatnya dan tidak masuk akal baiknya (kalau boleh saya tambahkan, tidak masuk akal bodohnya). Lalu apa yang terjadi? Si baik tanpa melakukan apa-apa selain menangis dan shalat, tiba-tiba dibalaskan dendamnya kepada si jahat oleh entah siapa saya pun tidak tahu. Orang jahatnya lalu mati dengan kudis mengerikan dan lidah menjulur tak terkira! Kembali saya katakan, come on darling, dunia tidak seramah itu.

Paling menyedihkannya, jenis hiburan semacam ini bukan main larisnya. Kenapa? Saya sudah bosan membahas masalah kebodohan bangsa ini. Mari kita bahas yang lain.

Pram pernah membahas, katanya hal ini terjadi karena rejim Soeharto melakukan pembodohan luar biasa dengan hiburan sebagai pilarnya. Yang penting rakyat senang, maka mereka tidak akan protes. Kalau boleh saya tambahkan, mungkin hal ini yang menyebabkan masyarakat indonesia kurang apresiatif terhadap seni yang lebih “serius”.

Sastra, misalnya. Bahkan karya sastra kita lebih dihargai di negri orang lain daripada kita sendiri. Apalagi? Musik? Begitu banyaknya institusi musik klasik di Indonesia yang namanya disembah-sembah di ajang internasional. Tapi di indonesia? Konser musik klasik semurah apapun tiketnya, pasti tidak pernah booming. Mencari sponsor ibaratnya seperti mencari suami idaman.

Kenapa? Simple, karena tidak menghibur.

Sudahlah, saya tidak berminat terhadap politik. Mari kita lihat kemungkinan lain.

Mungkin masyarakat kita sudah terbiasa berada dalam realita keterpurukan mulai dari kemiskinan sampai kebodohan. Kita jenuh dengan realita seperti ini. Kita sudah bosan menjadi orang miskin dan bodoh. Realita kita tidak menyenangkan. Tapi karena kita terlalu bodoh untuk mengubah realita kita sendiri, maka kita mencari-cari sesuatu yang tidak real.

Maka saya tidak heran kenapa dunia hiburan seperti ini laris manis seperti pisang goreng pontianak. Tipe hiburan seperti ini memang seperti gula pada kopi pahit, atau madu pada jamu. Betul-betul mengisi kebutuhan angan-angan kita.

Lalu ada yang salah dengan itu? Saya tidak tahu dengan anda, tapi kalau saya pribadi jelas-jelas melihat ini sebuah kekeliruan besar. Karena tanpa budaya apresiasi, maka kita semua akan tertutup akan perubahan. Tertutup akan ide-ide baru. Maka tanpa perubahan, realitas hidup yang penuh dengan kemiskinan dan kebodohan ini tidak bisa diubah. Maka kita akan tetap miskin dan bodoh.

Mungkin anda bertanya apa solusinya. Saya sendiri tidak tahu. Mungkin mengubah budaya seperti ini sama sulitnya seperti jika saya ingin memakan badak afrika seorang diri.

Kembali ke Nicholas Syahputra. Apakah ada laki-laki yang suka puisi, nerd abis, tapi punya attitude super-cool dan kebetulan bertampang manis-manja?

Dunia tidak seramah itu, teman.

Wrriten only by (FNS)

|

Sunday, August 13, 2006

Highlights: Ilmu Klenik sampai Chaos-Order

Saya selalu tertarik dengan Indonesia beserta segala takhyul-takhyul nya. Saya ingat sekali bagaimana orangtua saya mengajarkan jangan kelayapan sesudah maghrib karena banyak setan berkeliaran. Terus, segala cerita-cerita mulai dari ande-ande lumut, sampe wewe gombel.

Sewaktu acara alam gaib dan segala teman-temannya masih berjaya di bumi pertelevisian kita. Saya suka sekali menontonnya. Biar orang-orang berpendapat acara itu tak berguna sama sekali, menurut saya tak ada salahnya menggunakan sedikit tawa. Ya, acara seperti itu menurut saya lucu. Bukan menakutkan.

Lalu cerita tentang orang-orang sakti dengan segala ilmu klenik-nya. Ajaib! Bukannya saya musyrik, tapi dibalik semua itu saya yakin seratus persen ada penjelasan yang sangat teramat logis.

Suatu hari sahabat saya bercerita tentang temannya yang sedang tergila-gila ilmu klenik (karena dia bosan dengan segala ajaran spritual barat) memberitahunya kalau ada pesantren di pulau Jawa (bagian mana saya lupa) yang bisa membuat orang berbicara dalam berbagai bahasa. Jadi alkisah si orang pintar berkata, “Saya tidak melakukan apa-apa. Sebetulnya kemampuan itu sudah ada dalam orang tersebut. Saya hanya membuka aura-nya.” Saya langsung antusias. Siapa tahu dia bisa membuka aura agar saya bisa bermain piano tanpa harus les!

Kontan kami berencana untuk mendatangi si orang pintar dan minta dibuka aura. Kami ingin bisa bahasa Ingris (tentu saja), Prancis, Italia, Mandarin, Rusia, Jerman dan Belanda. Menurut teman sahabat saya, untuk satu bahsasa, biayanya satu juta rupiah. Tapi karena kami cukup concern dengan harga (baca: pelit) kami berniat nego. Lima juta untuk tujuh bahasa. Hehhehe. Tentu saja ini hanya angan-angan. Saya sama sekali tidak percaya dengan hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Dan saya tidak mau melakukan hal yang tidak saya percayai.

Saya pribadi tidak percaya kalau sebenarnya kemampuan itu ada dalam diri kita semua. Well, mungkin saja. Tapi sebelum ada bukti (at least sampai National Geographic membahasnya), saya tidak bisa percaya.

Sama tidak percayanya dengan ilmu klenik ini, saya juga sama sekali tidak percaya dengan bakat.

Saya aktif di paduan suara. Seorang teman saya disitu bagus sekali suaranya. Semua orang memuji suaranya. Saya akui (walaupun dengan sedikit rasa sirik) suaranya memang bagus. Bakat? The hell. Saya rasa dia hanya cukup beruntung mempunyai badan besar (kebanyakan penyanyi klasik badanya bukan main besarnya). Mungkin ini berpengaruh pada resonansi suara, atau apalah. Pokoknya saya berusaha mencari excuse selain bakat.

Kalau minat, lain hal. Mungkin minat mendorong seseorang untuk mendalami suatu hal sehingga dia menjadi ahli. Saya mengambil kesimpulan. Kata kuncinya adalah ‘mendalami’.

Proses! Usaha! Ini lebih masuk akal.

Sama tidak setujunya dengan bakat, saya juga sangat tidak setuju dengan konsep manusia super semacam superman (bukan manusia-super nya Nietzsche). Bisa terbang, matanya mengeluarkan laser. Saya tahu ini hanya rekaan. Tapi sosok seperti ini hanya mengajarkan pembacanya mengenai ke-super-an nya tanpa memikirkan penyebabnya ke-super-an itu sendiri. Lebih mengutamakan tujuan daripada proses.

Buku Paulo Coelho, “The Alchemist” menurut saya menggambarkan dengan sangat jelas betapa berharganya sebuah proses. Cerita buku ini bermula di suatu pohon sikamor di Argentina (atau Spanyol? Entahlah. Saya lupa.) lalu tokoh utamanya mencari harta karun. Dia mengikuti petunjuk sampai ke Mesir, hanya untuk mengetahui harta yang dicarinya berada di bawah pohon sikamor di Argentina itu. Diceritakan tokoh utamanya menemukan banyak pelajaran berharga dari petualangan itu. Mendapat wisdom yang luar biasa dari banyak orang terutama dari sang alkemis yang dijumpainya (yang bisa mengubah besi apapun menjadi emas).

Apakah saya mengatakan tujuan tidak sepenting proses? Tentu saja tidak. Saya tergila-gila dengan tujuan. Apalagi jika saya mengerjakan sebuah project. Tujuan harus jelas, dapat diukur dan menjadi motivasi. Hanya saja, jika tujuan sudah tercapai, maka menurut saya kita berada dalam situasi teratur. Order. Comfort zone. Stabil dan stagnan. Buruk-kah itu? Saya tidak berani menjawab. Tapi saya berani memastikan hal tersebut pasti membosankan.

Siapa sih yang senang dengan masalah? Tentu saja tidak ada. Tapi masalah harus selalu ada. Kenapa? Menurut teori saya, karena kita sendiri yang mencarinya. Kita tidak suka berada dalam comfort zone yang membosankan. Lalu kita berusaha menggoyang comfort zone kita sendiri dengan masalah baru. Namun ketika masalah baru tersebut berhasil kita buat, maka kita akan kembali mencari comfort zone. Cycle nya seperti itu. Chaos-order (oh tuhan…kenapa saya mulai berbicara seperti Dewi Lestari?!)

Lalu apa gunanya? Tentu saja banyak sekali. Karena comfort zone yang sekarang tentu saja lebih baik keadaannya daripada comfort zone yang sebelumnya. Kalau dulu anda hanya cukup makan, setelah menemukan masalah dan memecahkannya, sekarang anda bisa punya rumah. Lebih baik, kan?

Saya betul-betul tidak percaya dengan bakat dan superman karena hal diatas. Saya tidak percaya adanya suatu pencapaian tanpa usaha. Karena konsep bakat, seolah-olah seseorang diizinkan tidak melewati proses yang sama kerasnya dengan orang lain. Bullshit.

Pencapaian itu hanya bisa dicapai dengan proses keras bernama masalah.

Karena itu kita tak mungkin tidak menyukai masalah. Kita semua cinta masalah. Hanya demi sebuah pencapaian bernama comfort zone.

Written only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com