Wednesday, April 19, 2006

Cinta (-) Senggama

I’ve been wondering. Mengapa jatuh cinta disebut “jatuh” dan “cinta”. Mungkin terlalu absurd untuk dibicarakan. Mari kita bicarakan yang lebih menarik dan lebih nyata. Sex.

Setelah saya teliti, ternyata ada perbedaan gramatikal tentang “hubungan sex” pada bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris ”berhubungan sex” juga sering disebut “making love”. Untunglah orang indonesia tidak ikut-ikutan menerjemahkannya menjadi “membuat cinta”.

Bahasa Inggris membuat banyak sinonim untuk “hubungan seks”. Dan semuanya menciptakan suasana tersendiri. “Having sex”; “making love”; “fu*king”, wahtever. Namun kenapa? Kalau melihat kata “making” sebelum kata “love” maka kita akan melihat kalau ternyata menurut pemikiran mereka, “sex” itu “membuat cinta”. Tetapi kita di Indonesia lebih teknikal dan menyebutnya hanya sebatas “senggama”. Kita tidak pernah meromantisasinya dengan sebutan “membuat cinta”. Senggama. Titik. Kalau adapun padanan katanya mungkin itu hanya sebatas “hubungan seks”; “n*****t”, dan saya tidak bisa mengingat yang lainnya. Semuanya teknikal. Semuanya tanpa embel-embel. Diartikan sebagai “berhubungan seks”. Makna dari hubungan seks tersebut? Tidak dijabarkan dalam kata “bersenggama”.

Apakah seks itu membuat cinta? Saya tidak pernah tahu. Pertanyaan paling dasarnya adalah, apakah cinta bisa dibuat? Itu dengan jelas saya katakan tidak.

Maka kembali ke pertanyaan pada paragraf pertama. Mengapa kata “cinta” didahului kata “jatuh” pada awalnya? Bahkan kedua bahasa yang kita bicarakan pun setuju menggunakan term “jatuh”. “Jatuh cinta” – “fall in love” (penggunaan kata “in” mungkin lain kali dapat dibicarakan). Mungkin karena memang cinta tidak bisa dibuat dan orang merasakannya seperti ketidaksengajaan (alangkah bodohnya ada orang yang jatuh karena sengaja). Ups! Saya jatuh!

Tapi kenapa ya orang tidak mengatakan “Ups saya jatuh cinta” seperti selayaknya itu ketidaksengajaan? Saya ada teori yang tidak begitu meyakinkan. Kemungkinan besar dia mengkondisikan dirinya seolah-olah jatuh cinta (padahal tidak). Ketidaksengajaan yang disengaja? Jatuh dibuat-buat? Ini sama konyolnya dengan komedi slapstick (not to mention its sooooo last CENTURY!).

Yang paling menherankan, kata “jatuh” sebelum kata “cinta” menjamin kalau cinta itu pasti menyakitkan. Karena “jatuh” bernuansa kesakitan. Jatuh dari pohon akan sakit karena luka, jatuh jabatan juga pasti sakit hati dan malu setengah mati. Oh my god…perkataan saya sudah mulai mirip dengan lirik lagu dangdut “Percuma saja bercintaaaa kalau kau takut sengsaraaaa”

Lalu kenapa orang melakukannya berkali-kali? Namun kalau dianalogikan dengan kata jatuh yang bernuansa ketidaksengajaan, tidak heran kenapa orang berkali-kali merasakannya.

Selain itu kata jatuh juga bernuansa degradasi. “Jatuh” pasti ke “bawah”. Secara makna, tentu saja di “atas” lebih baik daripada di “bawah”.

Sehingga cinta bisa jadi adalah jurang dalam yang berbentuk perangkap, dingin, gelap dimana orang bisa jatuh karena ketidaksengajaan dan walaupun orang berhasil memanjat dinding-dinding itu dan sampai ke luar, maka dikemudian hari dia kemungkinan akan kembali jatuh ke jurang perangkap yang sama. Setelah berkali-kali jatuh dan kesakitan, sangat tidak masuk akal kenapa orang tetap jatuh ke perangkap yang sama. Apakah jurang perangkap itu sangat mudah bermutasi bentuk sehingga orang tidak mengenalinya lagi sebagai perangkap yang sama? Entahlah…

Mari berpikir positif. Walaupun jatuh ke jurang pasti buntut-buntutnya sakit (atau mungkin mati!) setidak-tidaknya kita pasti mengalami sensasi terjun bebas tanpa hambatan. Banyak yang menyukainya. Seperti bungge jumping!

Karena pemahaman yang baru ini, saya memutuskan untuk berhenti mencari cinta. Selain jatuh dan sakit, jatuh cinta yang bernuansa ketidaksengajaan berarti cinta memang tidak usah dicari. Dia akan tidak sengaja datang seperti saya tidak sengaja lupa mengunci mobil tadi pagi. Ketidaksengajaan bertolak belakang dengan pencarian. Karena “ketidaksengajaan” bernuansa spontan sementara “mencari” bernuansa terstruktur.

Jadi mungkin suatu saat saya cukup sial untuk tertimpa ketidaksengajaan jatuh (ke dalam) cinta. Mungkin saya seperti berjuta-juta orang lainnya akan cukup sial mengalami degradasi bernama cinta, kesakitan karena jatuh, dan merasakan jurang gelap – dingin itu. Dan saya bisa cukup bangga karena saya tetap menjaga harkat cinta sebagai ketidaksengajaan dan tidak dibuat-buat seperti komedi slapstick ;p

Nb. Jangan pikir saya sedang jatuh cinta, apalagi berharap untuk jatuh cinta! Tulisan ini dibuat semata-mata hasil pemikiran tengah malam setelah seharian penuh melakukan hal-hal yang tidak berguna. Heuhehehehe… Dan ijinkan saya mengungkapkan rasa kagum saya kepada pencipta Bahasa Indonesia! Bravo!

Written only by (FNS)

|

Monday, April 17, 2006

WILD ORCHID

Saya sebenarnya bukan penggemar bunga.
Uhm.. maafkan statement di atas. Saya akan koreksi.
Saya sebenarnya senang dengan bunga, tetapi pengalaman-pengalaman saya terdahulu menyebabkan bunga sebagai salah satu icon feminitas dan tanda mata yang indah, tidak mengambil tempat penting dalam daftar preferensi saya.

Perkataan yang sejenis ini, “Perempuan itu seperti bunga, harus dilindungi, dijaga dan dirawat keindahannya. Disiram dan dipupuk supaya selalu segar. Kelopaknya yang halus harus dijaga agar tidak lecet atau rusak apalagi lepas. Kalau rusak sedikit habislah dia. Persis perempuan, jangan sampai rusak.”
BAH!! Benci betul saya mendengarnya. Apa-apaan?! Kelopak apa?! Apa yang rusak? Saya tidak mau diidentifikasikan dengan bunga yang harus dipelihara supaya segar, tak boleh rusak dan harus dijaga keutuhan kelopaknya, jangan sampai lecet apalagi lepas. HUH!!!

Sebenci-bencinya saya pada perumpamaan tersebut, dalam hati saya tetap mengakui bunga itu memang indah. Halus sekali dan tak dapat ditiru manusia, sebagaimanapun ahlinya artis yang melukis atau memahatnya atau secanggih apapun mesin yang menciptakannya.
Yes, flowers are beautiful.

Pada masa-masa muda saya, ketika umur saya belasan tahun hingga awal 20 an, beberapa teman se-gank saya yang cantik-cantik sering sekali mendapatkan bunga dari teman-teman pria kami. Teman sebelah kamar kost saya yang cantik dan pintar tercatat sebagai penerima bunga (secara langsung maupun lewat kurir) terbanyak yang pernah saya tahu.
Kami ber 5. Semua sering sekali menerima bunga, kecuali saya. Tidak sekalipun.

Sejak saat itu saya benci bunga, atau saya pretend untuk membenci bunga, saya terbiasa membenci bunga dan akhirnya saya benci betulan pada bunga. Apalagi bunga mawar.

Tetapi saya punya bunga favorit. Bunga itu namanya gladiol. Bentuknya biasa saja tetapi menurut saya indah sekali. Saya hanya menyukai yang berwarna putih.
Akhirnya saya end up takut pada bunga ini. Bukan benci, tetapi takut. Seakan-akan bunga ini tahu rahasia saya mengapa saya membenci bunga. Dia tahu betapa saya merasa teralienasi dari teman-teman saya yang mendapatkan bunga. Betapa saya kemudian membandingkan diri dengan mereka dan akhirnya menyesali diri sendiri. Kenapa saya tidak secantik mereka, tidak semenarik mereka, tidak se populer mereka.
Saya takut pada bunga itu. Karena dia tahu.

Sekian lama saya men-declare kepada semua orang, that I am not a flower kind of girl. Orang-orang percaya dan sayapun percaya pada statement yang saya ciptakan sendiri.

Dua tahun yang lalu seorang pria berkata kepada saya dalam perbincangan kami di sebuah lounge saat kami minum teh. Meja kami menghadap halaman yang luas tertata asri dan sejuk. Sore yang indah. “Rose tea for me and wild cherry tea for the lady, because that she is,” katanya pada pelayan. Saya terpana. Astaga…
Diskusi kami berlanjut dengan cerita tentang bisnis dan akhirnya perbincangan beralih pada kami berdua.
“…look at you. Free spirited, smart and beautiful young woman. It is just like to see a flower in a land. Beautiful flower, smells good, white, small and pretty. So free with wind blowing and green grass surrounded her. I am in love with the flower. But I know, if I pick her, set her in a vas and put it in my room, the flower will die. So, I buy the land. The whole land, and I can be with my flower forever without taking her freedom from her.”

Saya memandang dia dengan mata membesar. Oh.. I was speechless.
He identified me with flower. And I feel okey. Okey? No I am not okey. I am flattered. I am happy.
Pekataan itu mengubah persepsi saya tentang bunga menjadi tidak terlalu sinis.
In fact I am amazed.
My goodness.. wild cherry and wild flower..
Wow!! hahahaha....

Hubungan saya dengan the buyer of the land tidak betahan lama. Either I am too free for his land or he was to busy buying another land..hehehee… Akhirnya saya berhenti berhubungan dengan dia. Saya tidak tahu di mana dia sekarang. But many of his words and thoughts are still remain.
Beautiful memory.

Hubungan saya dengan bunga menjadi biasa-biasa saja. Walaupun tidak terlalu suka juga. Since akhirnya saya dengan teman se-gank saya berpisah selulus kuliah, dan saya terhindar dari pemandangan pria-pria yang memberikan bunga pada setiap mereka dengan tatap penuh harap. Pffuihh!! Melegakan!

Belum lama ini saya bersama salah seorang teman saya berjalan-jalan di sepanjang jalan dago. Dia seorang penyuka bunga dan pernah memberikan foto-foto bunga hasil jepretannya pada saya. Yah saya sih senang saja, fotonya bagus. Tetapi objek potretnya tidak terlalu membuat saya exciting. Macam-macam bunga ada di situ, tetapi bunga anggrek yang paling jelas fotonya dan paling bagus hasilnya menurut saya.

Saat itu tengah malam. Lalu ia mengajak saya melihat sebuah rumah di belakang sebuah sekolah tinggi di jalan dago. Rumah itu rumah lama dan unik sekali. Kecil dan bercat putih. Beberapa jenis bunga ditanam di halaman depan, cukup terawat walaupun harusnya bisa lebih bagus lagi.
Dinding depannya terbuat dari kaca dan terdapat rak-rak si sepanjang kaca dinding tersebut. Di atas rak terletak souvenir-souvenir dari berbagai negara yang berbeda-beda. Ada boneka matouschka dari eropa timur, ada buku-buku dan beberapa souvenir lain yang saya tidak lihat terlalu jelas karena gelap. Kami mengamati rumah itu dengan kagum dan berbicara berbisik-bisik, memikirkan kemungkinan bagaimana caranya bisa masuk ke dalam. Teman saya berkata bahwa dia penah masuk ke dalam pura-pura ingin mencari kamar kost. Pemiliknya seorang ibu tua yang ramah mengatakan bahwa kamar kostnya sudah penuh. Wah, saya harus meniru taktik itu, kata saya. Dia berjanji akan mengantar saya, lalu kami tertawa tertahan.

Setelah melihat rumah itu kami hening agak lama. Kemudian dia memandang saya, lalu dia mengarahkan tubuh saya menghadapnya. Saya mendongak memandang dia, mengingat tingginya yang 28 cm di atas saya. Kemudian dia menarik tubuh saya merapat dan menempelkan keningnya pada kening saya.
Lama kami dalam posisi itu. Pegel juga leher saya, belum lagi tas kerja saya yang berat berisi 3 kilo laptop cukup menyakiti bahu saya.
Kemudian dia berkata, “Uhm… I can only do this to you…”. Dia diam agak lama sambil memejamkan mata. “Kamu tahu anggrek? Bunga itu tidak bisa diapa-apakan. Tidak boleh dirawat terlalu telaten, disiram teratur, apalagi dipupuk. Dia akan mati. Anggrek harus dibiarkan saja untuk tetap hidup. Kita hanya boleh memandangnya dan menjaga lingkungannya agar tetap baik untuk dia tumbuh, tetapi jangan menyentuh dan mengurusnya terlalu sering. Atau lebih baik dibiarkan sama sekali persis anggrek hutan. Seperti kamu. Harus dibiarkan bebas biar bisa hidup”

There it was, the 2nd pesonification of flower on me.
Saya merenungkan kedua hal itu. Mungkin sudah saatnya saya memandang bunga dari perspektif berbeda. Mungkin selama ini saya consumed by other person’s perspective tanpa memikirkan pendapat saya sendiri.

Well, it takes 2 men for me to reconstruct my paradigm about flower, and about some part of my self. Its not too bad to be a flower, when it is a Wild Orchid that you identified as.
Not to mention that it is sound so telenovela.. hehehe…

(Posted by NCM only)

|

Sunday, April 16, 2006

Friendship Value

Seberapa besarakah anda menghargai sebuah persahabatan?

Mungkin pertanyaan itu jarang tersangkut dipikran anda. Mungkin pertanyaan yang bertolak belakang lebih sering mampir di otak kita. Seberapa besarkah sahabat saya menghargai persahabatan kami?

Well, lets talk about both of it.

Friends come and go all the time. Saya sendiri demikian. Dari sekolah dasar sampai sekarang teman-teman saya datang dan pergi. Sejak SMP saya mulai mengikatkan diri pada sebuah sistem bernama persahabatan. Beberapa masih berlanjut sampai sekarang. Lengkap dengan manis dan pahitnya. Begitu juga SMU. Beberapa masih bertahan.

Lalu apa yang terjadi dengan sahabat-sahabat yang lain? 40 orang dalam kelas saya dahulu? Lebih dari 1000 orang dari teman sekolah saya dulu? Saya tidak mau bertanggung jawab. Mungkin memang gayung tidak bersambut dan pertemanan pun mampet di tengah jalan.

Intersections of friends. Topik ini sudah mulai berdengung-dengung di otak saya akhir-akhir ini. Apakah yang membuat saya memutuskan untuk berpisah dengan orang yang pernah saya anggap sahabat?

Secara logis, alasan yang paling mungkin adalah rasa bosan. Saya mengakui kalau saya adalah orang yang sangat cepat ilfil. Zap! Tiba-tiba saya males bertemu dengan dia.

Alasan kedua kemungkinan besar adalah perbedaan nilai. Seberapa besarpun toleransi saya terhadap perbedaan, saya merasa harus ada nilai-nilai dasar yang memang kami setujui bersama. Walaupun turunan dari nilai itu bisa berbeda, tetap saja nilai dasar tersebut yang tetap bisa menyatukan hati.

Urutan selanjutnya adalah saling menghargai. Apakah saya cukup menghagai pilihannya? Apakah pilihan saya juga dihargai oleh dia?

Dari sikap saling menghargai tentu saja muncul sikap saling peduli. Peduli akan kesulitan dan juga kebahagiaan yang dialami sahabat saya, dan juga sebaliknya.

Selanjutnya ada kepekaan. Hal ini menurut saya cukup krusial. Saya pribadi bukanlah orang yang dengan gampangnya mengutarakan perasaan saya. Apalagi yang menyangkut sahabat saya sendiri. Kepekaan itu menurut saya seperti telepati. Seperti saya-tahu-apa-yang-ada-dipikiranmu. Kemungkinan terjadinya ada dua. Secara alami atau dengan usaha masing-masing orang.

Apakah kepekaan saja cukup? Tentu saja tidak. Kepekaan harus di-tindak-lanjut-i. Dengan apa? Reaksi. Mungkin sebatas saran. Mungkin perbuatan.

Lalu ada sikap tahu diri. Yang satu ini terlalu emosional untuk saya bicarakan sekarang.

Setelah itu ada take and give. Ini menurut saya harus sepadan walaupun kadang tidak setara. Mungkin tidak semua sahabat kita merupakan orang kaya raya. Atau mungkin sebaliknya. Disaat dia memberikan fasilitas, mungkin saya dapat memberi waktu saya untuknya. Memberikan apa yang kita punya dan menerima apa yang kita butuhkan. Cukup gampang kan?

Setelahnya ada usaha. Seberapa ‘klik’ nya pun, tanpa usaha persahabatan akan buntu.

Dan menurut saya yang terakhir adalah, seberapa besar harga persahabatan itu menurut anda, dan bagaimana anda menilai sebuah persahabatan. How important? How do you value your friendship?

Tapi seiring dengan bertambahnya umur yang diromantisasi dengan nama kedewasaan, cenderung persahabatan itu sendiri di-embel-embel-i banyak hal. Keuntungan apa yang bisa saya dapat dari sahabat saya? Buat apa saya melakukannya kalau dia tidak pernah melakukan hal tersebut kepada saya? Apakah bersahabat dengan dia cukup menyenangkan? Saat dia senang saya akan ikut, tapi haruskah saya ikut saat dia sedih?

Dan keadaan ini makin parah ketika kita berhenti untuk saling merayakan pilihan sahabat kita, tapi mulai untuk menilainya. Sehingga pasti ada saja yang salah di mata kita.

Saya sendiri sangat menghargai persahabatan saya. Persahabatan saya sangat penting dalam hidup saya. Namun bagaimana dengan sahabat saya? Apakah dia menganggap persahabatannya dengan saya cukup berharga? Apakah persahabatannya dengan saya merupakan hal yang penting juga dalam hidupnya? Karena it always takes two to tango.

Mungkin ini pertanyaan saya yang tidak dapat saya jawab sendiri.

Saya merasa seperti bertepuk sebelah tangan…

Ah, jangan-jangan saya hanya over expecting…

(To all my friends, I love u all)

posted only by (FNS)

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com