Monday, February 21, 2005

Kisah si Tampan

Karena libur panjang, maka saya punya waktu lebih luang bahkan untuk menonton televisi. Menyenangkan. Bisa duduk tanpa memikirkan apapun, bersama cemilan yang menggunung dan softdrink. What a life…

Saat itu juga saya berkenalan dengan Spongebob Squarepants. Lucu sekali menurut saya. Tidak seperti kartun lain yang penuh dengan pesan moral. Yang ini benar-benar dibuat untuk tertawa.

Satu episode yang saya ingat. Waktu itu Spongebob memakan es krim buatannya sendiri yang mengandung banyak bawang. Walhasil karena mulutnya bau, dia dijauhi orang lain selain Patrick temannya. Itupun karena Patrick tidak punya hidung karena dia seekor bintang laut. Karena mereka tidak tahu perihal bau mulut itu, maka mereka menyimpulkan Spongebob dijauhi karena dia jelek.

Sedihnya bukan main.

Ketika akhirnya mereka tau Spongebob dijauhi bukan karena dia jelek, mereka berteriak kegirangan. “Kita bukan jelek! Kita hanya bau!”. Huehehhehe….

Memang sedih sekali ya jadi orang jelek? Dan betapa berntungnya jadi orang tampan (maaf saya tidak menemukan kata yang setara namun tidak mengarah kepada gender tertentu).

Mengapa tidak?

Si tampan diistimewakan di mana-mana. Mendapat pelayanan lebih di kafe, mendapat privilege khusus saat berurusan dengan siapapun, mendapat judgement yang baik walaupun dia bodoh, bisa menjadi model kalau dia tidak lulus smu sekalipun, di friendster dia laku keras, kalau jadi dosen (walaupun bodohnya setengah mati) kelasnya akan selalu penuh, kalau dia jadi pembawa berita dia mendapat pekerjaan tambahan sebagai model bahkan bisa dinobatkan menjadi ‘news hunk’ di majalah wanita, dan masih banyak lagi.

Bukan sekali saya mendengar orang mengatakan “Ih…udah jelek lagi…”. Seolah-olah kalau dia tampan maka apapun yang diperbuatnya dapat dimaafkan. Kalau seseorang berpredikat tampan, maka penilaian akan dirinya dapat dipoles sedikit. Kalau dia bodoh, maka seolah-olah kebodohannya masih dapat termaafkan. Demikian juga kalau dia jahat. Jangan-jangan bisa dianggap seksi.

Selain itu tampan juga berarti lebih banyak pilihan. Seperti yang saya utarakan diatas, kalau dia bodoh dia bisa jadi model. Kalau dia pintar dia bisa jadi dosen sekaligus model. Kalau dia ingin menjadi novelis maka novelnya akan laku keras (walaupun novelnya jeleknya bukan main) hanya dengan memajang fotonya di cover depan (And it happened anyway. I really hate that guy). Kalau dia maniak seks, dia bisa menjadi gigolo. Kalau dia miskin maka kemungkinan dia menjadi kaya lebih terbuka. I mean, siapa sih yang tak senang melihat orang tampan? Bahkan bankir sekalipun lebih senang kalo peminjamnya berwajah tampan.

Maka saya paling benci kalau di sebuah novel ada tokoh yang digambarkan ganteng, tampan, cantik, namun kegantengannya tidak membuat perubahan atau tidak berpengaruh apapun. Menurut saya itu malah dapat merubah pandangan pembaca terhadap karakter tersebut.

Tapi kalau dipikir-pikir siapa sih yang tidak suka melihat yang indah-indah? Sebenarnya dilemma juga. Sense kita akan keindahan malah bisa menjadi pisau bermata dua.

Suatu saat di istal majalah saya melihat majalah berjudul “Cosmetics” dengan tagline “Because nobody is perfect”. Ternyata majalah ini mengupas habis masalah bedah plastik. Saya terus terang kagum.

Disaat banyak sekali orang memikirkan masalah etis dari bedah plastik, saya justru bersyukur sekali. Mengapa? Karena tampang fisik seseorang bukan lagi suatu takdir, namun menjadi suatu pilihan. Atau jangan-jangan bisa disebut prestasi. Jadi fisik dapat disamakan dengan penghasilan, misalnya. Pencapaian fisik dapat dinilai lebih adil seperti pencapaian karir. Ckckckck….

Namun bagi anda yang jelek, jangan sedih. Karena kalau predikat jelek tidak ada, maka predikat tampan juga tidak ada. Anda masih dibutuhkan kok, sebagai penyeimbang semesta ;p

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com