Wednesday, January 05, 2005

Atribut

Pengertian akan sesuatu membuat kita bergerak pada tahap selanjutnya, yaitu penilaian. Dan sesudah kita menilai lalu kita dapat mengambil keputusan

Susahnya, kita seringkali mempermasalahkan atribut masing-masing maupun atribut dari objek, masalah ataupun manusia yang kita nilai. Mulai dari ras, agama, tingkat pendidikan, jabatan, posisi sebagai orangtua, sebagai anak, dan lain-lain. Kita cenderung tidak bisa melihat esensi dari sesuatu.

Ibarat seorang jendral yang merasa harus melekatkan pangkat-pangkat nya kemana pun dia pergi supaya dihormati orang (walaupun merepotkan). Atau bisa juga seperti orang yang mencantumkan gelarnya yang seabrek-abrek di depan atau di belakang namanya. Selain untuk tujuan akademis, saya rasa hal itu tidak ada gunanya selain untuk pamer dan mungkin dia mengharapkan suatu reaksi dari orang lain seperti rasa segan, misalnya.

Kita cenderung tidak bisa menangkap esensi dari seseorang. Semuanya ditutupi atribut, pangkat, gelar yang indah-indah, menyilaukan mata dan cenderung memberi kesan berkuasa. Atau minimal lebih tinggi atau lebih rendah dari seseorang.

Ukuran komparatif.

Lantas penilaian yang adil pun tak bisa lagi dibuat karena atribut-atribut tadi. Dan karena penilaiannya tidak adil, maka pengambilan keputusan pun tidak bisa diharapkan keadilannya.

Liburan tahun baru kali ini yang saya habiskan di medan, membuat saya bertambah enam kilo sampai detik ini! Baiklah, ini tidak penting ;p Selain timbunan lemak, saya juga memperoleh banyak cerita-cerita tentang pasca tsunami di aceh.

Jadi seorang teman yang menjadi relawan ke aceh membawa cerita kepada kami teman-temannya. Lantas dia bercerita, ditengah keprihatinan yang sedemikian, terjadi suatu ketidakadilan lagi. Dan yang lebih parahnya, dilakukan oleh sesama penderita bencana.

Mereka-mereka yang keturunan tionghoa, dinomorduakan oleh pribumi. Jadi di kamp-kamp pengungsian, mereka tidak diperbolehkan mengakses dapur umum. Akses dipegang oleh bangsa kita yang tercinta ini. Dan sudah bisa ditebak, orang-orang tionghoa itu tadi tidak mendapat makanan sama sekali. Dan lebih parahnya lagi, saudara-saudara pribumi kita yang tercinta itu, tega-teganya menjual makanan tersebut kepada orang-orang tionghoa. Geram sekali saya mendengarnya!

Aneh. Salah satu yang saya pelajari dari sistem ospek di universitas adalah, kalau kita sama-sama tertekan kita cenderung bersatu. Nah yang ini malah kebalikannya. Sudah sama-sama menderita pun mereka bisa melakukan hal setega itu.

Sudah sefanatik itulah bangsa kita. Sampai-sampai hati nurani pun tak tergubris sama sekali. Dan bukan itu saja, logika pun sudah tidak jalan lagi. Pemusingan akan atribut-atribut yang cenderung diciptakan sendiri tersebut, telah mendorong kita menjadi fanatik sempit sehingga berani-beraninya menindas orang lain. Dan tidak bisa dipungkiri, fanatisme hanya karena disebabkan sempitnya pikiran dan miskinnya rasa.

Hummm.... sayangnya saya tidak bisa berbuat apa-apa selain ngomong. Bahkan jika saya berada di TKP sekalipun mungkin saya hanya akan diam menonton, lalu mencari laptop dan menulis hal yang kurang lebih sama dengan apa yang saya tulis sekarang.

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com