Friday, December 22, 2006

My Brain and My…

Ketika saya masih sekolah dulu, saya bukanlah murid yang dikenal sebagai yang terpintar. Prestasi saya memang tidak pernah buruk, tetapi jarang saya menjadi yang terbaik. Saya selalu menjadi mediocre. Medium level is the most unnoticed level. So there I was, mediocre and unnoticed.

Beranjak kuliah, di mana saya berada jauh dari orangtua dan terlepas dari kewajiban belajar teratur dan mempelajari pelajaran yang tak saya suka, saya mulai menemukan cara saya sendiri untuk berprestasi. Lagi-lagi saya bukanlah mahasiswa yang dikenal sebagai yang tercemerlang. Walaupun saya berada pada top level, saya tetap pada range medium. There I was again, mediocre and unnoticed.

Saya mulai memandang bahwa sebuah institusi dengan sistem penilaian yang seragam ternyata tidak cocok untuk saya. Sistem penilaian yang menurut saya seperti mesin saja, tidak melihat satu persatu talenta tiap orang. Sistem ini gagal melihat, menilai apalagi mengembangkan talenta saya.

Jadilah saya seorang outsider. In family or school, or college. I made my own way. Achieving on my own way.

Begitupun dalam masalah pertemanan. Saya tak pernah punya banyak teman. Dan biasanya teman-teman saya bukan berasal dari komunitas yang sama dengan saya. Karena saya mediocre dan unnoticed, tak banyak teman sekolah atau sekampus yang mengenal saya. Mungkin karena teman-teman sekolah atau kampus juga cenderung terikat dengan sistem nilai institusi tersebut, yang sudah terbukti gagal menilai saya.

Terbiasa memiliki teman yang kalau menurut istilah saya “entah dari mana”, saya berkenalan dengan seorang arsitek. Lulusan sebuah institut teknologi terkenal di amerika yang termasuk dalam daftar Ivy League, hubungan pertemanan kami berkembang dari friends, discussion partner, flirting partner sampai akhirnya working partner. Satu ketika saya membawa dia bekerja untuk salah satu project yang saya tangani. Walaupun seorang arsitek, darah cinanya yang kental membawa insting bisnisnya lebih menonjol ketimbang kemampuannya merancang bangun sebuah bangunan.

Berteman dengannya sangatlah seru. Sejak awal pertemanan kami, saya merasa dia mengenal saya dengan cara yang tepat. Menilai dan menghargai saya dengan benar. Dia mampu melihat kemampuan saya yang tak mampu dilihat teman-teman dalam komunitas saya.

Tidak hanya secara intelektualitas. Teman saya ini menanggapi saya sebagai seorang perempuan dengan cara yang sangat benar. Not to mention kemampuan kissingnya yang berada pada the highest level dalam daftar saya..hehehe… Walaupun perbincangan kami seringkali berkisar pada pekerjaan, bisnis, buku-buku, musik, philosophy bullshit, dia tetap menanggapi saya sebagai seorang perempuan. Menyenangkan sekali rasanya bila kemampuan kita tidak dinilai berdasarkan stereotype gender, but yet being treat as a true woman. Semuanya tepat.

Satu kali ketika kami berbincang ngalor ngidul, kami saling membicarakan bagaimana kami saling melihat diri masing-masing. Dia bertanya, pria seperti apa dia di mata saya. Dengan panjang lebar saya menjawab bahwa dia sangat cina in business term, arogan, sombong, angkuh, incredibly smart, the hell of a kisser, women eater, and certainly not a boy friend material. Dia hanya tertawa-tawa mendengarnya.

Gantian saya bertanya padanya apakah saya ini di matanya. Tanpa pikir panjang dia berkata
“oh you are simply a pussy with brain”.

My goodness…

Setiap kali ingat itu saya tertawa. Entah mengapa, rasanya “pussy with brain” memang tepat menggambarkan saya.

Medan, December 21st 2006
6.11 pm.
Posted by NCM only

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com