Thursday, November 11, 2004

Sombong, Pilih-Pilih Teman, Ja-im

Entah kenapa orang-orang melihat saya dengan first impression demikian. Sebenarnya saya tidak tahu apa-apa mengenai ini. Sampai pada suatu saat, saya aktif dalam sebuah kepanitiaan. Banyak orang yang membutuhkan bantuan saya sebenarnya. Tapi rata-rata (kalau semua terlalu ekstrim) tidak ada yang mau meminta langsung. Mereka semua meminta melalui perantara teman saya. Pertama sih saya gak bother sama sekali. Sampai pada suatu titik, teman saya sang perantara ini pun bosan jadi perantara dan menyuruh mereka meminta langsung pada saya. Hasilnya? Tak ada satupun yang mau. Karena jiwa penggosip sudah mendarah daging , kami pun membahas. Kenapa ya? Hasilnya sih alot. Kami sama sekali tal tahu menahu kenapa.

Akhirnya karena jiwa gossip saya sangat besar, saya bercerita kepada teman saya yang lain dan yang lain dan yang lain. Kesimpulannya? Ya judul di atas. Mereka sendiri berpendapat kalo first impression saya memang sombong, pilih-pilih teman dan jaim. Tertawa sekaligus kaget. Ya ampun! Apa kabar yaaaaa? Udah ga tau malu gini dibilang jaim? Hummmmm….
Sebenarnya saya sendiri tidak menyalahkan pendapat orang tentang saya. Itu hak dan urusan masing-masing orang. Saya juga selalu menilai orang pertama kali dari pakainnya. Tidak adil memang, namun entah kenapa firasat-firasat saya tentang sesorang yang saya nilai dari pakaian yang dikenakannya kadang-kadang banyak benarnya.

Yang bother (apa sih bahasa Indonesia nya bother?) saya adalah, usaha. Usaha orang membuktikan judge mereka. Bukannya mau membenarkan diri, saya sendiri jika menilai orang, akan saya buktikan apakah penilaian saya benar apa tidak. Pernah suatu kali saya bertemu dengan three of my hangout fellows, di tempat kesukaan kami. Biasanya sih kami hanya bertiga, namun waktu saya datang ada dua orang tambahan. Pria dan wanita. Si pria sih saya ga bisa bilang apa-apa. Judge pertama saya adalah, orang ini pendiam. Ga ngomong kalo ga perlu. Dan memang begitu keadaannya. Si wanita? Hummmmm kenapa ya? Dari cara berpakaiannya menyiratkan sepertinya ini orang ga penting deh. Well, apa salahnya dicoba. Saya ajak ngomong, saya usaha to make a conversation. Tiba-tiba entah apa alasannya dia meng-cut pembicaraan saya dengan kalimat “Emang ada yang nanya ya?”

JUEDHHHHHEEEERRRRR! Speechless seketika! Ini orang! Apa-apaan! Toleransi saya sangat besar terhadap joke. Tapi menurut saya ini benar-benar kelewatan! Yah seperti yang dia minta, saya tidak berbicara sepatah pun kepada dia kecuali ditanya. Dan kalaupun dia ngajak saya ngobrol, saya menjawab dengan diawali “ oooo…kalo yang itu mau tau?”
Anda bisa berpendapat saya tidak mampu bersosialisasi atau apapun yang anda mau. Namun saya berfikir. Saya sudah effort membangun percakapan dan tanggapan dia seperti itu. Bukannya dia tidak menikmati percakapan kami. Dia terlihat senang kok waktu kita berdua ngobrol. Apa karena saya terlalu cerewet sampai dia harus berkata demikian? Wah saya tidak tahu. Menurut saya sih nggak. Kami hanya berbicara hal-hal ringan (waktu itu kami membicarakan perawatan rambut). Dan justru menurut saya dia lebih banyak ngomong. Atau ini caranya bercanda? Wah saya tidak bisa mentolerir jika seseorang membuat effort saya menjadi bahan candaan.

Entah sadar entah tidak kalau saya udah sebel ngeliat dia, dia tetap mengajak saya ngobrol dengan obrolan yang rata-rata membuat saya tambah kesel. Hal-hal gak penting seperti warna rambut saya. Tapi pertanyaannya menghina. Apa maunya sih ini anak?
Saya selalu berpendapat betapa berharganya perasaan orang lain sampai saya selalu berhati-hati berbicara dengan orang.

Lantas mereka berdua pulang dan tinggal lah grup utama. Saya dan dua orang teman. Dan ternyata mereka juga merasa demikian. Malahan seorang teman saya menasehati, kalau kita harus bisa menurunkan level pembicaraan kita kalau berbicara dengan orang yang memang level nya lebih rendah. Karena jangan diharap mereka menaikkan level, mustahil! Begitu kata teman saya. Jahat? Pasti! Benar? Mungkin. Saya tidak pernah nge-judge orang menurut level pembicaraannya. Namun apa mau dikata ketika seorang berbicara yang ingin anda lakukan hanya menggaruk aspal sangking….apa ya? Saya juga tidak menemukan kata-kata yang tepat.
Memang sih kita tidak bisa lepas dari to judge and to be judged. Saya juga demikian. Tapi usaha dong. Pengadilan negri saja sebelum memutuskan hukuman memerlukan serangkaian sidang yang panjang dulu. Karena itu mungkin kita butuh usaha setelah nge-judge orang. Usaha pembuktian. Benarkah orang itu demikian apa tidak. Kalau kita menghindari pembuktian itu, hanya akan memperkuat kesan kalau kita adalah orang-orang yang tertutup terhadap kemungkinan dan perubahan.

Yah tapi jika kita orang yang memang tertutup seperti itu, apa boleh buat? Saya tak mampu merubah keadaan sedangkan dia sendiri tidak mau.

Sebenarnya artikel ini kesimpulannya apa sih? Anda mungkin bertanya. Lalu saya menjawab, memang gak ada……
;p

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com