Wednesday, January 25, 2006

Highlight: Sekolah sampai Rhoma Irama

Hari ini saya kebetulan nge-cek perwalian studi yang baru saya lakukan seminggu lalu. Karena tak ingin ketinggalan zaman, kampus saya sudah menggunakan sistem online untuk melakukan perwalian. Bukannya mempermudah, malah bikin mumet. Saya ingat semester lalu semua orang tak terkecuali dari jurusan saya gagal perwalian. Alasannya sistemnya masih labil, masih baru, masih dalam tahap percobaan dan lain sebagainya.

Sambil harap-harap cemas saya menge-cek hasil perewalian saya. Dan sudah bisa ditebak hasilnya mengecewakan. Dari 18 sks yang saya apply, hanya di approve 5 sks. Damn! Mau lulus kapan?

Ditengah rasa emosi yang menggebu-gebu, saya punya ide gila. Saya ingin merusak sistem informasi kampus saya! Hueueuehe… namanya juga gila. Tentu saja saya tidak punya kapabilitas untuk itu. Namun tidak ada salahnya hanya untuk sekedar tahu. Lalu saya melakukan research kecil-kecilan di dunia maya. Bagaimana sih sebenarnya cara hacking, cracking…apapun itu namanya. Cukup menyenangkan.

Saya terkesima. Karena walaupun (menurut saya) sangat rumit, hal tersebut bukannya tak mungkin saya pelajari maupun saya lakukan. Ckckck…

Masalahnya adalah, keadaan tersebut malah membuat saya makin membenci sekolah. Karena sebuah fakta terhidang di hadapan saya. Belajar diluar sekolah bukannya tak mungkin dilakukan. Justru bisa lebih menyenangkan! Saya sudah membenci sekolah sejak pertama kali saya masuk TK. Simple saja. Sekolah itu membosankan.

Namun karena saya termasuk orang yang insecure, saya butuh fakta-fakta pendukung (yang saya buat sendiri) untuk mendukung hipotesa saya.

Okelah sekolah tidak menyenangkan. Kenapa? Pertama, menurut saya karena sekolah adalah rutinitas. Adakah yang lebih membosankan daripada sesuatu yang kita lakukan setiap hari? 5 hours a day (gosh! I can’t believe I already passed my high school!).

Kedua, sekolah membuat saya tidak kreatif. Apapun yang diajarkan adalah saklek dan tidak terbantahkan. Saya sama sekali tak mengerti aplikasi dari menghitung volume dari benda putar. Saya tidak habis pikir apa yang akan saya lakukan dengan teori medan magnet. Dan yang paling mengerikan, saya sama sekali tidak megerti mengapa saya mempelajari sesuatu yang sangat SANGAT tidak menarik minat saya.

Saya sering menanyakan hal itu semua. Namun jawaban yang saya terima kurang lebih “Belajar aja yang bener, dapet nilai tinggi, cepet lulus, cepat kerja”. Namun ada satu jawaban yang cukup masuk akal (walaupun tidak memuaskan saya). Salah seorang guru saya mengatakan, dengan mempelajari hal-hal tersebut, maka siswa terlatih untuk menyelesaikan konflik, menyelesaikan masalah secara terstruktur, sehingga sewaktu bekerja nanti kita tahu apa yang kita lakukan untuk menyelesaikan masalah.

Hummm….abstrak. Dari pernyataan itu saya dapat mengambil kesimpulan. Pasti dunia kerja sama membosankannya dengan dunia sekolah ;p

Ketiga, saya berpendapat sistem sekolah justru membunuh keunikan pribadi saya. Tidak ada satupun orang yang bisa ahli dalam fisika , sastra, seni, kimia, dan olahraga sekaligus. Sungguh menyedihkan melihat berjuta-juta orang dicekoki hal-hal yang sama sekali tidak merangsang minat alamiahnya.

Keempat, sekolah sama sekali tidak mengajarkan saya kesetaraan. Pengajar (saya kurang suka menggunakan istilah ‘guru’ jika membicarakan sekolah) pasti pintar dan murid itu bodoh. Jadi murid yang notabene bodoh tidak berhak membantah pengajar yang dicap pintar. Mempertanyakan akan dianggap sikap melawan. Dan sikap melawan hanya diselesaikan dengan hukuman. Siapa yang menghukum? Tentu saja pengajar yang menganggap diri pintar. Karena sang pengajar beranggapan dia lebih berkuasa daripada murid-muridnya. Saya sangat benci terhadap orang yang merasa lebih superior dibandingkan orang lain. Karena itu saya membenci semua pengajar saya dari SD sampai sekarang.

Dan keadaan ini diperparah dengan sistem ranking. Semua anak dirata-ratakan kemampuannya dalam semua hal, dan nilai tertinggi diberi predikat paling pintar. Lantas yang paling rendah jadi yang paling bodoh dan yang paling tidak berhasil. Siapakah yang paling pintar? Itu adalah orang yang menguasai semua bidang dengan baik, walaupun belum tentu dia menyukai bidang tersebut. Saya rasa semua orang dengan rangking terbaik pasti sadomasokis ;p

Menurut pemikiran saya yang paling ekstrim, kebanyakan orang-orang seperti ini justru tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka tahu itu buruk, karena mereka diberitahu itu buruk. Bukan berdasarkan pengalaman sendiri. Mereka telah terbius dengan sistem terima-saja-jangan-banyak-tanya; terima-saja-ini-baik-untukmu. Mereka sudah terbiasa dicekoki tanpa bertanya.

Dan tentu saja hal ini membuka pintu lebar-lebar pada pembodohan dan manipulasi. Orang-orang yang merasa berkuasa bisa saja mendikte apa yang buruk dan apa yang baik. Padahal belum tentu hal itu seburuk yang mereka katakana.

Lalu orang-orang yang selama bertahun-tahun berjalan dengan sistem ini hanya manggut-manggut menuruti orang berkuasa tersebut. Tanpa penasaran mengapa hal itu dianggap buruk. Tanpa tahu kenapa hal itu buruk. Pokoknya itu buruk. Titik.

Rhoma Irama dan antek-anteknya baru-baru ini melakukan hal yang sama. RUU pornografi/pornoaksi adalah bentuk nyata dari apa yang saya sampaikan. Mereka merasa berhak untuk mendikte apa yang seharusnya tidak kita nikmati. Mereka mendikte apa yang seharusnya tidak kita perbuat. Mereka merasa berhak membatasi kreatifitas orang lain dengan mengatasnamakan moral.

Lalu kapankah masyarakat bisa dewasa? Oke. Pembahasan sudah terlalu panjang dan saya mulai mengantuk. Kalau anda beruntung mungkin anda bisa membacanya dalam tulisan saya yang lain.

posted only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com