Thursday, March 31, 2005

Stuck

Ghee! im stuck....

|

Tuesday, March 22, 2005

God Talk

Saya bingung. Orang-orang sering sekali mencecar saya tentang tuhan. Kenapa ya? Apa saya dianggap belum mengenal tuhan? Atau menurut mereka konsep saya salah? (the hell with right and wrong)

Baru-baru ini seorang teman baik saya mengulik topik tuhan. Saya sih tidak keberatan. Walau biasanya di dalam perbincangan seperti ini selalu ada sifat saya-benar-kamu-salah, namun saya ladenin juga. Ada beberapa hal yang masih membekas dalam pikiran saya sampai sekarang ini.

Pertama. Dia bertanya. Kenapa Tuhan menciptakan Adam? Wah jujur saja saya tidak tahu.

Lalu saya bilang kepadanya.

Mungkin iseng?

Lalu dia menyalahkan pendapat saya dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang saya sangat bingung tujuannya apa. Namun ternyata jawaban-jawaban saya disimpulkan olehnya bahwa Tuhan menciptakan Adam karena butuh relationship. Terus terang saya bingung. Kenapa Tuhan mau berbuat begitu? Bukankah dia maha segalanya? Kalau dia ingin butuh relationship, maka disebabkan oleh apa? Bosan? Kesepian? Tuhan dengan sangat mudah menciptakan benda lain untuk menemaninya.

Terus terang saya bingungnya bukan main. Saya mengaku tidak tahu kenapa Tuhan menciptakan Adam. Kenapa? Karena ini akan berujung pada satu pertanyaan. Apa tujuan hidup kita. Dan saya yakin seratus persen tidak ada yang tahu (ini saya contek dari artikel teman saya. Rindunya saya akan percakapan-percakapan bodoh itu!). Karena semua pendapat orang tentang tujuan hidup menurut saya bersifat spekualtif dan tidak bisa dibuktikan. Sayangnya tidak ada orang mati yang kembali ke dunia untuk memberitahu kalau surga dan neraka itu ada. Bukannya saya tidak percaya akan keberdaannya, namun kepercayaan saya itulah yang disebut keyakinan. Sebab yang saya percaya tidak dapat dibuktikan secara nyata dan logis. Semua pendapat orang tentang tujuan hidup itu berbeda. Manusia sendiri tidak bisa bermufakat akan apa tujuan hidupnya.

Kedua. Dia bertanya menurut saya Kristen itu apa. Saya menjawab seperti agama lainnya, Kristen itu suatu lembaga yang diciptakan manusia. Saya bisa merasakan kalau dia kebakaran jembut ;p

Ini lagi yang saya bingung. Kenapa faith selalu dikaitkan(disamakan?) dengan religion? Tuhan dikaitkan (disamakan?) dengan agama? Memang benar agama adalah cara menuju tuhan atau merupakan bentuk pencarian spiritualitas. Tapi bukan satu-satunya. Kalau orang bisa menemukannya dengan cara lain selain agama, bagaimana? Karena menurut saya agama belum tentu bisa bekerja dengan hasil yang sama pada orang yang berbeda.

Ketiga. Kami membahas soal alkitab. Saya katakan bagaimana bisa dijadikan pegangan jika alkitab sendiri terlalu banyak ditambahi, dikurangi dan direvisi? Dia mengatakan, lebih baik begitu. Karena sudah sedikitpun, manusia sulit untuk menjalankannya. Lagipula (tambahnya) tuhan lebih memperhatikan pelaku firmannya.

Hummm saya sedikit keberatan. Bagaimana itu menjadi patokan sehari-hari jika isinya pun terlalu banyak revisi (kami sudah setuju kalau alkitab itu direvisi). Saya ajukan suatu contoh. Misalnya ada peraturan makan. Sebelum makan, kamu cuci tangan dulu, dilanjutkan dengan minum (agar tenggorokan lancar), lalu mulai makan. Jika salah satunya dihapus, misalnya bagian harus minum dulu, bukannya ujung-ujungnya kita bisa tersedak? Atau bagian cuci tangan dihapuskan, maka kita bisa cacingan.

Lalu dia mengatakan contoh saya tidak relevan.

Pembicaraan ini membawa saya pada satu kesimpulan. Semua konsep tentang tuhan itu sendiri tidak ada yang terbukti benar seratus persen (seperti hukum gravitasi misalnya). Jadi memilih percaya atau tidak percaya sebenarnya sama saja.

Cuma saya percaya. Dan kepercayaan saya itu saya golongkan kepada keyakinan. Yakin pada sesuatu yang tidak terbukti. Tanpa saya lihat sendiri. Orang yang tidak percaya juga punya keyakinan yang sama. Mereka yakin akan sesuatu yang sejujurnya tidak terbukti secara otentik. Jadi lebih baik masalah tuhan dan embel-embelnya tidak dibawa ke dalam ruang publik. But what the hell am I doing here? Huahahahaha.

Dan saya yakin seratus persen pembicaraan ini mengakibatkan saya dan dia menjadi semakin keras kepala. Walhasil saya dan dia tidak bisa menyatukan konsep.

Tapi saya selalu senang pembicaraan seperti ini. Karena jujur, entah kenapa saya makin percaya sama si Tuhan.

Kami saling adu konsep. Debat bukan konversasional. Tapi sialnya saya merasa debat itu sangat seksi. Damn!
Ps. Silahkan caci maki tulisan ini. Saya tidak akan memberi tanggapan. Tapi ga janji ya ;p

|

Sex Talk (Without Conclusion)

Hari minggu. Sudah dua hari ini saya tidak keluar rumah! Sangat mengagumkan! Dua hari tanpa melakukan apa-apa. Bermalas-malasan, baca buku sampai mata rabun. Biasanya saya langsung demam. Tapi kali ini entah mengapa saya tidak keberatan. Yah walaupun saya tetap keluar rumah sekedar untuk membeli makan siang saya.

Seperti biasa minggu malam ayah saya menelepon. Kangen? Saya juga tidak tahu pasti. Mungkin mereka (ayah dan ibu saya) merasa kesepian karena tidak ada lagi yang mengajak mereka berantam semenjak anak-anaknya merantau.

Udah gereja belum?

(Menipu) Udah tadi jam setengah enam.

Sama siapa?

Sendirian.
(kadang-kadang menipu lebih baik daripada berbohong)

Setelah ngalor ngidul kesana kemari tiba-tiba ayah saya bertanya,

Kapan rupanya kau selesai? (kuliah)

Dua tahun lagi lah pak (menjawab dengan jantung berdegup kencang)

Nanti kau kos aja lah. Kan kakak-kakak udah lulus semua

Iyalah pak. Atau siapa tau aku udah punya apartemen sendiri. (well…keep hoping darling…)

Wah baguslah itu! Memang kita gak boleh lupa berharap dan bermimpi. (Ajaib kata-kata ini keluar dari mulut ayah saya!). Asal kuliah selesai dululah.

(Mencoba yang lebih dashyat). Kalo aku pak, sambil kuliah maunya kerja juga.

Bagus itu (WHAAAATTT???? Bokap gue kerasukan apa nih?). Bapak aja dulu semua dibabat. Kuliah iya. Kerja iya. Kawin iya (Upsss…anti klimaks! Huahahaha)

Well, ayah saya kerasukan apa hari ini saya tidak tahu. Tapi setidaknya saya cukup lega mendengar pemikirannya tidak jauh beda dengan saya.

Kecuali masalah kawin.

Sebenarnya tidak apa-apa jika dia mengatakan pada dirinya. Namun saya hanya menangkap begitu banyak orang yang mengklasifikasikan pernikahan sebagai achievement. Apalagi di kultur saya yang notabene batak, berapapun besarnya penghasilan saya, sebanyak apapun gelar yang tercantum di nama saya, itu tidak akan berarti apa-apa kecuali saya telah menikah. Saya tidak dapat berperan apapun di dalam adat

Saya rasa begitu juga keadaannya di dalam masyarakat. Tidak jarang kita melihat orang merasa harus kasihan atau merasa harus memandang rendah kepada orang yang melajang. Saya tidak mengerti.

Jangankan menikah. Tidak punya pacar saja dianggap memalukan.

Sebenarnya apa sih yang membuat pernikahan didewa-dewakan? Saya sendiri tidak tahu pasti karena saya bukan ahli sejarah maupun antropolog.

Sejauh ini saya hanya menganggap pernikahan sebagai ticket to sex. Sex yang dilembagakan. Kalau begitu bisa diambil kesimpulan, sex itu buruk. Karena harus dapat tiket dulu untuk melakukannya. Sementara orang dulu mendewakan sex sebagai keajaiban, sampai bahkan salah satu cara untuk berjumpa tuhan. Orang bisa saja mengatakan sex itu agung oleh karena itu butuh tiket untuk melakukannya. Namun saya pribadi lebih suka pendapat yang pertama.

Atau saya punya teori lain. Manusia (saya maksudkan lelaki) menganggap partner sex mereka (perempuan) sebegitu rendahnya atau kotornya sehingga untuk melakukan sex saja perlu suatu pengesahan, perjanjian atau persetujuan orang yang pihak yang lebih tinggi (yang memberikan pengesahan perkawinan). Baiklah saya tidak punya teori pendukung apapun untuk statement ini.

Tapi masuk akal bila kita melihat ke belakang. Perempuan pernah dianggap separuh dari proses pencerahan spiritual. Karena penyatuan sex alamiah antara lelaki dan perempuan pernah dianggap cara mengutuhkan diri secara spiritual. Dua duanya seimbang. Laki-laki dan perempuan sama-sama seimbang. Keduanya saling melengkapi untuk mencapai keutuhan.

Zaman berubah. Laki-laki diatas perempuan. Selanjutnya sex dianggap kotor. (Terbukti dari orang suci yang memilih hidup tanpa sex. Diluar orang suci? Tentu saja kotor)

Lalu bila sex selanjutnya dianggap kotor dan hina, maka jangan-jangan itu bukan disebabkan masalah sex nya. Namun masalah partner sex nya. Jadi perempuan dianggap kotor sehingga berhubungan sex dengannya dianggap hina. Lalu lembaga pernikahan diperlukan untuk menaikkan status perempuan menjadi layak untuk berhubungan sex. Dan si laki-laki tidak merasa hina lagi karena si perempuan yang tadinya kotor sudah tidak kotor lagi karena pernikahan. Dan sialnya lagi, perempuan punya selaput dara yang membuktikan dia perawan atau tidak (konsep yang sangat teramat tolol), namun laki-laki tidak punya selaput penis untuk membuktikannya.

Jadi seolah-olah laki-laki menyelamatkan atau menaikkan derajat wanita dengan cara menjadikannya istri. Hal ini dapat dibuktikan dari betapa miringnya pendapat masyarakat tentang perempuan yang tidak menikah (apalagi berhubungan sex tanpa menikah). Namun tidak terlalu buruk jika laki-laki yang tidak menikah. Perempuan tidak menikah walaupun dia sesukses apapun dalam bidang lain, tetap saja disebut perawan tua (yang maknanya sangat negatif). Sedangkan laki-laki, jika tidak menikah, bisa saja dianggap keren apalagi kalau dia punya mobil sport berharga milyaran rupiah, punya rumah dimana-mana apalagi kalau punya wanita dimana-mana (Contoh: tokoh fiktif James Bond). Laki-laki dikatakan bujang lapuk jika dia selain tidak menikah, dia juga miskin dan terpuruk secara social. Perempuan? Jangan harap. Mau dia sekaya apapun, namanya tetap saja perawan tua. (Contoh: Seorang tante yang berpenghasilan 150 juta rupiah dalam sehari namun memilih untuk tidak menikah. Karena ini tidak fiktif maka lebih baik namanya tidak disebut).

Saya (dan mungkin anda juga) jadi pusing… daripada berputar-putar nggak jelas, mungkin lebih nyaman kalau sex dipisahkan dari perkawinan.

Jadi kembali ke pertanyaan awal. Kenapa pernikahan begitu didewa-dewakan? Jujur saja saya tidak tahu. Karena pembahasan saya diatas sudah ngalor ngidul gak keruan. Mungkin ada yang bisa membantu saya?

Atau topik pernikahan mungkin kurang menarik. Baiklah. Lain kali saya menulis tentang sex saja tanpa embel-embel pernikahan.

|

Friday, March 18, 2005

Slap on My Face

Pernah seorang teman baik saya mengajak saya bergabung dengan teman-temannya. Jujur saja saya malasnya bukan main. Masalahnya saya yakin bakal terjadi generation gap antara kami. Bukannya saya tidak bisa menyesuaikan diri, Cuma kadang-kadang orang berusia 25 tahun ke atas menganggap saya (yang notabene berumur 20) masih anak-anak. And I really hate that! You’ll never know until you try!
Tapi saya iyakan juga ajakannya. Dan seperti yang saya tebak, situasi memang tidak enak. Apalagi saya benar-benar bukan pemulai. Saya adalah penyesuai.

Penasaran lantas saya tanyakan pada teman saya. Apa sih pendapat teman-temannya terhadap saya. Dan tidak diduga-duga, jawabannya: dandanan elo gak matching.

Slap on my face!!! Bisa anda bayangkan bagaimana reaksi saya terhadap statement itu. Masalahnya saya sangat concern terhadap penampilan.

Well I can’t do anything beside wonder. Apa iya? Hummm… setelah menilas balik penampilan saya saat itu, jelas jawabannya tidak! Apa salahnya kemeja cowboy kotak-kotak biru, digulung ¾, jeans, moccasin, dan tas sandang? Nothing at all! Terlalu standar malah menurut ukuran saya.

Tapi apa boleh buat statement sudah dinyatakan. Haruskah saya mengubah penampilan? Saya sampai pada kesimpulan. Tidak!

Alasannya simple saja. Saya betul-betul berdandan karena kepuasan pribadi. Sama sekali bukan untuk menyenangkan orang lain. The hell with them!

Aneh menurut saya mengapa fashion justru dianggap sebagai patokan bukannya sebagai pilihan. Nah akibatnya itu tadi. Ada yang sesuai ada yang tidak. But, what if I don’t care about that goddamn fashion? Well okay, that’s a lie. Mungkin pertanyaannya bisa diubah. What if I choose my own fashion, cause I do it for myself not for anybody?

Misalnya. Sepatu platform pernah sangat-sangat tren. Dan entah kenapa Dior beberapa season lalu mengeluarkannya lagi. Damn its horrible, I think. If I was a woman, I don’t even think to wear that kind of shoes! Lantas apakah saya salah tidak memakainya walaupun semua orang di dunia ini memakainya?

I intend to be different from other. Saya orang yang paling benci pada keseragaman. Lalu karena saya tidak sama dengan orang lain maka saya dicap buruk?

Mungkin ini ada di masalah menghormati pilihan.

Lagipula saya tidak begitu memperdulikan jika yang mengatakannya seorang wanita mengenakan pashmina di malam yang sangat panas. First, it’s not even cold! Second, its so last season, darling… you look like lemper…

Terdengar seperti pembelaan diri?

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com