Monday, May 02, 2005

Tortured by Romance

Hummm… saya bosan menulis hal yang membuat diri saya sendiri pusing. Mari kita berbicara tentang cinta. Ingin tertawa? Silahkan. Karena saya juga!

Well, this is not a love thingy actually. Its more specific on romance. Kalau di-bahasa-indonesia-kan manjadi romansa (kampungan sekali bukan? Karena itu mari kita gunakan kata romance saja)

Here’s the deal. Every single thing in this world is romance related. Musik? Jelas. Ini surganya. Film? Tentu saja. Bahkan film yang berat sekalipun cenderung membicarakan romance atau setidaknya menyelipkan unsure romance. Sastra? Apalagi. Sampai bosan melihat semua buku apalagi novel Indonesia yang isinya romance semua (well mungkin saya terlalu berlebihan). Media? Whups! Anda bisa melihat buktinya di majalah yang kerap memuat artikel berjudul “Menjadikan Pasangan Anda Pria Multiorgasme” atau “Mungkinkah Laki-Laki Mendengar?” atau “Mendapatkan Pasangan dalam Sepuluh Hari”.

Setelah itu saya melihat diri saya. Jomblo? Jelas. No romance at all.

Lalu kombinasikan keduanya. All world talking about romance and I don’t have any of it?

Kesimpulan: curse me!

What a pity don’t u think?

But come on, let’s always see the brightest side in even the darkest thing ;p

Siapa sih yang tidak suka romance? It would be a lie if I say that I don’t like it. Everybody need sex, right? (harharhar). Tapi terkadang saya mendapatkan romance membuat kita yang tidak-tidak.

Seorang teman saya contohnya. Saya sangat menikmati semua perbincangan kami, sampai suatu saat, BANG! He’s got someone to sleep with. After that, its just… I don’t know… mungkin saya yang terlalu sinis, namun saya menganggap dia menjadi bodoh. Jangan tanyakan saya teori pendukung atas kesimpulan tersebut karena saya sendiri juga tidak tahu. Insting saya saja yang berkata demikian. Lagipula, apakah semua harus ada alasannya? We talking about romance, right? Alasan hanya menjadi kata-kata basi disini.

Lalu kembali ke topik kesukaan saya. Ekspektasi. Ya! Romance membuat ekspektasi. Dan ekspektasi mendorong kita untuk menuju jurang kekecewaan. Simple saja. Jika anda tidur dengan seseorang pasti sekecil-kecilnya pasti muncul ekspektasi. Bagi yang relationship freak, mungkin ekspektasinya berwujud “semoga ini yang terakhir”, “semoga kami langgeng”. Bagi yang merana akan perhatian mungkin ekspektasinya hanya kecil. Mungkin hanya “aku hanya berharap dipeluk. Itu saja” atau “well, I guess ‘thank you’ will be nice…”. Tapi bottom line nya tetap saja ekspektasi.

Waste of time. Coba anda bayangkan berapa banyak pekerjaan yang bias anda lakukan secara maksimal tanpa memikirkan pasangan anda. Apakah dia sudah makan? Apa kabarnya hari ini? Damn! She (or maybe, he?) was beautifull last night! I Love him/her!

Pikiran negatif. Untuk beberapa orang, romance justru akan mendorong insekuritas. Tidak aman akan apapun jika berhubungan dengan pasangannya. Mulai dari cemburu, inferior (gosh…is it me? Haha), overprotected, dan mungkin bias sampai mengarang alas an apapun hanya karena takut pasangannya tidak suka lagi terhadap dia. Dan ini terbukti sekali. Saya sudah membuktikan.

Sakit hati. Mari kita sama-sama berkata: Amiiiinnnnn…. Karena kita semua pasti setuju. Apalagi jika masa-masa itu telah berakhir. Menangis semalaman, seperti kata Audi. Atau bisa juga self destruction seperti memukuli diri sendiri, mengurung diri berhari-hari sampai semua terbengkalai, atau bias juga membuat teman kita muak dan ingin muntah mendengar keluh kesah kita yang tak ada habisnya.

Lalu saya lantas bertanya-tanya. Kalau begitu banyak aspek yang merugikan dari romance, mengapa kita cenderung terus mencari-carinya? Merasa malu jika tidak punya pasangan? Saya jelas tidak tahu. Namun saya bisa memikirkan beberapa kemungkinan.

Ini pendapat saya. Kita memulainya. Semua dimulai. Dari deg-degan, nikmatnya mengimajinasikannya di benak kita masing-masing, sampai tahap memulai. Semuanya masih terasa menyenangkan. Exciting. Lalu muncul masalah. Anda bosan, anda cemburu, mulai meributkan hal-hal besar, lalu kemudian meributkan hal-hal kecil yang tidak penting (seperti marah sambil menangis karena terlambat dijemput 10 menit), lalu ekspektasi anda tak terpenuhi, lalu anda kecewa, lalu anda sakit hati, lalu anda berniat memperbaikinya bersama dan memulai siklus itu lagi berulang-ulang. Bisa dibayangkan betapa muak, eneg dan bosannya diri anda. Lalu pada akhirnya semua berakhir! AHHHHHHHHH…. Kelegaan melanda. Seperti orgasme yang tertahan lalu tiba tiba keluar dengan kekuatan ekstra besar! Betapa ekstasi yang menyenangkan! Lepas dari semua perasaan yang mengganggu!

Jadi kesimpulan saya. Mengapa kita terus-menerus mencari romance? Tak bisa hidup tanpanya? Mudah saja. Mungkin karena, it feels so great when its over! (dikutip dari film “Mirror Has Two Faces”).

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com