Sunday, March 19, 2006

Ritual Flirting

Hari ini hari bermalas-malasan buat saya. Saya memutuskan tidak bekerja, meliburkan diri karena merasa tak ada yang cukup penting untuk dikerjakan di kantor.

Saya menonton ulang salah satu film favorit saya, Under The Tuscany Sun. Good movie, yang membuat saya membayangkan pedesaan kecil di Tuscan, Cortona nama desa itu. Kapan ya bisa ke sana…

Salah satu karakter yang saya kagumi di film itu adalah Katherine. Seorang wanita Italy, seorang actrees kalau saya tak salah tebak. Yang menarik dari wanita ini, ia sangat ekspresif, sangat mencintai hidup, can get along with anybody. Satu ketika dia sedang menikmati market day di Cortona, memegang anak burung dan mengeluskan bulunya ke pipinya dengan sayang. Satu ketika dia sedang dilukis telanjang oleh seorang young artist (bernama Zeus, dan berfisik Narcissus), yang melukisnya juga tanpa busana. Satu ketika lagi ia tampak duduk minum teh sambil berbincang-bincang dengan 5 orang biarawati. Caranya menyikapi hidup dan prinsipnya, “No matter what happened, just remember to keep your childish innocent”.
Belum lagi caranya berpakaian yang menurut saya sangat mengagumkan. Sangat perempuan.

Di satu scene, Katherine berkata pada Francess si pemeran utama, “Flirting is a ritual in Italy, don’t be ashamed.”

Kalimat ini mengingatkan saya pada pengalaman saya dengan seorang pria Italy.

Waktu itu saya sedang menangani project dengan sebuah orchestra yang mengadakan Opera Italy di GKJ. Saya memutuskan untuk mengundang Atase Kebudayaan Italy untuk datang dan dia menerima undangan saya.

After the performance, saya menemuinya di lobby, tempat semua orang berkumpul to socializing. I said hi and thanked him for coming. Saya bertanya bagaimana penampilan kami. Dia mengatakan bahwa penampilan ini adalah usaha yang sangat bagus.

“Because this play is very famous in Italy. It is a masterpiece, just like Siti Nurbaya here in Indonesia. But you see, I don’t think any Italian could understand what your performers been saying. And the expression, you need to understand Italian. We’re Italian are very expressive, and I see you don’t quiet put attention on how to express anger, love, dissapointment, sadness and happiness.”

Dia mengatakannya with the most polite way an Italian man can do. Dengan body language nya, ekspresinya, caranya berbicara seolah-olah mencoba menenangkan saya dengan antusiasmenya yang cukup berhati-hati.

Saya sampai agak menyesal mengundang dia. Tetapi saya berpikir lagi, this is the best way. If Indonesian art society wants to improve their ability, they need to hear the truth, although it hurts. Saya membayangkan sebuah analogi di kepala saya bahwa kami mengundang seorang Chef Italy terbaik yang bertugas di Indonesia ke acara Italian Food Tasting, di sebuah restaurant Italy terbaik di Indonesia dan dengan bangga menghidangkan spaghetti rasa rendang padanya.
My goodness….

Setelah berbincang cukup lama soal karakter dan latar belakang opera itu sendiri, yang tentu saja lumayan saya kuasai sebab saya telah melakukan riset 2 bulan untuk itu, akhirnya dia berkata pada saya, “These are my name cards. One for your music director. I would love to talk to him and discuss about this. I can see he is very busy right now. And one for you. We can talk about this anytime, you just call me.”

“Oh thank you Profesor. I certainly will inform our music director and hand this card my self to him. Again, thank you so much for coming, thank you for your advices. It is an honor for us to have you as our audience tonight. I hope we can improve our perception and ability upon Italian Art and Culture, surely with your consideration for helping us to do so”, kata saya kepadanya.

“No problem Nancy, it would be lovely. Just call me anytime, I have a friend, he is a conductor of an orchestra in Italy, you can have consultation with him. Just tell your director to call me anytime. I would be very happy to help.”

Lalu dia paused beberapa saat dan menatap mata saya lalu dengan cepat berpindah ke bibir saya dan tertahan agak lama di payudara saya yang setengah terekspos gaun yang saya kenakan malam itu.

“Or we can talk it over dinner”, katanya di dekat telinga saya.

Saya mencari cara paling sopan untuk menyudahi pembicaraan ini. Untunglah salah satu wartawan mendekati kami dan berniat mewawancarainya.

“Thank you so much Professor”, kata saya lagi. “Don’t call me Professor, just call me Ostelio”, katanya. Saya membalas perkataannya dengan senyum termanis yang bisa saya berikan malam itu.

Finally he said goodbye, after.. kissed me on both cheeks.

Saya mengingat saya tertawa sampai perut saya kaku dan air mata saya meleleh setelah berlalu dari dia.

Menonton film tadi saya berpikir, flirting mungkin memang ritual di Italy. Mungkin seperti budaya. Kalau begitu, facing the master of Italian culture here in Indonesia, saya benar-benar dihadapkan pada budaya asli Italy malam itu.

I can help but wonder, is it the Italian culture or my lips, or my breast that created the situation? Maybe it is casual for him to flirt, but for me I started to think, am I blessed or cursed for having such breasts… Or maybe I should consider to take some benefit from it.

That night I remember to be the most Italian night ever.

Posted by NCM only.

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com