Thursday, October 12, 2006

Scolae

Suatu hari salah seornag teman gila saya memberi kabar kalau di kampus saya AKHIRNYA dibentuk pers mahasiswa. Saya cukup lega mendengar kabar ini karena orang-orang di kampus saya sudah dapat dikatakan berada dalam tahap ‘mengkhawatirkan’ baik dalam pola pikir dan tindakan.

Katanya dia ikut bergabung. Saya juga tadinya berniat. Cuma setelah saya pikir-pikir, lebih baik menunggu dulu. Jangan-jangan organisasi ini ujung-ujungnya cuma jadi perkumpulan orang-orang sok idealis tanpa output apapun.

Pada mulanya mereka menerbitkan media (saya mau menyebutnya majalah, namun terlalu jelek. Menyebutnya jurnal, terlalu kopong. Saya tidak tau namanya apa) berjudul ‘Scolae’. Ide nya dari teman gila saya itu. Sumpah, saya belum pernah mendengar istilah ini. Rupanya katanya itu bahasa latin (atau bahasa apalah saya juga lupa) dari sekolah. Saya hanya mengangguk-ngangguk.

Ternyata media yang diterbitkan pers mahasiswa ini tidak sedashyat namanya. Saya sebagai media watcher, tidak bisa menemukan apapun yang bagus menurut standar saya. Media ini dibuat dari kertas A4 yang dibagi dua. Terdiri dari beberapa lembar. Tipis sekali. Isinya membingungkan. Tidak ada kesatuan konsep. Kelihatannya semua orang ingin menunjukkan kalau dia yang paling pintar. Artikelnya berisi masalah-masalah filosofis yang pembahasannya dirumit-rumitkan bahkan dipersepsikan terlalu jauh sehingga maksud asalnya jadi kabur. Intinya : gagal total. Dapat diduga, media ini cuma keluar dua edisi (yang saya tau).

Daripada membahas ‘scolae’ sebagai media gagal, lebih baik kita membahas ‘scolae’ sebagai kata yang mewakili sebuah makna.

Karena penasaran saya melakukan research. Ternyata ‘scolae’ itu artinya ‘menggunakan waktu luang untuk belajar’. Kata ‘scolae’ berubah menjadi ‘school’ dalam bahasa Inggris dan menjadi ‘sekolah’ dalam bahasa Indonesia.

Dashyat! Kalau menggunakan waktu luang untuk belajar, berarti seharusnya belajar itu menyenangkan. Kenapa saya muak sekali sama sekolah ya? Ah sudahlah…

Saya berpikir, terkadang sebuah sistem itu akan melenceng dari tujuan asalanya jika sudah terlalu lama berjalan. Kalau kita lihat pada mulanya, ‘scolae’ itu sendiri menjamin kegiatan belajar akan menyenangkan. Kenapa? Karena dilakukan di waktu luang. Waktu luang menurut saya adalah waktu dimana orang-orang tidak melakukan apa-apa karena semua pekerjaannya telah selesai. Istirahat. Seharusnya menyenangkan, membuat rileks dan tidak membosankan.

Pikiran saya melayang jauh ke salah satu diskusi saya dan teman saya yang lain. Menurut dia, kebenaran yang diperolehnya sudah dirasa cukup. Sehingga dia merasa tidak perlu mengisi logical gap yang ditemuinya. Waktu itu kami membicarakan masalah agama.

Dengan tetap menghormati pendapatnya, saya berpikir, bagaimana bisa seseorang bisa puas dengan setengah-pengetahuan. Saya rasa kalau semua orang sudah puas, dunia ini akan berhenti berputar.

Dari situ saya berpikir tentang pemuasan kebutuhan akan pengetahuan. Atau saya istilahkan menjadi ‘ingin tahu’. Sejalan dengan ‘lapar’ sehingga ‘ingin makan’ atau ‘sakit perut’ sehingga ‘ingin berak’

Jika asumsi saya akan rasa ‘ingin tahu’ itu benar, maka mustahil sistem bernama sekolah itu dirancang sesuai kebutuhan pemakainya. Karena saya rasa keingintahuan seseorang itu semuanya berbeda dan sangat luas cakupannya. Sementara dengan egoisnya perancang sekolah mengkotak-kotak bidang dan memenjarakan diri dengan label etika profesi. Saya benar-benar heran melihat banyak sahabat saya yang mengambil jurusan psikologi. Mereka dengan sangat bangga tidak memberitahu apapun tentang psikologi demi nama etika. Padahal dengan gampangnya saya bisa membeli buku psikologi dan belajar mengenai test Rhorschah, misalnya.

Pengkotak-kotakan itu sendiri menghalangi saya untuk memuaskan rasa ingin tahu saya. Saya sekarang di jurusan akuntansi. Dulu memang saya ingin tahu bidang akuntansi. Tapi seiring dengan perkembangan, saya tertarik juga dengan dunia desain grafis. Namun sejago apapun saya membuat letterhead atau sebrilian apapun corporate identity yang saya buat, tetap saja saya tidak akan menjad desainer grafis. Karena pengkotak-kotakan itu akan membuat saya menjadi akuntan dan bukannya desainer grafis. Orang yang pantas menyandang gelar itu Cuma lulusan fakultas seni rupa.

Pengkotak-kotakan itu juga mencegah terjadinya percampuran disiplin-disiplin ilmu itu sendiri. Sehingga akuntansi akan tetap menjadi pelajaran paling membosankan yang pernah ada, psikologi menjadi ilmu paling misterius di muka bumi dan ilmu menjahit hanya dipandang sebagai cara membuat pakaian.

Padahal tanpa percampuran, rasanya mustahil kita mengenal komputerisasi sistem perbankan pada saat ini. Tanpa kolaborasi desainer grafis dan ahli komputer, tidak mungkin tercipta software seperti Photoshop atau Corel. Tanpa kolaborasi penjahit dan pebisnis, kita tidak akan mengenal bisnis ritel konveksi dan membuat baju kita sendiri-sendiri.

Sedihnya dunia pendidikan tidak mengijinkan kolaborasi, atau setidaknya pada tahap awal. Mungkin setelah anda mencapai gelar doctoral anda boleh mencoba menggabungkan dua ilmu.

Kapan gelar doctoral itu dicapai? Setelah berumur 50? Ketika usia tidak lagi mengijinkan kita untuk beraktivitas lebih sibuk dari semstinya? Ketike osteoporosis sudah membuat kita bongkok? Ketika semangat kita pudar karena kejenuhan?

Dan sistem sekolah sendiri memantati (mengarahkan pantat-nya, red) hasrat ingin tahu dari orang-orang didalamnya. Mencekoki anggotanya dengan hal-hal yang tidak menarik minatnya, mematikan keunikan setiap pribadi, menggeneralisasi semua orang dengan sistem ujian dan rangking (dan IPK. Damn!), menghukum kesalahan dan masih banyak lagi.

Hah…saya kecewa. Baik terhadap makna ‘scolae’ yang menjadi sekolah, maupun media ‘scolae’ yang hanya terbit dua kali itu.

Sahabat saya dengan cepat mengundurkan diri dari pers mahasiswa. Saya juga mengurungkan niat. Ternyata pers mahasiswa di kampus saya tidak se-cool yang saya bayangkan.

Written only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com