Sunday, November 21, 2004

Semua Serba Seragam

Kampus saya begitu membosankan. Selain kuliahnya, entah kenapa orang-orang nya juga. Semuanya typical. Begini penjabarannya.

Laki-laki nya (rata-rata) memakai kemeja, kancingnya dibuka dua atau tiga, bermotif, lengan pendek. Celananya melebar di bawah (sampai bisa nyembunyiin anak ayam kale), sepatu pantofel atau sepatu basket. Terus di tangan harus ada item-item sebagai berikut: ponsel, Marlboro merah, Marlboro hijau atau putih, kunci mobil dan file folder. Oh ya! Tidak ketinggalan kalung rantai emas. Sedangkan wanita nya (rata-rata) memakai atasan yang sudah pasti terbuka, warna-warna terkini, potongan asimetris. Lantas memakai rok renda atau celana melebar atau celana 7/8. stiletto bertali. Tas tangan dan buku kuliahan.

Hmmmmmm…bosannya….

Keseragaman. Mangapa? Keseragaman bukannya justru membosankan? Bahkan saya rasa para fashion designer sekalipun menyadari keseragaman adalah hal yang membosankan. Karena itu justru dunia fashion selalu berlomba mengeluarkan hal-hal aneh, paling-lain-daripada-yang-lain, dan selalu berganti.

What a pity…melihat keseragaman ini…. Bukanya kita sudah lelah diseragamkan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas? Mulai dari berpakaian, sikap, sampai pola pikir? Coba deh. Anak-anak TK kalau disuruh menggambar pemandangan, apa yang akan mereka gambar? Mulai dari Sabang sampai Merauke pasti rata-rata akan menggambar dua gunung, ada matahari menyembul, lalu awan-awan. Lantas dibuat sungai berkelok-kelok atau jalan di tengah gambar, lebar di bawah frame nya dan menjadi titik di garis horison. Lalu disebelah kanan ada sawah atau danau, dan disebelah kiri ada rumah penduduk. Belum lagi jika anak-anak smp atau smu bahkan anak kuliahan ditanya, apa jenis musik kesukaan mereka. Jawabannya? 90 persen menjawab: R 'n B dan Hip Hop (gheeee). Lantas, mengapa kita harus seragam juga disaat ketidakseragaman tidak mendapat hukuman lagi? Ooo…mungkin saya salah. Saya tidak memperhitungkan hukuman sosial.

Ada suatu teori menarik yang pernah saya baca di salah satu buku Pater Drost. Kata artikel tersebut, tanpa refleksi atas pengalaman hidup kaum muda akan berusaha menyesuaikan diri dengan (apa) yang berlaku sekarang. Dan ini sama sekali bukan pengembangan diri melainkan tenggelam dalam konformisme. Konformisme disini diartikan sebagai sikap ikut-ikutan saja. Sehingga karena identitas diri yang masih lemah, dibutuhkan pengukuhan atas jati diri tersebut. Seperti pengukuhan dan diterima oleh kelompok sebaya. Apakah kolot atau modern tidak menjadi masalah. Dan kelompok itu akan menuntut penyesuaian mutlak. Sehingga konformisme seperti ini dianggap berbahaya karena mematikan identitas diri. Itu realita. Selanjutnya dijelaskan bahwa keadaan ini makin diperburuk lagi oleh keadaan pendidikan kita. Menyeragamkan segala hal. Sehingga kepribadian diri dan ciri-ciri khas lingkungan tidak boleh ada lagi. Dst….dst….

Wah kalau begitu banyak orang di kampus saya (saya tidak berani berkata di kampus lain), hanya mencari konformisme? Mengapa? Apakah mereka takut tidak diterima publik? Mengapa? Rendahnya kepercayaan diri mereka sendiri? Wah saya tidak tahu. Identitas mereka kacau balau? Masa sih? Bukannya masa pencarian jati diri harusnya sudah berhenti pada masa-masa SMU? Takut dikenakan sanksi sosial? Wah itu hanya mempertegas yang saya bicarakan di paragraf lima diatas, yang sebenarnya merupakan keprihatinan.

Ada lagi kasus lain. Ada seorang teman baik saya yang menyukai (katanya) lagu-lagu ‘yang agak cadas atau cadas sekalian’. Lagu-lagu seperti Limp Bizkit, Linkin Park, atau apalah, saya juga ga gitu tau. Semuanya diletakkan di dashboard mobilnya. Namun saya sempat iseng membuka laci mobilnya. Lalu saya melihat kaset-kaset yang justru kebalikannya. Boyband! Backstreet Boys, dan teman-temannya sekalian. Saya tersenyum. Dia langsung panik menutup-nutup laci mobilnya. Malu. Lalu saya pernah sekali membawa salah satu cd jazz kesayangan saya. Tidak sengaja tertinggal di dashboard nya. Lalu dia memanggil saya dan berkata, “Ini cd elu jangan ditinggal. Ntar malu lagi gue kalo disangka orang suka jazz…”. Memprihatinkan saat selera pun harus disesuaikan dengan pendapat orang lain.

Saya sungguh merindukan pemandangan yang beragam. Di mana semua orang (atau setidaknya banyak orang) mempunyai gaya sendiri-sendiri. Sesuai apa yang menurut mereka bagus. Bukan apa yang menurut orang bagus.

Takutnya, hal ini tidak hanya berakhir di cara berpakaian. Namun ke hal-hal lain. Mungkin masalah konformasi dan penyeragaman ini akan membawa kita semua ke generasi yang maunya bilang iya saja. Menurut saja apa kata orang. Belum lagi ditambah embel-embel tidak kreatif, malas memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain. Mem-beo saja kepada orang yang lebih atas atau lebih pintar. Pendeknya, pokoknya setuju. Lalu para atasan akan seenaknya kepada bawahan. Menekan jiwa kreatif, tidak mentolerir ketidaksetujuan karena arogansi nya. Mengapa? karena dari zaman sekolah sudah ditekankan kalau guru selalu benar. Kalau ada yang salah dihukum. Melawan guru apalagi…

Saya sadar kalau memang fenomena konformasi ini mungkin sudah berlangsung sejak dulu. Namun saya tidak habis pikir kenapa sampai sekarang orang-orang masih terpaku pada prinsip yang sama. Lantas siapa yang mau disalahkan? Tatanan sosial? Sistem pendidikan?

Wah…saya tidak mau nge-judge….
Saya kan cinta damai ;p

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com