Monday, November 29, 2004

Comparison

Lebih tinggi lebih rendah. Comparison. Mengapa?

Saya selalu heran melihat ada orang yang bisa-bisanya melihat dirinya lebih tinggi (jelas yang saya maksud bukan tinggi badan) atau lebih rendah dari orang lain sebagai manusia. Ataupun melihat sesuatu lebih tinggi daripada yang lain. Agama lebih tinggi dari sains. Agama saya lebih tinggi daripada agama lain. Pria lebih tinggi dibanding wanita. Ras ini lebih tinggi daripada ras itu. Anak universitas ini lebih tinggi daripada universitas itu. Anak IPA lebih tinggi daripada anak IPS. Heteroseksualitas lebih tinggi dibanding homoseksualitas. Pilot lebih tinggi daripada tukang becak.

Comparison seperti ini selalu mendorong kita untuk menge-judge lebih lanjut. Bagi orang-orang ‘tinggi’ yang mau dinilai sebagai orang baik berpikir, kasihannya dia…kita harus menyelamatkannya. Bagi orang-orang yang tidak peduli anggapan orang tentang baik tidaknya dia, pasti menghujat. Dasar anak IPS! Ngehitung gini aja ga bisa. Ga bisa berpikir logis! Sistematis!

Ckckckck…lantas dari situ si orang yang posisinya lebih rendah (karena tidak didukung pencarian lebih lanjut) lantas melakukan dua kemungkinan. Pertama, menolak. Enak aja! Siapa bilang kita ga bisa ngehitung? Emang kita ga belajar matematika? Begitu kata anak IPS. Kedua mengakui kalau posisinya memang lebih rendah. Iya…aku memang bersalah…memang hal seperti itu dilarang oleh agama, aku salah, aku berdosa, aku lebih miskin, aku lebih bodoh…

Lantas tindak lanjut dari orang baik tadi, sok mau menerima. Dengan niat heroik mau merubahnya ke arah yang benar. Menurut standar siapa saya gak tau. Menerima juga secara wacana saja. Secara realita? Belum tentu. Lalu si posisi ‘rendah menolak’ membentuk kubu-kubu perlawanan. Lalu membenci. Dan kemudian saling membenci. Si lebih ‘rendah menerima’ ikut saja kata si orang baik. Mengikuti semua terapi-terapi, pelatihan, atau apapun yang difasilitasi si baik untuk memenuhi ekspektasi si baik.

Ekspektasi! Satu hal yang saya lupa. Selain itu comparison seperti ini juga memancing kita membuat ekspektasi yang tidak-tidak. Si baik mengekspektasikan si rendah untuk ikut caranya, berubah menjadi cara yang menurut dia benar. Si ‘rendah menerima’ mengekspektasikan dia berubah menurut kata si tinggi. Padahal belum tentu berhasil dan belum tentu benar bahkan menurut apa yang dianut si tinggi. Si ‘rendah melawan’ akan meminta kesetaraan, meminta diterima, yang justru makin disudutkan oleh si tinggi (yang biasanya lebih mayoritas, lebih mainstream).

Saya tidak mengerti. Kenapa ya? Tinggi rendah, salah benar. Kalo di dunia ilmu pasti, hal seperti itu memang ada. Walaupun itupun tetap relatif. 1 lebih rendah dari 2. pasti. Tapi tetap pada circumstances bagaimana? Air dipanaskan akan mendidih. Pasti. Tapi dalam circumstances yang bagaimana? Nah di dunia sosial? Lebih absurd lagi. Salah menurut siapa? Benar menurut siapa?

Tak saya pungkiri saya pun kadang berpikir seperti si ‘tinggi’, seperti si ‘rendah menolak’ atau si ‘rendah menerima’.

Tidak cukupkah kita melihat semua hal tersebut sebagai hal yang berbeda? Berbeda! Itu saja! Tidak lebih buruk, lebih baik, salah, atau benar.

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com