Wednesday, November 16, 2005

Identity or Chemistry

Salah seorang teman pria saya pernah berkata pada saya, ”You make me feel like a king.” Teman pria saya yang lain menulis buat saya “You make me feel like a man”. Bingung dengan statement mereka, lantas saya berpikir, kualitas apa yang ada dalam diri saya sehingga mereka bisa merasa demikian? Apa yang telah saya lakukan? Apakah saya menunjukkan kualitas stereotipe gender tentang bagaimana seorang perempuan umumnya ketika bersama dengan mereka? Adakah saya penuh kelembutan, manis, manja, penurut dan menggemaskan ketika bersama dengan mereka? Seingat saya tidak. Saya lebih ke arah pemberontak dan kritis ketika bersama mereka. Selalu bertanya dan ingin tahu segala hal sampai tuntas apabila berbincang dengan mereka. Jangankan lembut, setuju dengan pendapat merekapun jarang. Menggemaskan? Itulah kualitas yang tidak saya punya dalam kepribadian saya.

Terus ada apa dengan pria-pria ini?

Lantas saya bertanya pada salah seorang teman pria saya yang lain, ”Do you need a woman to make you feel like a man?” Jawabnya “Of course. Because you girls have pussies and we have dicks. Those are the differences between us, rite?”

Waduh! Saya bertanya pada orang yang salah. Soal vagina dan penis itu memang benar. Tapi saya ingin tahu pandapatnya soal ini lebih kepada emosi, bukan anatomi. Memaklumi kondisi otak pria yang 90% diisi oleh sex, akhirnya saya melanjutkan diskusi kami ke topik yang lain.

Kemarin saya check in dengan salah seorang sahabat saya. Setelah ngobrol semalam suntuk akhirnya menjelang subuh saya bertanya padanya, “Honey, do you need a man to make you feel like a woman?” Dia berpikir sebentar dan akhirnya menjawab, “Ada hal-hal tertentu yang gua butuh pria untuk merasa menjadi wanita tetapi ada juga yang tidak.” Dia menjelaskan bahwa dengan adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki makanya ada perempuan dan laki-laki. Kalau semuanya sama yah tidak ada perempuan dan tidak ada juga laki-laki. Jawaban itu benar walaupun tidak terlalu memuaskan saya. Lagi-lagi terminologi yang digambarkannya mengarah kepada perbedaan anatomi.

Saya kemudian berpikir lagi, do I need a man to make me feel like a woman? Do I ever feel like a woman because of the existence of a man?

Apa yang membuat laki-laki dan perempuan berbeda? Vagina dan penis sudah jelas, payudara dan rahim, testikel dan klitoris, testosterone dan progesterone semua jelas memberikan perbedaan. Tetapi bukankah itu terlalu general. Ketika teman pria saya menyatakan “you make me feel like a man” dia mengaku tidak menyatakannya untuk semua wanita yang ditemuinya. Jadi statement tersebut kelihatannya tidak ada hubungannya dengan anatomi.

Suatu ketika saya mengalami affectionate moment dengan pasangan saya. It was beautiful, he treated me so well. Saat itu saya merasa sangat bahagia. Dia tahu bagaimana seharusnya memperlakukan seorang wanita. Ketika mengingat kejadian itu saya jadi berpikir, saya merasa “diperlakukan” seperti bagaimana seharusnya wanita diperlakukan. Berarti perasaan “feel like a woman atau a man” terjadi karena perlakuan seseorang? Kebetulan dia adalah seorang pria, dan hubungan kami adalah hubungan heterogen. Terus bagaimana dengan hubungan seorang pria dengan pria atau wanita dengan wanita? Apakah pasangan gay tidak merasa sebagai pria atau merasa sebagai wanita saat berhubungan dengan pasangannya yang kebetulan berjenis kelamin sama?

Penasaran akan hal ini saya bertanya pada salah satu teman gay saya, does he feel like a man when he make love with his boy friend? Dia menjawab, “When I make love with my boyfriend, it’s not for making me like a man, but to make me feel the experience of love (to love and be loved) more intensely. Being a man has nothing to do with sex or anyone. I guess it’s more into the ‘be your self’ stuff.”

Kalau begitu seorang pria gay lebih yakin dengan kelaki-lakiannya dibanding seorang pria straight? Buktinya dia tidak merasa perlu seorang perempuan untuk merasa seperti laki-laki. Tetapi again, saya rasa itu juga tidak bisa di generalisasikan.

Saya setuju dengan pendapat teman gay saya. I am a woman dan tidak ada yang bisa mengubah itu. I am a woman anywhere with whomever. Terus apa penjelasan terhadap perasaan saya ketika mengalami affectionate moment dengan pasangan saya? Apakah karena perlakuannya terhadap saya? Atau karena adanya chemistry di antara kami yang membuat perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki menjadi terlihat dan terejawantah dalam bentuk afeksi terhadap satu sama lain? Mungkin itu jawabannya.

Saya berkesimpulan feel like a woman or a man berbeda dengan be a woman or a man. Be a woman or a man is identity dan feel like a woman or a man is chemistry.

Mungkin ketika itu energi feminine saya begitu besar sehingga masculinity mereka jadi terlihat signifikan dan sebaliknya. Dan again saya berpikir, apakah untuk memunculkan sisi feminine diperlukan masculinity?

Oh no... sebaiknya saya berhenti menulis tentang ini sampai di sini saja.

(NCM)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com