Kami Butuh Bahasa Baru
Sehabis kuliah saya seperti biasa berjalan menuju kantin, rumah kedua saya. Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba saya melihat sesuatu di majalah dinding yang cukup menarik perhatian saya. Sebuah newsletter dengan judul ‘Beautiful Heart’. Yang menarik perhatian saya (selain tulisan gratis yang ditambah dengan tanda seru) adalah imaji Tuhan Yesus yang di cutout di Photoshop. Saya berfikir jangan-jangan ini newsletter keagamaan. Ah, tapi apa salahnya dilihat.
Isinya edan. Ternyata isinya lebih banyak mengkritik si agama itu sendiri, dan mungkin bisa memancing kemarahan masa. Apalagi di kampus saya yang notabene kampus Kristen ini. Namun mungkin untuk menghindari hal-hal seperti itu, si pembuatnya tidak memberitahukan identitasnya walaupun tersirat. Well, semua orang pasti punya alasan
masing-masing.
Sebenarnya saya bukan mau membahas itu. Ada artikel yang menarik buat saya disitu. Judulnya ‘Ethics Without God or God Without Ethics’ oleh J Billings. Jadi isinya mengungkapkan keraguan; mana yang lebih baik diantara kedua hal tersebut. Isinya mengenai pendapat ateis versus agamawan. Ini kutipannya
“...in fact”, says the atheist, “it is the Christian who admits that difference between right and wrong is unclear; all the Christian knows is what is sin according to God and what is sin. What a pity that the only reason you, a Christian, do not steal is because your God threatened you with horrible punishment if you do. I’m sorry you don’t know that stealing is wrong. It causes innocent people to suffer and inflicting of needless pain is the worst of all crimes...”
Ha! Mungkin si ateis hanya menyederhanakan contohnya. Lagian siapa sih yang gak tau kalau mencuri itu salah? Namun kesimpulannya mungkin, kasihan sekali orang-orang yang beragama tidak melakukan hal-hal buruk hanya karena semata-mata takut dihukum Tuhan. Bukan beranjak dari kesadaran kalau hal itu memang salah dan membuat orang lain menderita.
Menurut saya itu adalah contoh-contoh dari, seperti yang dikatakan Romo Mangun, bahasa-bahasa agamawan yang ketinggalan jaman. Kalau orang dahulu mungkin bisa percaya dan manggut saja diberitahukan ini-itu, manusia sekarang tidak. Kita sudah terlalu banyak tahu. Sejarah dan perkembangan sains telah menarik kita untuk membuat perkiraan bahwa Tuhan itu sendiri tidak eksis. Manusia harus mencari tahu sendiri. Manusia harus mencari jalan keluar sendiri. Hal ini memang tidak saya percayai, namun beralasan jika orang-orang berpikir demikian.
Sejarah telah membuat kedudukan Tuhan dan Gereja serta wibawa Alkitab memudar. Manusia sudah terlanjur banyak tahu. Semua bahasa agama yang dipertahankan berabad-abad dirasa sudah tidak relevan lagi.
Kehidupan jaman nabi Nuh dengan jaman kita jelas-jelas berbeda. Sosial, sains, realitas, ekonomi, atau apapunlah. Jelas semuanya berbeda. Manusia sekarang apalagi generasi muda (termasuk saya), makin kritis, makin cerdas, makin cari tahu. Pertanyaan ‘mengapa’, ’bagaimana mungkin’, sering sekali diajukan. Kami butuh bahasa baru. Manusia sekarang tidak asal percaya dengan suatu hal lalu mau mengikut. Tidak seperti kerbau yang mau saja ditusuk hidungnya dan ditarik kemana-mana. Manusia sekarang banyak mengeluarkan pertanyaan untuk memutuskan.
Seperti misalnya, di salah satu kitab suci agama (dan kitab suci lain, mungkin), ada dinyatakan wanita tidak boleh memimpin jemaat. Lantas ditengah maraknya pergerakan feminis, ditanyakan, mengapa. Jawabannya? Bisa jadi hanya ‘Karena memang kata Tuhan begitu’ atau pernyataan sejenisnya. Lalu ditanyakan. Kenapa Tuhan maunya begitu? Lantas jawabannya apa? Contoh lain. Wanita harus tunduk kepada Pria. Mengapa? Ya jawabannya jangan-jangan itu lagi. Kalau dikatakan pria lebih pintar, lebih kuat, atau lebih-lebih lainnya, jelas tidak. Pintar? Apa kabar dengan Marie Curie? Banyak laki-laki lebih bodoh dari dia. Kuat? Banyak atlit-atlit perempuan yang lebih kuat angkat besi daripada laki-laki kebanyakan. Yah pasti jawabannya kembali ke situ lagi.
Orang dulu mungkin lebih lapang dada dan tidak banyak tanya. Pokoknya iya. Apa kata pemuka agama pasti benar. Orang sekarang berbeda. Orang sekarang menyadari penuh kalau manusia bisa terintervensi dan di dalam kesadarannya itu dia dapat meragukan, apakah memang begitu maunya Tuhan? Atau jangan-jangan bisa-bisanya si pemuka agamanya aja nih? Bisa-bisa si penulis kitabnya aja nih? Manusia selalu menimbang-nimbang, memperkirakan kemungkinan, serta meragukan.
Lantas banyak orang lebih memilih tidak mempertanyakan hal-hal seperti diatas. Mencari amannya saja. Tidak mau mengambil resiko karena banyaknya lubang-lubang bahaya yang mungkin dapet menyeret kita kedalam ketidakpercayaan. Namun satu hal yang perlu diingat, pendewasaan religiusitas justru dapat diraih dengan mengambil resiko seperti itu. Walaupun mungkin kita melakukan kesalahan, setidaknya kita melakukan progress, bukannya stuck. Dan saya rasa melakukan kesalahan adalah salah satu langkah menuju pendewasaan, walaupun harus diikuti kesadaran dan perubahan.
Saya secara rutin mengikuti kegiatan keagamaan dan tidak jarang saya jumpai kepongahan pemuka agama yang mati-matian membela kalau isi kitab suci masih relevan dengan jaman sekarang walaupun dibuat berabad-abad lampau. Mungkin iya. Namun dengan penyampaian bahasa seperti itu konsep ke-Tuhanan itu sendiri tidak bisa masuk ke realita manusia modern yang sudah terlanjur banyak tahu tadi. Realitas serta dimensi penulis kitab itu sendiri jelas berbeda dengan manusia modern yang mengetahui ilmu-ilmu semesta, ilmu-ilmu fisika, ataupun ilmu lainnya dengan lebih maju.
Ibaratnya jika seorang tukang masak berbicara dengan tukang bangunan, sang tukang masak jelas kesulitan menerangkan cara mengadon roti, teknik memasak yang baik, ataupun bumbu mana yang baik untuk masakan apa. Karena dua-duanya berada di dalam realitas dan dimensi yang jelas berbeda jauh. Yang dialami si tukang masak maupun si tukang bangunan, baik pengetahuan maupun jalan hidup memang berbeda dan membentuk realita mereka masing-masing. Tidak ada yang lebih tinggi-lebih rendah, salah-benar. Yang ada hanya, beda. Itu saja
Memang susah untuk meng-kini-kan yang dahulu. Namun jika kaum tradisional menang dan menguasai agama, siap-siaplah agama dan tempat ibadah serta konsep Tuhan akan menjadi sejarah. Akan menjadi salah satu sistem kepercayaan yang dianggap anutan jaman dahulu, sama seperti kita menganggap memberi sesajen di jembatan adalah kepercayaan jaman dahulu. Tidak relevan. Tidak bisa hadir di realita sekarang.
<< Home