Wednesday, December 15, 2004

Dongeng Sebelum Tidur

Gara- gara seorang teman, saya kok jadi tertantang untuk menulis fiksi yah? Hehehe…seperti blog ini juga saya buat gara-gara seorang teman…
Identity Crisis? Well…I’m not here to judge…apalagi nge-judge diri saya sendiri!

This is my first experience though! Jadi apa daya kalau jadinya pas-pasan? Lagian kayaknya fiksinya disini kok cuma jadi kedok doang? Hehehe…enjoy!

=====


Di dunia dunia manusia duyung, ada orangtua bernama Athena. Dia adalah pemimpin manusia duyung. Dia disegani dan dihormati. Kata-kata nya bijak dan penuh kebaikan.

Suatu hari Athena sangat berbahagia, karena mereka mendapat seorang anak duyung yang sangat cantik sekali. Karena itu mereka menamainya Helen.

Sebagai keluarga terpandang, Helen dididik dengan cara terpandang juga. Dimasukkan ke sekolah duyung bergengsi dengan para pengajar yang sangat disegani. Ada Pak Paus yang sudah berkeliling dunia dan melihat semua dunia laut. Ada Bu Tiram yang mengajarkan menghasilkan barang indah yang bernama mutiara. Ada Pak Gurita yang mengajarkan seni tari. Dan bahkan ada sang titisan dewa mengajar di sekolahnya, tentang kebijaksanaan.

Helen sendiri sangat suka belajar. Terutama tentang kebijaksanaan dari sang titisan dewa. Selain itu titisan dewa juga mengajarkan kasih sayang, dan banyak sekali pengetahuan-pengetahuan tentang dunia luar. Dan yang paling menarik adalah mengenai kebebasan individu.

Helen sejak kecil sangat disayang oleh Athena. Dan sebagai orangtua yang baik, mereka mengajak Helen untuk selalu beribadah kepada dewa. Di tempat ibadah mereka, sang titisan dewa selalu mengajarkan hal-hal yang dianggap mulia. Jangan mencuri, jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mengingini barang sesamamu, kasihilah sesama duyung. Dan banyak lagi nasihat serta petuah untuk pedoman kehidupan moral komunitas duyung. Helen selalu mendengar dengan antusias. Karena dewa ini sangat baik kelihatannya. Dan dia juga takut ketika titisan dewa berkata jika kita tidak mematuhi kemauan dewa, kita akan disiksa siang malam sampai selama-lamanya.

Suatu hari, sang titisan berkata. Hormatilah orangtuamu. Helen pun selalu menghormati orangtuanya, Athena.

“Kamu harus menjadi juara kelas” kata Athena
Baiklah… saya harus berusaha

Karena Helen memang murid yang ceras, maka dia menjadi juara sekolah.

“Kamu harus pintar menari ombak. Belajarlah pada Pak Gurita”
Wah, saya tidak suka menari… saya lebih suka belajar pada titisan dewa. Ah tapi menari itu kelihatannya indah…baiklah…

“Kamu harus pintar bermain musik. Belajarlah bermain kecapi.”
Aku tidak suka!
“Bermain musik itu bagus, kamu harus menyukainya.”
Benarkah demikian? Akan kucoba.

Namun Helen adalah duyung yang sangat ingin tahu. Bahkan tidak jarang dia muncul ke permukaan laut untuk melihat dunia yang berbeda dengan dirinya. Lalu dia melihat yang namanya manusia. Wah jadi manusia kelihatannya enak. Punya kaki, bisa berlari, dan manusia juga tampan dan cantik perawakannya. Berbeda sekali dengan apa yang dikatakan gurunya di sekolah. Di sekolah dia diajarkan kalau di dunia yang kering, makhluk bernama manusia itu kejam. Dengan tangan dan kakinya mereka merusak dunianya sendiri. Mereka buruk rupanya.

Lantas Helen bertanya pada guru yang dikasihinya, sang titisan dewa.

Apakah benar demikian guru?
“Tergantung kamu Helen. Semua bisa terlihat baik kalau kamu mau merubah konteks.”
Saya ingin tahu lebih banyak guru.
“Kamu bisa Helen. Akan kuberitahu kau sebuah rahasia, karena kau murid terkasihku. Aku punya ramuan yang membuat kamu seperti manusia. Kamu akan punya kaki dan bisa berlari seperti mereka.”

Helen tidak langsung menyambut tawaran itu. Dia harus tahu lebih banyak tentang manusia dulu. Maka dia semakin sering naik ke permukaan dan mulai mendekati perahu-perahu manusia. Dan pada suatu saat penasarannya memuncak sampai dia menghampiri perahu manusia itu.

Apakah kau manusia?
“Ya putri duyung, apa maumu?”
Aku ingin tahu tentang manusia dan dunia kering. Berceritalah.

Lalu manusia bercerita. Dia bercerita manusia itu ada yang baik ada yang jahat. Manusia banyak yang egois. Tapi tidak sedikit juga yang baik hatinya. Dunia kering itu sangat menarik. Ada makhluk bernama kuda yang berlari dengan empat kakinya. Ada makhluk bernama burung yang punya sayap. Tapi anehnya ada yang bisa terbang ada yang tidak. Dunia kering ada makhluk bernama tumbuhan yang mengeluarkan buah-buah manis.

Helen makin sering bertemu dengan si manusia hanya untuk bercakap-cakap. Lalu didalam hatinya dia ingin menjadi manusia. Menjadi manusia sepertinya menarik. Karena manusia dan dunia kering sangat seimbang. Kebaikan seimbang dengan keburukannya.

Suatu hari Athena berkata “ Kau harus menjadi penerusku, nak.”
Tidak mau. Aku ingin menjadi manusia

“Apa? Makhluk hina! Mengapa kau ingin menjadi mereka!”
Pertimbanganku terlalu banyak.

“Katakan padaku daripada kau kucambuk.”
Manusia itu (penjelasan panjang lebar). Karena itu aku ingin menjadi manusia

Athena mendengar dengan kuping terbuka namun hati tertutup.

“Tidak boleh!”
Mengapa?

“Pokoknya tidak boleh! Kamu harus menjadi penerusku.”
Oh orangtuaku, mengapa kau memaksaku menjadi sepeti yang kau mau sementara aku tidak mau? Mengapa kau tak menganggapku sebagai individu? Mengapa aku harus selalu menyesuaikan kemauanku dengan kemauanmu? Apakah alasanmu melarangku?

“Apa kata orang nanti. Aku orang terpandang!”
Aku selalu mengikuti kemauan kalian. Selalu mengadaptasi kemauan kalian walaupun aku tidak suka. Namun sekarang sudah kelewatan. Semua yang kalian mau sudah makin tak masuk akal. Oh mengapa kau mengorbankan anakmu sendiri demi kehormatanmu. Sebegitu egoisnya kah dirimu?

“Karena aku orangtuamu! Aku membesarkanmu dengan penuh cinta! Dengan penuh kasih sayang!”
Lantas apakah itu harus kubalas dengan mematuhimu? Apakah posisi sebagai orangtua memang untuk dipatuhi?

“Tidak sayang, kami melakukannya demi kebaikanmu. Manusia itu hina dan jahat”
Lantas mengapa aku tidak bisa menentukan kebaikan untuk diriku sendiri?

“Kami sudah membesarkanmu dengan penuh kasih sayang! Inikah pembalasanmu?”
Mengapakah kalian sebagai orangtua mengharapkan pembalasan kasih sayang? Kasih sayang balasan tidak seharusnya diharapkan. Biarkan itu datang dari diriku sendiri, dan dengan caraku sendiri. Dimana kasihmu yang sebenarnya, yang sering diagungkan sebagai kasih yang paling tulus? Bukankah tulus berarti tidak mengharapkan balasan? Kasih sayang orangtua seharusnya tulus tanpa pamrih.

“Kamu anak durhaka!”
Apakah kamu tidak merasa sebagai orangtua yang durhaka? Karena setelah mengharapkan balasan dari kasih sayangmu, kau menginjak-nginjak kebebasanku sebagai individu. Kapankah kalian sadar bahwa aku adalah milik diriku sendiri? Kalian durhaka karena kasih sayang kalian bukan kasih sayang sesungguhnya! Kalian mengharap pamrih dibalik menyayangiku.

“Kamu melawan!”
Aku tidak melawan, orangtuaku yang kukasihi! aku hanya mau mengikuti kata hatiku. Aku sudah lelah mengikuti kemauanmu dan membunuh kemaunku sendiri. Sampai kapan aku mensugesti kemauan kalian sebagai kemauanku? Aku sudah lelah.

“Kamu masih anak-anak! Kau tidak tahu apa yang kau percaya.”
Lantas biarlah aku mempercayainya atas resikoku sendiri. Bukankah itu yang dinamakan kedewasaan? Apalagi yang mau kau katakan?

“Kami orangtuamu!”
Apakah itu kartu jokermu, orangtua? Karena kau orangtuaku, karena kau menyayangiku, karena kau membesarkanku, karena kau melahirkanku! Kau mengharapkan balasan dari apa yang kau lakukan? Aku ingin bertanya kepadamu. Apakah sebelum aku lahir, aku pernah minta dilahirkan?

“Dewa berkata Hormatilah Orangtuamu!”
Sekarang kau memakai kata-kata dewa yang kukasihi untuk menyerangku. Sangat butuhkah kau dukungan? Aku menghormatimu selalu, oh orangtuaku. Walaupun aku tidak yakin konsep menhormati kita berada pada level yang sama. Apakah tidak terasa egois kalian meminta hormat sedangkan kalian tidak menghormatiku? Menghormati pilihanku?

Lantas karena pertengkaran ini, Helen lari menemui sang titisan dewa.

Mana ramuan itu? Aku menginginkannya.

“Apakah kau yakin?”

Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Sang titisan mengetahui Helen luar dan dalam. Bahkan dia mengetahui Helen daripada Helen sendiri. Lantas dia memberikannya.

Helen sudah memegang ramuan itu. Sekarang tinggal keputusannya. Hanya tinggal memutuskan.

=====

Seperti layaknya dongeng, harus ada moral ceritanya. Moral cerita dongeng ini adalah,
Konsep anak durhaka sudah diciptakan berabad-abad lampau. Supaya adil, mengapa kita tidak menciptakan konsep orangtua durhaka? ;-)



|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com