Thursday, November 03, 2005

Tongkat Estafet

Saya baru saja membaca ulang cerpen bikinan sahabat saya. Untaian kata-katanya begitu indah. Saya tak habis kagum sama dia, emang jagonya kalo merangkai kata-kata. Tidak seperti saya, yang hanya bisa menuliskan kata-kata lugas, langsung dan sama sekali tidak terdengar indah. Anyway, dia mengatakan bahwa realitas adalah segala sesuatu yang ada atas kesepakatan bersama.

Saya mengamini defenisi ini. Realitas kita adalah hal-hal yang kita sepakati ada dan eksis, kita sepakati benar salah nya, kita sepakati nilainya, dan diterima oleh orang-orang di sekitar kita. Lalu orang-orang yang bersepakat dengan nilai-nilai ini akan mati-matian mempertahankan realitas yang sudah disepakati tersebut, baik buruk dan benar salah yang sudah tertanam itu untuk mencapai harmoni. Terdengar seperti pelajaran sosiologi ketika saya SMU. But, it has a point. Saya seringkali mendengar inner circle saya mengucapkan “it’s not real… nothing in the world like that” karena mendengar hal-hal yang tidak sesuai realitas kami, atau tidak sesuai nilai yang telah disepakati bersama.

Beberapa menit yang lalu saya berseteru dengan ibu saya (oh… this kind of fight will haunt me forever). Dia menyuruh saya melamar pegawai negeri atau segera menikah karena ayah saya akan pensiun tahun depan. Saya merasa pertikaian ini karena masalah realitas. Realitas keluarga kami (yang secara ‘kebetulan’ adalah keluarga batak, totok, yang hidup di tengah komunitas batak pula) adalah hidup secara linear. Terstruktur, teratur dan terencana. Habis kuliah, bekerja yang aman bergaji tiap bulan - pilih pekerjaan yang berstatus, dan (atau langsung) menikah (saja) (dengan orang batak lagi – untuk menjaga kemurnian ras J), punya anak yang banyak dan harus punya anak laki-laki untuk meneruskan marga.
Kenyataan bahwa orang tua saya cukup sukses dalam karirnya tidak membuat keadaan menjadi berubah. Nilai-nilai yang tertanam itu semakin tertanam kuat karena orang tua kami malah dianggap berhasil dan jadi panutan dalam komunitas batak. Semakin menjadilah mereka menegakkan nilai-nilai itu dengan alasan “apa nanti kata orang..?”

Sialnya (menurut saya malah untungnya) realitas itu tidak lagi menjadi realitas saya. Nilai-nilai yang tadinya saya sepakati, berangsur-angsur saya pertanyakan dan akhirnya tidak saya setujui. Posisi sebagai anak perempuan membuat saya semakin susah saja mengingat ibu saya pernah bilang “perempuan harus tetap berada dalam tanggung jawab orang tuanya sebelum nanti suaminya yang bertanggung jawab atas hidupnya”. Sial betul saya! Hidup saya sudah diatur seperti tongkat estafet. Dioper dari satu pihak ke pihak lain. Dari keluarga saya dan berujung di pihak keluarga suami saya nanti.. oh tuhan...

Semakin saya dewasa saya merasakan perbedaan pandangan dan perbedaan nilai yang makin lama makin tajam antara saya dan orang tua saya. Realitas kami berbeda. Seringkali saya mencoba mendamaikan diri dengan excuse seperti, mereka berasal dari generasi yang berbeda dengan kita, jadi kita sebagai orang muda yang lebih pintar (excuse lagi) harus bisa memaklumi mereka. Tapi ide itupun sudah usang lagi di mata saya. Tidak lagi bisa mendamaikan saya, tidak lagi bisa menenangkan saya, tidak lagi bisa membuat saya diam dan menerima, bahkan saya tidak lagi bisa diam dan menerima.
Hal ini mengendap dan mengkristal di benak saya, hingga saya mulai membenci lembaga yang namanya keluarga. Gawat sekali…

Terus apa realitas saya sekarang? Nilai-nilai apa yang saya yakini kini yang berbeda dengan yang dulu pernah saya yakini? Jawabannya jelas, mengingat pertikaian saya dengan ibu saya tadi dimana saya menolak melamar pegawai negeri dan menolak menikah (sekarang..mungkin.. atau tidak sama sekali?). Saya tidak setuju lagi dengan hidup linear seperti itu. Saya tidak setuju lagi ide tongkat estafet. Saya sudah punya nilai sendiri. Ketimbang linear saya lebih menyukai ambiguity dimana saya bahkan tidak tahu apa yang saya tidak ketahui. Lebih sesuai dengan kepribadian saya yang memang senang dengan ketidak pastian. Ketidakpastian membuat saya berpikir dan ter encourage untuk lebih kreatif. Mendorong saya untuk bertanya-tanya dan menemukan jawabannya, dan kemudian bertanya-tanya lagi dan terus bertanya dan berproses. Membuat saya hidup.

Jadi nilai-nilai yang saya sepakati adalah ambiguity.
Artinya realitas saya ambigu…hehehee…
Terus apa yang salah dengan itu? (NCM)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com