Tuesday, November 22, 2005

Dapat Ponten Seratus

Saya baru-baru ini membaca suatu buku berjudul “The rise of PR, the fall of advertising”. Sahabat saya mencaci-maki buku ini dengan alasan buku itu hanya berlaku untuk ‘jualan’ saja. Saya tersenyum sendiri.

Namun saya bukan mau membahas pendapat sahabat saya atau buku itu secara keseluruhan, saya hanya tertarik membahas salah satu pendapat yang diajukannya. Buku itu berkata segala sesuatu yang sudah kehilangan fungsinya akan berubah menjadi seni. Dalam buku itu dikatakan, periklanan sudah tidak efektif lagi, sehingga dia berubah menjadi seni. Sama dengan lukisan yang dulunya dipakai untuk mengabadikan, sekarang sudah menjadi seni karena sudah dikenal kamera atau video.

Saya setuju.

Pemikiran saya beranjak kepada penilaian. Jika seni berarti sesuatu yang telah kehilangan fungsinya, apakah yang menjadi parameter untuk mengukur kualitas nya? Tentu saja menjadi abstrak.

Mobil dikatakan bagus jika dia memenuhi parameter seperti akselerasi, ergonomi, kecepatan, hemat bahan bakar, dan lain-lain. Ponsel dikatakan bagus jika mempunyai fitur kamera, bisa mengakses internet, atau apapun lah bahsa teknologi itu.

Namun bagaimana kita menilai seni? Apakah paramternya? Setelah berpikir, saya sampai pada kesimpulan, tidak ada. Seni hanya bisa dinilai secara subjektif. Istilahnya dalam lomba fotografi, mengikuti selera juri. Mungkinkah penilaian yang notabene selera individu itu distandarisasi? Tentu saja tidak. Setiap individu itu berbeda, bukan?

Saya punya contoh kasus yang sangat menarik. Tidak lama sebelum ini, saya dan teman-baru-kenal membicarakan suatu buku yang sangat saya benci. Supernova. Hehehehe. Saat itu saya hendak berenang bersama sahabat-sahabat saya (kami berbicara melalui sms).

Dia berrtanya mengapa saya membenci Supernova (yang sangat dia cintai). Saya berkata (seperti yang sering saya katakan), novel itu (menurut saya) me-rumit-kan masalah yang sebetulnya simple. Lalu saya uraikan lagi hal-hal seperti penempatan iptek yang salah (yang saya contek dari artikel seorang profesor yang dimuat di media massa terkemuka).

Entah kenapa teman saya merasa perlu bertanya, ”Lu udah baca buku itu belum?”. Tentu saja saya malas menjawab…

Lalu dia bertanya lagi apakah saya sudah membaca buku itu baik-baik? Dan dia kemudian menjabarkan kalau novel itu ternyata berbicara tentang keseimbangan otak kiri dan otak kanan, intuisi dan logika, dan hal-hal semacam itu. saya berpikir dalam hati, dia nyontek dari ulasan siapa yah? Huehehhe

Jujur saja saya baru tahu. Saya mendapat kesan memang Ny. Siahaan (nama resmi Dewi Lestari saat ini ;p) memang berbicara tentang keseimbangan, namun sejujurnya saya benar-benar tidak tahu kalau keseimbangan yang dia bicarakan adalah tentang keseimbangan otak kiri dan otak kanan.

Lalu teman saya berkata lagi kalau pendapat professor (yang menurutnya sangat emosional itu), sudah dibantah sendiri oleh Dewi sang penulis dan membuat teori si professor berada dalam area abu-abu.

Karena pembicaraan sudah berada dalam tahap aku-benar-kamu-salah, maka saya tidak menimpali. Walaupun dalam hati saya berpikir. Seorang professor ahli fisika yang menghabiskan hidupnya berkutat dalam dunia fisika bisa dibuat berada dalam grey area oleh seorang penyanyi yang kebetulan bisa menulis dan tau teori fisika dari hanya membaca sekilas? Tampak meragukan ;p

Kemudian dia berkata bahwa Supernova memang banyak kekurangannya, namun semua yang saya katakan tidak termasuk kekurangannya karena hal tersebut salah adanya. Hummm…ternyata kami kembali lagi kepada situasi aku-benar-kamu-salah.

Lalu kami sama-sama mulai judging satu sama lain.

Dia nge-judge kalau saya judgemental.

Lalu saya nge-judge juga. Saya katakan semua orang pada dasarnya memang judgemental. Yang saya maksudkan disini, bercerminlah sebelum berucap. Apakah dia menangkap maksud saya? Semoga! Wong mengeinterpretasikan pasangan homoseksual menjadi keseimbangan otak saja, bisa kok ;p

Lalu dia nge-judge, judgemental itu menilai without being wise. Apakah itu saya? Saya gagal menginterpretasikannya. Wong menginterpretasikan pasangan homoseksual saja saya tidak bisa ;p

Lalu saya bingung mau nge-judge siapa lagi. Hehehehe.

Saya menarik banyak pelajaran dari pembicaraan kami.

Yang pertama saya benar-benar membuktikan ternyata penilaian terhadap seni benar-benar hanya bisa dilakukan secara subjektif. Menurut saya bagus, menurut orang lain belum tentu. Lalu apakah yang dijadikan patokan? Tentu saja suara terbanyak.

Yang kedua, saya tetap bingung mengapa Dewi Lestari menggambarkan keseimbangan otak kiri dan otak kanan melalui pasangan homoseksual laki-laki. Apakah dunia Dewi terlalu patriarki sehingga mencap otak berada dalam dunia laki-laki? (homoseksual tetap laki-laki toh?).

Atau ada kemungkinan lain. Jangan-jangan Dewi sendiri tidak bermaksud demikian. Jangan-jangan dia hanya menganggap itu menarik dan memuatnya di novelnya.

Lalu ide siapa keseimbangan otak itu? Mungkin saja para pengulasnya. Karena berada dalam penilaian subjektif, saya gampang saja mengartikan apa saja menjadi keseimbangan otak kiri dan kanan. Kucing bertengkar dengan anjing pun bisa saya artikan menjadi keseimbangan otak kiri dan kanan. Baguskah analogi saya? Kucing dan anjing, lalu otak kiri dan otak kanan. Menurut saya itu ide buruk. Tidak tahu menurut anda.

Yang ketiga, karena berada dalam subjektifitas, maka pembahasan seperti ini seharusnya dihindarkan dari debat. Karena sistem debat yang mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, maka debat akan menjadi sia-sia. Karena benar dan salah hanya akan menjadi sesuatu yang nisbi dalam penilaian subjektif.

Keempat, karena penilaian bersifat subjektif maka setiap orang punya hak masing-masing untuk mengklaim suatu karya seni itu bagus apa tidak. Semua orang punya hak untuk suka ataupun tidak, semua orang juga punya hak memiliki alsannya masing-masing. Kebebasan menilai tentu saja sama dengan kebebasan berkreasi.

Kelima, masih tidak jauh dari poin keempat, mari berbicara interpretasi. Setiap orang tentu saja berhak mempunyai interpretasi masing-masing terhadap simbol-simbol seni. Sama dengan setiap penciptanya berhak menciptakan simbol-simbol tersebut. Jika diibaratkan dengan Supernova, tentu saja saya berhak menginterpretasikan pasangan homoseksual itu hanya semata-mata mencari sensasi saja. Wajar toh?

Keenam, saya kembali belajar bahwa impression kita terhadap seseorang seringkali merupakan refleksi dari diri kita sendiri. Seringkali proyeksi terhadap apa yang kita rasakan. Misalnya, jika saya suka kepada seseorang, saya katakan orang tersebut yang suka terhadap saya. Atau jika saya berkata seseorang sombong, jangan-jangan karena saya yang sombong. Jangan-jangan saya yang tidak menyapa atau tersenyum kepadanya.

Ditengah-tengah swimming session saya yang jelas-jelas bersuasana santai dan ceria, tentu saja pembicaraan kami berdua saya anggap lucu sekali. Apalagi dia menutup pembicaraan dengan kalimat ”Berenang lagi deh, biar otak lu dingin...”

Upssss....? Huehehhehehhe

(FNS)

|

Wednesday, November 16, 2005

Identity or Chemistry

Salah seorang teman pria saya pernah berkata pada saya, ”You make me feel like a king.” Teman pria saya yang lain menulis buat saya “You make me feel like a man”. Bingung dengan statement mereka, lantas saya berpikir, kualitas apa yang ada dalam diri saya sehingga mereka bisa merasa demikian? Apa yang telah saya lakukan? Apakah saya menunjukkan kualitas stereotipe gender tentang bagaimana seorang perempuan umumnya ketika bersama dengan mereka? Adakah saya penuh kelembutan, manis, manja, penurut dan menggemaskan ketika bersama dengan mereka? Seingat saya tidak. Saya lebih ke arah pemberontak dan kritis ketika bersama mereka. Selalu bertanya dan ingin tahu segala hal sampai tuntas apabila berbincang dengan mereka. Jangankan lembut, setuju dengan pendapat merekapun jarang. Menggemaskan? Itulah kualitas yang tidak saya punya dalam kepribadian saya.

Terus ada apa dengan pria-pria ini?

Lantas saya bertanya pada salah seorang teman pria saya yang lain, ”Do you need a woman to make you feel like a man?” Jawabnya “Of course. Because you girls have pussies and we have dicks. Those are the differences between us, rite?”

Waduh! Saya bertanya pada orang yang salah. Soal vagina dan penis itu memang benar. Tapi saya ingin tahu pandapatnya soal ini lebih kepada emosi, bukan anatomi. Memaklumi kondisi otak pria yang 90% diisi oleh sex, akhirnya saya melanjutkan diskusi kami ke topik yang lain.

Kemarin saya check in dengan salah seorang sahabat saya. Setelah ngobrol semalam suntuk akhirnya menjelang subuh saya bertanya padanya, “Honey, do you need a man to make you feel like a woman?” Dia berpikir sebentar dan akhirnya menjawab, “Ada hal-hal tertentu yang gua butuh pria untuk merasa menjadi wanita tetapi ada juga yang tidak.” Dia menjelaskan bahwa dengan adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki makanya ada perempuan dan laki-laki. Kalau semuanya sama yah tidak ada perempuan dan tidak ada juga laki-laki. Jawaban itu benar walaupun tidak terlalu memuaskan saya. Lagi-lagi terminologi yang digambarkannya mengarah kepada perbedaan anatomi.

Saya kemudian berpikir lagi, do I need a man to make me feel like a woman? Do I ever feel like a woman because of the existence of a man?

Apa yang membuat laki-laki dan perempuan berbeda? Vagina dan penis sudah jelas, payudara dan rahim, testikel dan klitoris, testosterone dan progesterone semua jelas memberikan perbedaan. Tetapi bukankah itu terlalu general. Ketika teman pria saya menyatakan “you make me feel like a man” dia mengaku tidak menyatakannya untuk semua wanita yang ditemuinya. Jadi statement tersebut kelihatannya tidak ada hubungannya dengan anatomi.

Suatu ketika saya mengalami affectionate moment dengan pasangan saya. It was beautiful, he treated me so well. Saat itu saya merasa sangat bahagia. Dia tahu bagaimana seharusnya memperlakukan seorang wanita. Ketika mengingat kejadian itu saya jadi berpikir, saya merasa “diperlakukan” seperti bagaimana seharusnya wanita diperlakukan. Berarti perasaan “feel like a woman atau a man” terjadi karena perlakuan seseorang? Kebetulan dia adalah seorang pria, dan hubungan kami adalah hubungan heterogen. Terus bagaimana dengan hubungan seorang pria dengan pria atau wanita dengan wanita? Apakah pasangan gay tidak merasa sebagai pria atau merasa sebagai wanita saat berhubungan dengan pasangannya yang kebetulan berjenis kelamin sama?

Penasaran akan hal ini saya bertanya pada salah satu teman gay saya, does he feel like a man when he make love with his boy friend? Dia menjawab, “When I make love with my boyfriend, it’s not for making me like a man, but to make me feel the experience of love (to love and be loved) more intensely. Being a man has nothing to do with sex or anyone. I guess it’s more into the ‘be your self’ stuff.”

Kalau begitu seorang pria gay lebih yakin dengan kelaki-lakiannya dibanding seorang pria straight? Buktinya dia tidak merasa perlu seorang perempuan untuk merasa seperti laki-laki. Tetapi again, saya rasa itu juga tidak bisa di generalisasikan.

Saya setuju dengan pendapat teman gay saya. I am a woman dan tidak ada yang bisa mengubah itu. I am a woman anywhere with whomever. Terus apa penjelasan terhadap perasaan saya ketika mengalami affectionate moment dengan pasangan saya? Apakah karena perlakuannya terhadap saya? Atau karena adanya chemistry di antara kami yang membuat perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki menjadi terlihat dan terejawantah dalam bentuk afeksi terhadap satu sama lain? Mungkin itu jawabannya.

Saya berkesimpulan feel like a woman or a man berbeda dengan be a woman or a man. Be a woman or a man is identity dan feel like a woman or a man is chemistry.

Mungkin ketika itu energi feminine saya begitu besar sehingga masculinity mereka jadi terlihat signifikan dan sebaliknya. Dan again saya berpikir, apakah untuk memunculkan sisi feminine diperlukan masculinity?

Oh no... sebaiknya saya berhenti menulis tentang ini sampai di sini saja.

(NCM)

|

Sunday, November 13, 2005

Affair Construction

I once had an affair with a man during my time with my ex. My affair partner was an impossibly proud arrogant man, but luckily he got something to back it up. My affair was never easy of course, for I had never had an appetite for easy matters. I mean, if you want an affair, make it difficult, because it is an affair after all. If it is going to be easy, why don’t do it with your legal partner. So both of us put extra efforts to do this relationship (yes… it was a relationship), and decided to make this affair going to be an affair to remember.

Actually this relationship was a typical net-relationship nowadays. He was in the state and of course here I am a half of globe away from him which caused our time to do connection also turned upside down. I met him at my night and he talked to me during his working hours at noon.

As has been told, the affair was never easy, because both of us also not easy kind of persons. Many confrontations, head-aching conversations, disagreements happened during our time. But for me, that was the best part because I took it as the moment to get known well each other and speak our opinion freely without any risk. We also had this agreement, that in a relationship like this we are allowed to express our view which never has been allowed in front of our legal partner. We, especially I, did so many crazy absurd things as results of the condition stood in front of us. It was quiet a moment, enjoyable, for both of us found that we assumed and think differently but tried to understand each other at the same frequent and the same level.

One day we met on the line, and had this conversation about something (probably about religion, belief, existence of God or about sex… I forgot). Long after that, I asked him “What is the next level of our relationship, dear?” Then he asked “What do you mean?” (Actually he said “hah?” but I think that line means like I said other way). He continued asked me, “Do you want to marry me?” I said, “It’s not like that, I mean for a normal relationship, the next level would be marriage. But we agreed to have an affair, so what do you think would be our next level?” He answered, “I dunno, have sex maybe?” And we laughed, and discussed how it will be with our legal partners if they found out we have sex under their nose.

After that he talked about coming to Indonesia to inspect his on-going project in Bandung, also, of course meet me. Without hesitate, he also spokes about the prospective of having sex with me during in Bandung and I feel a sudden head-ache facing this view of him. I am never a big fan of sex, and if I decided to do it, must be with some thousands thoughts before I actually do it. So I make another disagreement, and told him that I was kinda afraid if it happened. I mean the sex thing; I think I am not ready for it. I said we are not meant to be, why should have sex anyway. We had a sharp argument about it until he said “I dunno, I think I am not ready for your rejection”. I said firmly, “I don’t want to have sex with you”. A long paused, and he said,”Are you going to say I am wasting my time here?” And I said, “Yes.” He asked again, “Then, I should cut it off?” I said, “If you wish to”.

There it was… our first disagreement which nothing to do with knowledge, self confidence, human existence, belief, religion and God, and long after I realized it got nothing to do with sex at all. After what I said to him, he suddenly disappeared from the chat room and gone off line. And I never saw him anymore for the next 3 days.

The moment he disappeared from the monitor, I felt pain struck to my throat. Like something thorn apart and something took away from inside me. I felt left behind and this kind of lost and longing feeling which I couldn’t describe. Yet that very late night before sleeping, I thought my lovely affair has gone. Something that gave my days more color, put smile on my face, broadened my horizon without even I realized, has gone. I found that we have different expectation each other. We are no longer run at the same frequent and the same level. I fell asleep with mist in my eyes.

Those were miserable, desperate, angry, regretful 3 days. I checked my monitor every moment and finally found him at day 3, during my office hour. I said “You will never want to talk to me anymore, do you?” He answered me with “Hi, how are you?” coldly. He said something that started another argument. I remembered that I was say that I can’t stand the idea of having sex with him that somehow risen his anger, “Fuck! Sex was never a problem! I can see that you just making an excuse!” The short chat has to cut off for I have to work, and we promised to meet again that night. I never can assist my tasks at the office properly for the rest of the day.

So I met him that night. Again we started with argument and deeply conversation about self existence. After that I said, “Actually I want to say I am sorry. You seem so angry that night.” He answered, “Disappointed, precisely”. I said, “I didn’t mean to”. He said again, “And feel betrayed”. “Which one of our conversations that make you feels betrayed?” I asked. He answered, “From the very start of our chat and introduced each other until before that night”. “I am so confused already dear, would you please structured it to me?” I said.

“Since the first time, we agreed to construct an affair, started with build a foundation, followed by arranging the tiles and the walls, until it already began to be a half house building. But in this rainy season you decided not to continue for putting up the roof. What will be a house without a roof? Only become unuseful house that cannot be lived in. I can sue you for this behavior. The betrayal that I felt is when you decided to terminate the contract at one side. This is ethical. You could easily escape, because there are no writing consequences due to this matter. And I think you take this small prospect to do anything you wish.”


I was very shocked at the moment. He described it so well and I felt like caught on the hand for what I’ve done, even if it’s only on my mind. Long after that, I think again, that maybe I am, without even realized, it is true that I took the chance to escape my self from this relationship. I don’t know why I should do that. Then I think again, maybe I don’t have courage to face further aspect of a relationship, further consequences of an affair. I was afraid. I haven’t got nerve to continue it, while actually this affair has no risk at all. We already have the same opinion that we won’t make this affair to do harm to our legal relationship. Our fight was about he disappointed of me for not being truly and believe on him. This fight made clear that I was not as full hearted as him on doing this relationship, on trusting each other while he already surrendered his heart. Later on, he never forced me to do sex with him. Never.

Afterward during our peace times, one thing he didn’t realize (and never told him either), I came to one conclusion that I don’t want my legal relationship anymore. For I have found my short affair was gave me much more then I could ask from my six years legal relationship.

We did put a roof on the top of our affair construction though. But we forgot one thing. We didn’t set a tool to prevent our house from lightning crash that commonly happened during rainy season. It falls apart. Our house falls apart. Our affair construction has falls apart, gone.

As I remembered, the lightning crash was not that bad actually. Unfortunately our house has started broken. The roof got itself teared off, the walls cracked soon after, and then the building fallen slowly. But one thing, the foundation still remained.

My lovely affair has long gone, but we did (at least I did) succeed to make an affair to remember.
Suddenly, Diana Krall on De-Lovely starts singing in my head; it was just one of those things, just one of those crazy things…

In memory of B.L.

(NCM)

|

Tips Wanita

Terlalu banyak reality show sekarang ini. Sampai-sampai saya pusing sendiri melihatnya. Yang satu wanita direbut 12 laki-laki lah, satu pria direbut 10 wanita. Ada-ada saja. Bahkan ada yang diiming-imingi uang. Ghee…. are we that desperate?

Sebenarnya. Ada cara-cara, bagi anda para wanita, untuk mendapatkan pria menatap kagum dan mengejar-ngejar anda. Tips-tips yang akan saya berikan pada anda tidak kalah dengan tips yang sering dimuat di majalah yang memuat artikel “365 cara membuat pasangan anda menjadi pria multiorgasme”

So let’s check it out

1. Look smart
Siapa sih yang tidak senang melihat wanita yang pintar. Tapi ingat. Ada saat dimana anda tidak perlu terlihat pintar. Justru anda tampak lebih menarik ketika anda tampak tidak tahu apa-apa. Ego laki-laki akan terbelai dan merasa dia tetap berada diatas angin dan dengan senang hati memamerkan pengetahuannya pada anda untuk merebut simpati anda.

2. Don’t be too independent
Sepintar-pintarnya anda mengganti ban atau seahli-ahlinya anda mengenai rangkaian seri dan rangkaian parallel sewaktu memasang steker, ada baiknya ini tidak ditunjukkan. Karena sekali lagi, pria butuh sarana untuk memamerkan keahliannya. Biarkan dia berkotor-kotor, biarkan dia berpanas panas memanjat genteng anda. Karena itulah yang mereka butuhkan. Ego. Toh ada enaknya juga memperkerjakan mereka. Tidak perlu dibayar dan anda lebih banyak memiliki waktu luang.

3. Sekolah
Wanita yang lulus kuliah lebih menarik dibandingkan dengan yang tidak. Dan ada baiknya jangan terlalu tinggi. Karena ini akan mengalahkan posisi si pria. Maka sebaiknya lulus S1 sudah cukup. Atau bahkan D3 pun tak masalah.

4. Bekerja
Wanita yang bekerja menjamin pria agar mereka tidak terlalu sering diganggu. Setidaknya anda melakukan sesuatu sehingga tidak meng-sms dia setiap jam.

5. Jangan terlihat kaya.
Pria mana yang mau terlihat lebih miskin disamping kekasihnya. Walaupun anda mampu membeli birkin bag croco merah marun, ada baiknya anda mengatakan kalau itu adalah hadiah dari orang lain, atau membeli disaat sale (apakah birkin bag perna sale? Tenang. Dia tidak akan tahu). Membelikan dia barang mahal adalah a big no-no. Namun tidak ada salahnya sekali-sekali dengan pesan kalau anda menabung keras untuk membelinya hanya karena anda sangat mencintai-nya.




6. No commitment
Kebebasan adalah kunci utama. Jangan memberi kesan kalau anda sangat ingin menikah dengannya. Walaupun baju pengantin adalah hal yang anda bayangkan setiap kali kencan. Komitmen akan membuatnya lari terbirit-birit.

7. Taktis
Pernah mendengar tarik-ulur? Lakukan! Jual mahal sedikit adalah keharusan. Jangan terlalu menyerahkan diri sepenuhnya walaupun anda sudah siap tidur terlentang (telanjang) di ranjangnya malam ini. Biarkan mereka sedikit berusaha sehingga mereka seolah-olah pegang kendali. Sedikit turbulensi juga diwajibkan. Buat masalah sewaktu-waktu dalam periode tertentu. Setelah berdamai dijamin dia akan langsung semanis anak anjing.

Intinya adalah jangan kalahkan egonya. Don’t be too obvious. Buat seolah-olah semua keputusan berasal dari mereka. Tugas anda hanya memberi pengaruh selihai-lihai nya dan tentu saja sesuai dengan kepentingan anda.

Laki-laki memang mengaku lebih cerdas dari perempuan. Namun jika anda menyadari ego mereka, kita bisa melihat siapa yang bisa dibodohi dan siapa yang memegang kendali.

Nggak susah, toh? (FNS)

|

Saya Tidak Puas!

Kita cenderung tidak puas dengan apa yang kita punyai. Mengingatkan saya pada pepatah basi yang mengatakan rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri.

Namun sebenarnya yang menjadi concern saya bukan masalah perbedaan warna rumput ataupun perbedaan kepemilikan atau apapun mengenai perbedaan. Yang saya maksudkan lebih kepada tawaran-tawaran yang datang kepada kita.

Saya cenderung membutakan mata kita, menoleh ke arah lain, apabila suatu tawaran dihadapkan kepada saya. Tawaran itu cenderung kurang sempurna, terasa kurang pas, kurang memuaskan, dan kurang-kurang lainnya.

Mungkin anda mengatakan saya memang tidak pernah puas. Namun, bukankah kita semua begitu? Kalau kita puas akan segala sesuatu, maka kita tidak akan pernah mengenal pesawat terbang, kita tidak akan mengenal telepon seluler atau apapun yang kita rasakan sekarang ini.

Rasa tidak puas yang kita punya mungkin seharusnya bertujuan untuk kemajuan kehidupan kita sendiri. Sebab jika kita puas, maka dunia pun berhenti berputar.

Sayangnya kita sering mensugesti diri kita sendiri untuk merasa puas akan keadaan, hanya semata-mata memproyeksikan ketidakmampuan kita atau kemalasan kita. Apalagi moral (dan mungkin) agama cenderung mengajarkan banyak orang untuk merasa puas, dan mencap orang yang tidak pernah puas sebagai individu yang tamak. Mungkin alasan ini menjadi salah satu faktor yang membuat banyak ilmuwan menjadi atheis ;p

Mungkin ada benarnya. Namun masuk akal kan jika orang menginginkan sesuatu yang lebih baik? Karena jika tidak, maka individu tersebut akan berhenti berproses yang dalam kata lain berarti mati sebelum saatnya. Seperti zombie.

Tidak ada yang salah dengan bersifat ambisius asalkan hal tersebut tidak mengganggu orang lain, menurut saya.

Namun kembali kepada tawaran. Saya tetap bingung kenapa tawaran yang ada di hadapan saya, selalu saya anggap kurang.

Saya jadi teringat perkataan teman saya di saat kami ngopi dan ngalor ngidul kesana-kemari. Saat itu kami semua diam, dan dia secara tiba-tiba (disertai dengan cara bicara yang mengawang-awang) mengatakan,

“Kenapa ya gue masih jomblo juga? Yang jelas-jelas mau sama gue…gue pasti ga mau. Yang jelas-jelas ogah sama gue…gue malah ngebet…”

Sounds Familiar? Hahaha. Kami kontan tertawa berbarengan.

Well, reality bites, dear….

(Ditulis dalam keputusasaan menghadapi para penggemar saya yang semakin lama semakin sulit dihadapi. Bhuahahhahah. PLAK!)

(FNS)

|

Thursday, November 03, 2005

Tongkat Estafet

Saya baru saja membaca ulang cerpen bikinan sahabat saya. Untaian kata-katanya begitu indah. Saya tak habis kagum sama dia, emang jagonya kalo merangkai kata-kata. Tidak seperti saya, yang hanya bisa menuliskan kata-kata lugas, langsung dan sama sekali tidak terdengar indah. Anyway, dia mengatakan bahwa realitas adalah segala sesuatu yang ada atas kesepakatan bersama.

Saya mengamini defenisi ini. Realitas kita adalah hal-hal yang kita sepakati ada dan eksis, kita sepakati benar salah nya, kita sepakati nilainya, dan diterima oleh orang-orang di sekitar kita. Lalu orang-orang yang bersepakat dengan nilai-nilai ini akan mati-matian mempertahankan realitas yang sudah disepakati tersebut, baik buruk dan benar salah yang sudah tertanam itu untuk mencapai harmoni. Terdengar seperti pelajaran sosiologi ketika saya SMU. But, it has a point. Saya seringkali mendengar inner circle saya mengucapkan “it’s not real… nothing in the world like that” karena mendengar hal-hal yang tidak sesuai realitas kami, atau tidak sesuai nilai yang telah disepakati bersama.

Beberapa menit yang lalu saya berseteru dengan ibu saya (oh… this kind of fight will haunt me forever). Dia menyuruh saya melamar pegawai negeri atau segera menikah karena ayah saya akan pensiun tahun depan. Saya merasa pertikaian ini karena masalah realitas. Realitas keluarga kami (yang secara ‘kebetulan’ adalah keluarga batak, totok, yang hidup di tengah komunitas batak pula) adalah hidup secara linear. Terstruktur, teratur dan terencana. Habis kuliah, bekerja yang aman bergaji tiap bulan - pilih pekerjaan yang berstatus, dan (atau langsung) menikah (saja) (dengan orang batak lagi – untuk menjaga kemurnian ras J), punya anak yang banyak dan harus punya anak laki-laki untuk meneruskan marga.
Kenyataan bahwa orang tua saya cukup sukses dalam karirnya tidak membuat keadaan menjadi berubah. Nilai-nilai yang tertanam itu semakin tertanam kuat karena orang tua kami malah dianggap berhasil dan jadi panutan dalam komunitas batak. Semakin menjadilah mereka menegakkan nilai-nilai itu dengan alasan “apa nanti kata orang..?”

Sialnya (menurut saya malah untungnya) realitas itu tidak lagi menjadi realitas saya. Nilai-nilai yang tadinya saya sepakati, berangsur-angsur saya pertanyakan dan akhirnya tidak saya setujui. Posisi sebagai anak perempuan membuat saya semakin susah saja mengingat ibu saya pernah bilang “perempuan harus tetap berada dalam tanggung jawab orang tuanya sebelum nanti suaminya yang bertanggung jawab atas hidupnya”. Sial betul saya! Hidup saya sudah diatur seperti tongkat estafet. Dioper dari satu pihak ke pihak lain. Dari keluarga saya dan berujung di pihak keluarga suami saya nanti.. oh tuhan...

Semakin saya dewasa saya merasakan perbedaan pandangan dan perbedaan nilai yang makin lama makin tajam antara saya dan orang tua saya. Realitas kami berbeda. Seringkali saya mencoba mendamaikan diri dengan excuse seperti, mereka berasal dari generasi yang berbeda dengan kita, jadi kita sebagai orang muda yang lebih pintar (excuse lagi) harus bisa memaklumi mereka. Tapi ide itupun sudah usang lagi di mata saya. Tidak lagi bisa mendamaikan saya, tidak lagi bisa menenangkan saya, tidak lagi bisa membuat saya diam dan menerima, bahkan saya tidak lagi bisa diam dan menerima.
Hal ini mengendap dan mengkristal di benak saya, hingga saya mulai membenci lembaga yang namanya keluarga. Gawat sekali…

Terus apa realitas saya sekarang? Nilai-nilai apa yang saya yakini kini yang berbeda dengan yang dulu pernah saya yakini? Jawabannya jelas, mengingat pertikaian saya dengan ibu saya tadi dimana saya menolak melamar pegawai negeri dan menolak menikah (sekarang..mungkin.. atau tidak sama sekali?). Saya tidak setuju lagi dengan hidup linear seperti itu. Saya tidak setuju lagi ide tongkat estafet. Saya sudah punya nilai sendiri. Ketimbang linear saya lebih menyukai ambiguity dimana saya bahkan tidak tahu apa yang saya tidak ketahui. Lebih sesuai dengan kepribadian saya yang memang senang dengan ketidak pastian. Ketidakpastian membuat saya berpikir dan ter encourage untuk lebih kreatif. Mendorong saya untuk bertanya-tanya dan menemukan jawabannya, dan kemudian bertanya-tanya lagi dan terus bertanya dan berproses. Membuat saya hidup.

Jadi nilai-nilai yang saya sepakati adalah ambiguity.
Artinya realitas saya ambigu…hehehee…
Terus apa yang salah dengan itu? (NCM)

|

Kalau Bisa Dua Kenapa Harus Satu?

Mungkin anda menyangka saya kemaruk, tapi tidak. saya hanya orang yang tidak pernah puas.
Hehehehe.

Pertama saya bingung mendengar salah satu sahabat saya ingin bergabung menulis di dalam blog ini, namun seperti judul diatas, lebih baik dua daripada satu.

So, setelah tulisan ini, jika anda membaca kredit (NCM) berarti itu ditulis oleh sahabat saya yang bernama Nancy. Jika kredit yang tertulis (FNS), berarti itu hasil tulisan saya, Frans.

Bagaimanapun dua banci tampil yang narsis lebih baik daripada hanya satu. Paling tidak jika tak ada yang setuju dengan saya atau Nancy, kami bisa saling mendukung ;p

Untuk debut nya Nancy akan menulis "Tongkat Estafet". Apa itu? Karena azas kepercayaan maka saya belum membaca tulisan itu sampai tulisan tersebut di-publish.

So, bon apetite!

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com