Sunday, August 13, 2006

Highlights: Ilmu Klenik sampai Chaos-Order

Saya selalu tertarik dengan Indonesia beserta segala takhyul-takhyul nya. Saya ingat sekali bagaimana orangtua saya mengajarkan jangan kelayapan sesudah maghrib karena banyak setan berkeliaran. Terus, segala cerita-cerita mulai dari ande-ande lumut, sampe wewe gombel.

Sewaktu acara alam gaib dan segala teman-temannya masih berjaya di bumi pertelevisian kita. Saya suka sekali menontonnya. Biar orang-orang berpendapat acara itu tak berguna sama sekali, menurut saya tak ada salahnya menggunakan sedikit tawa. Ya, acara seperti itu menurut saya lucu. Bukan menakutkan.

Lalu cerita tentang orang-orang sakti dengan segala ilmu klenik-nya. Ajaib! Bukannya saya musyrik, tapi dibalik semua itu saya yakin seratus persen ada penjelasan yang sangat teramat logis.

Suatu hari sahabat saya bercerita tentang temannya yang sedang tergila-gila ilmu klenik (karena dia bosan dengan segala ajaran spritual barat) memberitahunya kalau ada pesantren di pulau Jawa (bagian mana saya lupa) yang bisa membuat orang berbicara dalam berbagai bahasa. Jadi alkisah si orang pintar berkata, “Saya tidak melakukan apa-apa. Sebetulnya kemampuan itu sudah ada dalam orang tersebut. Saya hanya membuka aura-nya.” Saya langsung antusias. Siapa tahu dia bisa membuka aura agar saya bisa bermain piano tanpa harus les!

Kontan kami berencana untuk mendatangi si orang pintar dan minta dibuka aura. Kami ingin bisa bahasa Ingris (tentu saja), Prancis, Italia, Mandarin, Rusia, Jerman dan Belanda. Menurut teman sahabat saya, untuk satu bahsasa, biayanya satu juta rupiah. Tapi karena kami cukup concern dengan harga (baca: pelit) kami berniat nego. Lima juta untuk tujuh bahasa. Hehhehe. Tentu saja ini hanya angan-angan. Saya sama sekali tidak percaya dengan hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Dan saya tidak mau melakukan hal yang tidak saya percayai.

Saya pribadi tidak percaya kalau sebenarnya kemampuan itu ada dalam diri kita semua. Well, mungkin saja. Tapi sebelum ada bukti (at least sampai National Geographic membahasnya), saya tidak bisa percaya.

Sama tidak percayanya dengan ilmu klenik ini, saya juga sama sekali tidak percaya dengan bakat.

Saya aktif di paduan suara. Seorang teman saya disitu bagus sekali suaranya. Semua orang memuji suaranya. Saya akui (walaupun dengan sedikit rasa sirik) suaranya memang bagus. Bakat? The hell. Saya rasa dia hanya cukup beruntung mempunyai badan besar (kebanyakan penyanyi klasik badanya bukan main besarnya). Mungkin ini berpengaruh pada resonansi suara, atau apalah. Pokoknya saya berusaha mencari excuse selain bakat.

Kalau minat, lain hal. Mungkin minat mendorong seseorang untuk mendalami suatu hal sehingga dia menjadi ahli. Saya mengambil kesimpulan. Kata kuncinya adalah ‘mendalami’.

Proses! Usaha! Ini lebih masuk akal.

Sama tidak setujunya dengan bakat, saya juga sangat tidak setuju dengan konsep manusia super semacam superman (bukan manusia-super nya Nietzsche). Bisa terbang, matanya mengeluarkan laser. Saya tahu ini hanya rekaan. Tapi sosok seperti ini hanya mengajarkan pembacanya mengenai ke-super-an nya tanpa memikirkan penyebabnya ke-super-an itu sendiri. Lebih mengutamakan tujuan daripada proses.

Buku Paulo Coelho, “The Alchemist” menurut saya menggambarkan dengan sangat jelas betapa berharganya sebuah proses. Cerita buku ini bermula di suatu pohon sikamor di Argentina (atau Spanyol? Entahlah. Saya lupa.) lalu tokoh utamanya mencari harta karun. Dia mengikuti petunjuk sampai ke Mesir, hanya untuk mengetahui harta yang dicarinya berada di bawah pohon sikamor di Argentina itu. Diceritakan tokoh utamanya menemukan banyak pelajaran berharga dari petualangan itu. Mendapat wisdom yang luar biasa dari banyak orang terutama dari sang alkemis yang dijumpainya (yang bisa mengubah besi apapun menjadi emas).

Apakah saya mengatakan tujuan tidak sepenting proses? Tentu saja tidak. Saya tergila-gila dengan tujuan. Apalagi jika saya mengerjakan sebuah project. Tujuan harus jelas, dapat diukur dan menjadi motivasi. Hanya saja, jika tujuan sudah tercapai, maka menurut saya kita berada dalam situasi teratur. Order. Comfort zone. Stabil dan stagnan. Buruk-kah itu? Saya tidak berani menjawab. Tapi saya berani memastikan hal tersebut pasti membosankan.

Siapa sih yang senang dengan masalah? Tentu saja tidak ada. Tapi masalah harus selalu ada. Kenapa? Menurut teori saya, karena kita sendiri yang mencarinya. Kita tidak suka berada dalam comfort zone yang membosankan. Lalu kita berusaha menggoyang comfort zone kita sendiri dengan masalah baru. Namun ketika masalah baru tersebut berhasil kita buat, maka kita akan kembali mencari comfort zone. Cycle nya seperti itu. Chaos-order (oh tuhan…kenapa saya mulai berbicara seperti Dewi Lestari?!)

Lalu apa gunanya? Tentu saja banyak sekali. Karena comfort zone yang sekarang tentu saja lebih baik keadaannya daripada comfort zone yang sebelumnya. Kalau dulu anda hanya cukup makan, setelah menemukan masalah dan memecahkannya, sekarang anda bisa punya rumah. Lebih baik, kan?

Saya betul-betul tidak percaya dengan bakat dan superman karena hal diatas. Saya tidak percaya adanya suatu pencapaian tanpa usaha. Karena konsep bakat, seolah-olah seseorang diizinkan tidak melewati proses yang sama kerasnya dengan orang lain. Bullshit.

Pencapaian itu hanya bisa dicapai dengan proses keras bernama masalah.

Karena itu kita tak mungkin tidak menyukai masalah. Kita semua cinta masalah. Hanya demi sebuah pencapaian bernama comfort zone.

Written only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com