Friday, November 12, 2004

Overexpecting

Suatu siang setelah pagi yang melelahkan (termasuk naik angkot berkali-kali, mengambil mobil lantas menabrakkannya ke gerbang rumah) saya merasa diri saya patut mendapat reward segelas sirup markisa (yang entah kenapa tidak habis-habis di rumah) dan beberapa menit internet session.

Buka friendster. Hummmm ga ada yang menarik. Message seperti biasa dari pria-pria gatal *wuaks*.

Masuk Yahoo messenger. Wah lumayan rame! Banyak temen yang udah online (biasanya sih memanfaatkan fasilitas kantor ;p). Ngobrol sana sini. Akirnya seorang teman berkata, “Relationship sucks”.

Ckckck. Saya heran. Kenapa ya? Trauma masa lalu? Hummmm….

Terlepas dari situ saya berpikir. Mungkin sih relationship itu sucks. Tapi kenapa ya? Melalui pemikiran serta pertapaan panjang, saya mendapatkan jawabanya. Eureka! Hehehe…menurut saya (ini menurut saya lho) mungkin relationship itu menjadi akhirnya sucks karena kita sejak awalnya udah overexpecting. Kepada siapa? Kepada apa? Saya tidak bisa menentukan pasti. Kepada pasangan? Kepada keadaan? Banyak hal yang bisa dipikirkan.

Calvin pernah bilang kepada temannya Sussie (komik Calvin and Hobbes boooo…) satu kalimat, “I Find my life is a lot easier the lower I keep everyone’s expectations.”. Hummm… Patut dipertimbangkan. Mungkin karena jiwa phlegmatic saya, kok lebih enak kedengarannya kalo “I find my life is a lot easier the lower I keep MY expectations.”. Haha! Dua dua nya sih patut dipertimbangkan menurut saya. Bahkan mungkin orang bisa pilih sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Atau digabungkan mungkin? The lower I keep everyone’s (including mine) expectations?

Lantas saya beritahukan kepadanya kutipan tadi. Lalu dia menjawab “Wah kalo gitu ngapain punya relationship?”. Saya pun mengalihkan pembicaraan. Saya tidak mau di debat. Sebab dia pintar sekali.

Coba pikir deh. Overexpecting terhadap sesuatu justru lebih memungkinkan membuat kita kecewa pada akhirnya. Saya sendiri punya contoh. Ada seorang mendekati saya yang sudah overexpecting sejak dari awal. Dia mengharap saya juga suka padanya. Dia mengharap saya tidak berhubungan dengan siapapun kecuali dia. Dia mengharap saya pada akhirnya mau jadi pasangannya. Dia mengharap saya tidak selingkuh. Dia mengharap untuk bisa memiliki saya (memiliki, saya artikan mengatur). Saya? Sama sekali tidak mengharap apa-apa. Yang dia dapat? Kecewa. Gue gitu loooohhh! Disuruh tak berhubungan dengan siapapun? Tidak selingkuh? You must be kidding me…..Di miliki oleh dia? What? Aku adalah milikku sendiri. Tak kubagi pada siapapun juga.

Saya dapat apa? Yah banyak. Perhatian (siapa sih yang ga seneng diperhatiin?), kasih sayang (huex), dicemburuin, dibayarin kemana-mana, ah banyaklah! Tapi yang pasti tidak saya dapat adalah rasa kecewa.

Anda mungkin berpendapat saya bodoh, bego, gat au apa apa, apapun lah! Saya tidak peduli. Tapi saya punya teori. Apapun yang dilakukan pasangan kita, itu adalah urusan dia. Karena dia yang melakukan. Dan begitu juga sebaliknya. Apapun yang kita lakukan adalah urusan kita sendiri.

Mungkin anda bertanya (sama seperti teman saya tadi), lantas apa gunanya relationship? Ini jawaban saya. Relationship itu sendiri hanya berpegang pada satu-satunya hal, feeling. Itu saja. Untuk membela teori ini saya mengajukan satu kasus. Apa sih sebenernya yang bisa dilakukan di dalam relationship tapi gak bisa dilakukan di friendship? Mungkin anda akan berakhir pada kesimpulan yang sama seperti kesimpulan saya. Tidak ada! Nonton bareng? Curhat? Pelukan? Ciuman? Nikah? Sex? Apa yang ngga bisa? Name it! Cuma bedanya dengan sang relationship itu tadi ya itu. Feeling tadi. Feeling-nya pasti berbeda curhat dengan sahabat disbanding sama pasangan. Sex-nya juga pasti beda antara teman dan pasangan.

Namun dengan adanya overexpecting itu tadi, jadinya inti utama (feeling, red) relationship tadi jadinya kabur. Harapan kita tak terpenuhi. Lantas kita jadi membuat defense kalau dia memang tidak cocok dengan kita. Defense kalau dia tak menghargai kita. Dan defense-defense lainnya. Lalu kita cenderung membuat diri kita merasa ilfil (bahasa gaulnya hilang feeling). Padahal orang yang cocok dengan kita belum tentu feeling nya lebih kuat daripada orang yang tidak cocok.

Wah kok kita seperti binatang ya? Hehehe… Memang kok. Tapi bedanya kita sadar kalau kita sadar. Kalo binatang nggak ;p

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com