Saturday, May 13, 2006

Kekalahan dan Pemberontakan

Saya sedang KESAL! Kenapa? Karena salah satu sahabat saya menerima kekalahan. Kenapa saya kesal mengenai hal tersebut? Karena saya adalah salah satu orang yang meng-encourage dia untuk tetap pada pendiriannya, tetap tegak dibawah tekanan, dan tetap punya fighting spirit. Saya kesal karena saya merasa apa yang saya lakukan terhadapnya sia-sia. Saya kesal karena dia akhirnya menerima kekalahan dan memutuskan untuk mengikuti arus. Mainstream!

Ah sudahlah…

Tapi pemikiran terhadap kekalahan ini tetap mengganggu saya. Bagaimanakah sesungguhnya “menerima kekalahan” itu dapat dijabarkan? Apakah itu disaat kita menyerah pada tekanan mainstream dan mengorbankan idealisme kita sendiri? Atau mungkin lebih romantis. Banyak orang mengatakan menerima kekalahan itu baik, karena dengan menerimanya dengan lapang dada maka kita berkesempatan melakukannya dengan lebih baik di kesempatan yang akan datang.

Of course! Saya setuju. Tapi kadangkala kesempatan kedua itu privilege yang sangat mahal harganya. Privilege itu tidak dimiliki semua orang. Sama seperti orang memenangkan lotere.

Saya teringat pemikiran dari seorang pemikir besar yang saya benar-banar lupa namanya. Katanya, saat seseorang mengetahui batas sesuatu, sesungguhnya dia sudah melewati batasan tersebut. Saya setuju. Tidak tahu dengan anda.

Mari kita ibaratkan kekalahan menjadi batasan, maka kemungkinan besar pernyataan itu menjadi, saat seseorang menerima kekalahan maka dia benar-benar kalah. Saya setuju. Tidak tahu dengan anda.

Kekalahan dan kesempatan kedua menjadi sangat utopis. Saat anda menerima kekalahan, dan mengharapkan kesempatan kedua, bisa jadi yang anda dapatkan hanya penyesalan luar biasa. Karena kesempatan itu mungkin tidak pernah datang. Dan dengan kondisi kekalahan itu anda terpaksa mengikuti kemana arus membawa anda. Terbawa arus kekuasaan yang lebih kuat (yang belum tentu sejalan dengan ideologi anda). Mainstream!

Lalu apa yang harus kita lakukan? Saya tidak berani menyarankan apa-apa. Kekalahan mungkin memang cocok bagi beberapa orang. Tapi tidak buat saya.

Saya lebih memilih berdiri menantang arus. Kenapa? Because it makes my life more lively. Because it doesn’t make me live in death. Like a zombie.

Apa? Saya egois? Have we met before?

Sudah menjadi rahasia umum kalau saya sudah dinobatkan menjadi salah satu public enemy. Seorang sahabat saya pernah berkata, itu mungkin disebabkan karena saya terlalu rebel. Terlalu memberontak. Saya tertawa. Bagaimana seseorang dengan intregritas seperti saya (mati dah….) bisa menebar kebencian dimana-mana?

Kembali lagi. Saya egois. Maka saya cenderung menyalahkan orang lain. Tentu saja menurut saya yang salah adalah mereka. Kenapa? Karena alasan mereka membenci saya hanya karena idealisme saya yang tidak pernah sejalan dengan mereka (padahal belum tentu idealisme saya buruk. Mungkin hanya terlalu ekstrim ;p). Karena saya hampir tidak pernah setuju dengan apa yang mereka katakan. Well, ujung-ujungnya saya hanya berlapang diri dengan berkata, “Well, its their loose, not mine.” Hehehhhe….

Saya berada dalam intersection.

Apakah saya menyerah dan menerima kekalahan? Mengorbankan idealisme yang sudah saya pikirkan matang-matang? Hanya demi acceptance dari orang lain?

Atau haruskah saya tetap pada idealisme saya? Tetap menantang mainstream? Terus berusaha karena kemungkinan besar kesempatan kedua itu tidak pernah datang? Dan atas nama egoisme, hanya semata-mata demi membuat hidup saya tidak seperti zombie? Dengan resiko menjadi public enemy nomer satu sekalipun?

Seorang egois seperti saya dengan pasti akan memilih pilihan yang kedua. Bahkan public enemy seperti saya sekalipun pasti punya sahabat yang sangat tahan banting, yang bisa menghormati idealisme saya, yang bisa secara sinergis membangun hubungan dengan saya. Walaupun mungkin jumlahnya tidak banyak.

Tapi saya lebih memilih sedikit sahabat yang dapat menghargai saya, daripada banyak teman namun membuat saya makan ati.

Yup, I’m an egoist


wrriten only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com