Monday, April 17, 2006

WILD ORCHID

Saya sebenarnya bukan penggemar bunga.
Uhm.. maafkan statement di atas. Saya akan koreksi.
Saya sebenarnya senang dengan bunga, tetapi pengalaman-pengalaman saya terdahulu menyebabkan bunga sebagai salah satu icon feminitas dan tanda mata yang indah, tidak mengambil tempat penting dalam daftar preferensi saya.

Perkataan yang sejenis ini, “Perempuan itu seperti bunga, harus dilindungi, dijaga dan dirawat keindahannya. Disiram dan dipupuk supaya selalu segar. Kelopaknya yang halus harus dijaga agar tidak lecet atau rusak apalagi lepas. Kalau rusak sedikit habislah dia. Persis perempuan, jangan sampai rusak.”
BAH!! Benci betul saya mendengarnya. Apa-apaan?! Kelopak apa?! Apa yang rusak? Saya tidak mau diidentifikasikan dengan bunga yang harus dipelihara supaya segar, tak boleh rusak dan harus dijaga keutuhan kelopaknya, jangan sampai lecet apalagi lepas. HUH!!!

Sebenci-bencinya saya pada perumpamaan tersebut, dalam hati saya tetap mengakui bunga itu memang indah. Halus sekali dan tak dapat ditiru manusia, sebagaimanapun ahlinya artis yang melukis atau memahatnya atau secanggih apapun mesin yang menciptakannya.
Yes, flowers are beautiful.

Pada masa-masa muda saya, ketika umur saya belasan tahun hingga awal 20 an, beberapa teman se-gank saya yang cantik-cantik sering sekali mendapatkan bunga dari teman-teman pria kami. Teman sebelah kamar kost saya yang cantik dan pintar tercatat sebagai penerima bunga (secara langsung maupun lewat kurir) terbanyak yang pernah saya tahu.
Kami ber 5. Semua sering sekali menerima bunga, kecuali saya. Tidak sekalipun.

Sejak saat itu saya benci bunga, atau saya pretend untuk membenci bunga, saya terbiasa membenci bunga dan akhirnya saya benci betulan pada bunga. Apalagi bunga mawar.

Tetapi saya punya bunga favorit. Bunga itu namanya gladiol. Bentuknya biasa saja tetapi menurut saya indah sekali. Saya hanya menyukai yang berwarna putih.
Akhirnya saya end up takut pada bunga ini. Bukan benci, tetapi takut. Seakan-akan bunga ini tahu rahasia saya mengapa saya membenci bunga. Dia tahu betapa saya merasa teralienasi dari teman-teman saya yang mendapatkan bunga. Betapa saya kemudian membandingkan diri dengan mereka dan akhirnya menyesali diri sendiri. Kenapa saya tidak secantik mereka, tidak semenarik mereka, tidak se populer mereka.
Saya takut pada bunga itu. Karena dia tahu.

Sekian lama saya men-declare kepada semua orang, that I am not a flower kind of girl. Orang-orang percaya dan sayapun percaya pada statement yang saya ciptakan sendiri.

Dua tahun yang lalu seorang pria berkata kepada saya dalam perbincangan kami di sebuah lounge saat kami minum teh. Meja kami menghadap halaman yang luas tertata asri dan sejuk. Sore yang indah. “Rose tea for me and wild cherry tea for the lady, because that she is,” katanya pada pelayan. Saya terpana. Astaga…
Diskusi kami berlanjut dengan cerita tentang bisnis dan akhirnya perbincangan beralih pada kami berdua.
“…look at you. Free spirited, smart and beautiful young woman. It is just like to see a flower in a land. Beautiful flower, smells good, white, small and pretty. So free with wind blowing and green grass surrounded her. I am in love with the flower. But I know, if I pick her, set her in a vas and put it in my room, the flower will die. So, I buy the land. The whole land, and I can be with my flower forever without taking her freedom from her.”

Saya memandang dia dengan mata membesar. Oh.. I was speechless.
He identified me with flower. And I feel okey. Okey? No I am not okey. I am flattered. I am happy.
Pekataan itu mengubah persepsi saya tentang bunga menjadi tidak terlalu sinis.
In fact I am amazed.
My goodness.. wild cherry and wild flower..
Wow!! hahahaha....

Hubungan saya dengan the buyer of the land tidak betahan lama. Either I am too free for his land or he was to busy buying another land..hehehee… Akhirnya saya berhenti berhubungan dengan dia. Saya tidak tahu di mana dia sekarang. But many of his words and thoughts are still remain.
Beautiful memory.

Hubungan saya dengan bunga menjadi biasa-biasa saja. Walaupun tidak terlalu suka juga. Since akhirnya saya dengan teman se-gank saya berpisah selulus kuliah, dan saya terhindar dari pemandangan pria-pria yang memberikan bunga pada setiap mereka dengan tatap penuh harap. Pffuihh!! Melegakan!

Belum lama ini saya bersama salah seorang teman saya berjalan-jalan di sepanjang jalan dago. Dia seorang penyuka bunga dan pernah memberikan foto-foto bunga hasil jepretannya pada saya. Yah saya sih senang saja, fotonya bagus. Tetapi objek potretnya tidak terlalu membuat saya exciting. Macam-macam bunga ada di situ, tetapi bunga anggrek yang paling jelas fotonya dan paling bagus hasilnya menurut saya.

Saat itu tengah malam. Lalu ia mengajak saya melihat sebuah rumah di belakang sebuah sekolah tinggi di jalan dago. Rumah itu rumah lama dan unik sekali. Kecil dan bercat putih. Beberapa jenis bunga ditanam di halaman depan, cukup terawat walaupun harusnya bisa lebih bagus lagi.
Dinding depannya terbuat dari kaca dan terdapat rak-rak si sepanjang kaca dinding tersebut. Di atas rak terletak souvenir-souvenir dari berbagai negara yang berbeda-beda. Ada boneka matouschka dari eropa timur, ada buku-buku dan beberapa souvenir lain yang saya tidak lihat terlalu jelas karena gelap. Kami mengamati rumah itu dengan kagum dan berbicara berbisik-bisik, memikirkan kemungkinan bagaimana caranya bisa masuk ke dalam. Teman saya berkata bahwa dia penah masuk ke dalam pura-pura ingin mencari kamar kost. Pemiliknya seorang ibu tua yang ramah mengatakan bahwa kamar kostnya sudah penuh. Wah, saya harus meniru taktik itu, kata saya. Dia berjanji akan mengantar saya, lalu kami tertawa tertahan.

Setelah melihat rumah itu kami hening agak lama. Kemudian dia memandang saya, lalu dia mengarahkan tubuh saya menghadapnya. Saya mendongak memandang dia, mengingat tingginya yang 28 cm di atas saya. Kemudian dia menarik tubuh saya merapat dan menempelkan keningnya pada kening saya.
Lama kami dalam posisi itu. Pegel juga leher saya, belum lagi tas kerja saya yang berat berisi 3 kilo laptop cukup menyakiti bahu saya.
Kemudian dia berkata, “Uhm… I can only do this to you…”. Dia diam agak lama sambil memejamkan mata. “Kamu tahu anggrek? Bunga itu tidak bisa diapa-apakan. Tidak boleh dirawat terlalu telaten, disiram teratur, apalagi dipupuk. Dia akan mati. Anggrek harus dibiarkan saja untuk tetap hidup. Kita hanya boleh memandangnya dan menjaga lingkungannya agar tetap baik untuk dia tumbuh, tetapi jangan menyentuh dan mengurusnya terlalu sering. Atau lebih baik dibiarkan sama sekali persis anggrek hutan. Seperti kamu. Harus dibiarkan bebas biar bisa hidup”

There it was, the 2nd pesonification of flower on me.
Saya merenungkan kedua hal itu. Mungkin sudah saatnya saya memandang bunga dari perspektif berbeda. Mungkin selama ini saya consumed by other person’s perspective tanpa memikirkan pendapat saya sendiri.

Well, it takes 2 men for me to reconstruct my paradigm about flower, and about some part of my self. Its not too bad to be a flower, when it is a Wild Orchid that you identified as.
Not to mention that it is sound so telenovela.. hehehe…

(Posted by NCM only)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com