Tuesday, March 07, 2006

Gambar Pemandangan

Season baru American Idol sudah dimulai. Saya senangnya bukan main melihat proses audisinya. Pokoknya mulai dari melihat si mulut cengek (cabe-rawit) Simon sampai si sweet-heart-Paula. Tapi most of all, saya paling terkesan dengan antusiasme pesertanya.

Bukan Cuma di Amerika, ternyata di Indonesia juga. Bahkan salah seorang sahabat saya ada yang ikutan audisi sampai dua kali walaupun hasilnya nihil. Teman saya yang lebih gila memutuskan ikut audisi dengan gaya sekampungan mungkin, suara sejelek mungkin dan lagu separah mungkin. Semua hanya dilakukannya hanya karena dia ingin masuk coba lagi award. Ini antusiasme apa pengen tampil doang yah?

Pernah saya menonton konser di kota asal saya. Waktu itu Kla Project yang konser. Dan masih lengkap dengan Lilo. Antusiasmenya mengecewakan. Yang nonton sih banyak, tapi di dalam hanya duduk manis dan diam. Sementara saya dan beberapa teman saya sudah jejingkrakan.

Antusiasme juga sering saya alami ketika mengomentari orang. Berhubung saya dan teman-teman saya memang terlahir menjadi dewan juri (baca: tukang menghina), tak ada satu orangpun yang lolos dari penilaian kami. Ada yang suka kegatelan liat cowok, ada yang pakaiannya norak kayak eneng-eneng fame, ada yang kepedean, pokoknya semua kena komentar. Judging is our hobby. If people do craft and art, we judge. Huehehhehe.

Baru-baru ini teman saya bercerita tentang video yang diputar oleh dosennya diruang kelas. Video ini diambil di taman kanak-kanak. Mereka lucu-lucu katanya. Sangat antusias. Kalau ditanya oleh gurunya mereka semua mengangkat tangan. Jawabannya benar apa salah? Itu urusan belakangan. Pokoknya ngacung. Kalau salah yah diberitahu yang benar. Kalau benar, terimakasih sudah membagi informasi sama teman-teman lain. Begitu juga ketika mereka bermain lompat tali. Walaupun talinya sudah tinggi sekali mereka tetap antusias mencoba. Berhasil apa tidak? Urusan belakangan. Pokoknya nyoba. Kalau berhasil, teman-teman lain akan melihat caranya dan mencoba lagi. Kalau tidak, yah diajarin sampai bisa.

Pembicaraan kami berlanjut. Kalau anak-anak seperti itu, kenapa kita justru yang sudah mahasiswa malahan tidak pernah antusias merespon dosen? Apalagi di jurusan saya. Kuliah hanya berupa komunikasi satu arah. Bayangkan betapa membosankannya keadaan kelas. Tidak ada yang lebih membosankan daripada tanpa melakukan apa-apa selama dua jam dengan pikiran kosong melompong. Kalau dosen bertanya “Ada yang mau bertanya?” maka semua akan menggeleng-geleng kecil atau diam saja tak bergeming. Saya biasanya sudah tidak mendengarkan lagi karena pikiran saya sudah kemana-mana atau ipod sudah menyanyi di telinga saya dari menit pertama dosen berbicara.

Kami dengan antusias memberi teori mengapa hal itu bisa terjadi. Saya dengan cepat menyalahkan sistem sekolah yang menghukum anak-anak yang berbuat kesalahan. Jadinya anak-anak tersebut jera mengekspresikan pemikirannya. Toh bakal dihukum ngapain repot? Sementara teman saya lebih romantik dan menyalahkan kejadian di masa kecilnya. Katanya dia dimarahi karena menggambar sungai berwarna hitam dan daun berwarna kuning. Gurunya berkata sungai dimana-mana berwarna biru dan daun berwarna hijau. Sementara sahabat saya belum pernah melihat sungai berwarna biru karena semua sungai yang dilihatnya sudah kena polusi. Dan daun yang kuning dilihatnya di halaman sekolah karena daunnya memang sudah busuk.

Apapun penyebabnya, saya hanya bisa mengambil kesimpulan. Pemasungan tarhadap antusiasme adalah pemasungan terhadap kreatifitas dan pengekspresiannya.

Apa akibatnya? Maka akan tercipta orang-orang yang malas berpikir.

Lalu karena malas berpikir, maka tidak akan terjadi inovasi. Inovasi hasil dari pemikiran, kan?

Tanpa inovasi, maka akan lahir masyarakat yang disebut Seno Gumira sebagai masyrakat bebek. Ikut sajalah pokoknya.

Apa yang terjadi setelahnya? Krisis identitas. Pembunuhan terhadap jati diri dan keunikan diri sendiri.

Lalu semua akan menjadi seragam dan membosankan. Sehingga ketika pengajar sekolah berkata, “Mari menggambar pemandangan!”. Maka semua anak di Indonesia akan menggambar dua gunung, matahari menyembul ditengah, ada jalan meliuk-liuk, lalu ada danau, sawah dan rumah. Dan mereka semua akan serentak seperti koor menyebut itu gambar pemandangan.

posted only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com