Monday, May 30, 2005

Selaput Bernama Dara

Masih perawan…oooo…masih perawan…

<>

Masih perawan...oooo…masih perawan…

Itu penggalan dari lagu yang pernah dipelesetkan teman saya. Aslinya sih itu lagu “Still a Friend of Mine”-nya Incognito. Saya sampai hampir marah lagu kesayangan saya dipelesetkan. Hehehe…

Pernah saya tonton di teve, ada acara namanya Versus. Lumayan heboh sih, berhubung salah satu host-nya Dave Hendrik. Mualeees ga seeehhh? Waktu saya tonton, mereka sedang memperdebatkan masalah keperawanan perempuan.

Sekali lagi saya ingin berteriak! Apa-apaan ini!!!

Saya bingung kenapa isu keperawanan menjadi masalah yang sangat besar. Laki-laki dengan egoisnya mengultimatum perempuan menjaga keperawanannya. Sedangkan perempuan, entah kenapa ikut-ikutan tersugesti mengagung-agungkan keperawanan.

Mungkin ada baiknya jika kita melihat arti keperawanan. Menurut kamus Grolier, kata virgin (perawan) berarti, A person, especially a young women, who has not had sexual intercourse, a chaste women; a maiden; a female animal that has not copulated, dst…dst…

Kalau perawan adalah suatu keadaan, maka harus ada indikasinya. Dan terpilihlah jaringan bernama selaput dara. Karena disimpulkan, jika perempuan yang belum pernah bersenggama selaput dara nya akan tetap utuh.

Dari premis itu bisa diambil kesimpulan, jika selaput dara sudah tidak utuh lagi, maka perempuan dinyatakan tidak perawan.dan sebaliknya. Setuju?

Ada satu pertanyaan yang saya ingat di acara talk show yang saya sebut diatas. “Kalau tidak perawan, suami kita ntar dapet apa?”

Hummm…saya secara berapi-api ingin berteriak: YAH DAPET ELU!!!!

Apa masih kurang? Kalau mencari partner hidup saja penilaiannya berdasarkan sesuatu yang tidak esensi, yah apa mau dikata? Apa mau, punya istri perawan tapi bego nya setengah mati? Perawan tapi pembunuh masal?

Lalu kalau berbicara keperawanan, tidak lengkap tanpa membicarakan comparison. Si perawan akan dicap lebih baik daripada yang tidak.

Mengapa?

Kalau ditanya secara logis, pasti jawabannya akan buntu. Apakah selaput dara menjamin seorang perempuan menjadi orang yang baik hati? Suka menolong? Atau apalah bahasa-bahasa PPKn itu… Terlalu bodoh menurut saya menilai seseorang berdasarkan selapis jaringan.

Selain itu, comparison akan membuat perempuan menjadi objek. Objek penilaian. Yang saya tidak mengertinya, kenapa perempuan justru rela-rela saja dijadikan objek. Bukan hanya oleh laki-laki. Bahkan sesama perempuan sekalipun!

Terakhir. Saya memikirkan suatu kemungkinan. Apakah mungkin konsep keperawanan hanya sesuatu yang diciptakan laki-laki untuk memenuhi ego-nya? Untuk seenaknya membuat perempuan menjadi objek yang bisa dinilai sesukanya? Meletakkan otoritas seenaknya diatas perempuan?

Saya mencium ketidakberesan. Sebuah penilaian menurut saya akan lebih adil kalau si juri memiliki hal yang sama untuk dinilai. Jika perempuan dinilai berdasarkan selaput daranya, lalu laki-laki dinilai keperawanannya dari apa? Seperti Ayu Utami bilang, laki-laki tidak punya selaput penis. Itu membuat keperawanan perempuan menjadi suatu konsep yang berat sebelah. Memenangkan hanya satu pihak saja. Siapa lagi kalau bukan laki-laki?

Dan apakah yang lebih buruk daripada ketidakadilan? :(

|

Monday, May 02, 2005

Tortured by Romance

Hummm… saya bosan menulis hal yang membuat diri saya sendiri pusing. Mari kita berbicara tentang cinta. Ingin tertawa? Silahkan. Karena saya juga!

Well, this is not a love thingy actually. Its more specific on romance. Kalau di-bahasa-indonesia-kan manjadi romansa (kampungan sekali bukan? Karena itu mari kita gunakan kata romance saja)

Here’s the deal. Every single thing in this world is romance related. Musik? Jelas. Ini surganya. Film? Tentu saja. Bahkan film yang berat sekalipun cenderung membicarakan romance atau setidaknya menyelipkan unsure romance. Sastra? Apalagi. Sampai bosan melihat semua buku apalagi novel Indonesia yang isinya romance semua (well mungkin saya terlalu berlebihan). Media? Whups! Anda bisa melihat buktinya di majalah yang kerap memuat artikel berjudul “Menjadikan Pasangan Anda Pria Multiorgasme” atau “Mungkinkah Laki-Laki Mendengar?” atau “Mendapatkan Pasangan dalam Sepuluh Hari”.

Setelah itu saya melihat diri saya. Jomblo? Jelas. No romance at all.

Lalu kombinasikan keduanya. All world talking about romance and I don’t have any of it?

Kesimpulan: curse me!

What a pity don’t u think?

But come on, let’s always see the brightest side in even the darkest thing ;p

Siapa sih yang tidak suka romance? It would be a lie if I say that I don’t like it. Everybody need sex, right? (harharhar). Tapi terkadang saya mendapatkan romance membuat kita yang tidak-tidak.

Seorang teman saya contohnya. Saya sangat menikmati semua perbincangan kami, sampai suatu saat, BANG! He’s got someone to sleep with. After that, its just… I don’t know… mungkin saya yang terlalu sinis, namun saya menganggap dia menjadi bodoh. Jangan tanyakan saya teori pendukung atas kesimpulan tersebut karena saya sendiri juga tidak tahu. Insting saya saja yang berkata demikian. Lagipula, apakah semua harus ada alasannya? We talking about romance, right? Alasan hanya menjadi kata-kata basi disini.

Lalu kembali ke topik kesukaan saya. Ekspektasi. Ya! Romance membuat ekspektasi. Dan ekspektasi mendorong kita untuk menuju jurang kekecewaan. Simple saja. Jika anda tidur dengan seseorang pasti sekecil-kecilnya pasti muncul ekspektasi. Bagi yang relationship freak, mungkin ekspektasinya berwujud “semoga ini yang terakhir”, “semoga kami langgeng”. Bagi yang merana akan perhatian mungkin ekspektasinya hanya kecil. Mungkin hanya “aku hanya berharap dipeluk. Itu saja” atau “well, I guess ‘thank you’ will be nice…”. Tapi bottom line nya tetap saja ekspektasi.

Waste of time. Coba anda bayangkan berapa banyak pekerjaan yang bias anda lakukan secara maksimal tanpa memikirkan pasangan anda. Apakah dia sudah makan? Apa kabarnya hari ini? Damn! She (or maybe, he?) was beautifull last night! I Love him/her!

Pikiran negatif. Untuk beberapa orang, romance justru akan mendorong insekuritas. Tidak aman akan apapun jika berhubungan dengan pasangannya. Mulai dari cemburu, inferior (gosh…is it me? Haha), overprotected, dan mungkin bias sampai mengarang alas an apapun hanya karena takut pasangannya tidak suka lagi terhadap dia. Dan ini terbukti sekali. Saya sudah membuktikan.

Sakit hati. Mari kita sama-sama berkata: Amiiiinnnnn…. Karena kita semua pasti setuju. Apalagi jika masa-masa itu telah berakhir. Menangis semalaman, seperti kata Audi. Atau bisa juga self destruction seperti memukuli diri sendiri, mengurung diri berhari-hari sampai semua terbengkalai, atau bias juga membuat teman kita muak dan ingin muntah mendengar keluh kesah kita yang tak ada habisnya.

Lalu saya lantas bertanya-tanya. Kalau begitu banyak aspek yang merugikan dari romance, mengapa kita cenderung terus mencari-carinya? Merasa malu jika tidak punya pasangan? Saya jelas tidak tahu. Namun saya bisa memikirkan beberapa kemungkinan.

Ini pendapat saya. Kita memulainya. Semua dimulai. Dari deg-degan, nikmatnya mengimajinasikannya di benak kita masing-masing, sampai tahap memulai. Semuanya masih terasa menyenangkan. Exciting. Lalu muncul masalah. Anda bosan, anda cemburu, mulai meributkan hal-hal besar, lalu kemudian meributkan hal-hal kecil yang tidak penting (seperti marah sambil menangis karena terlambat dijemput 10 menit), lalu ekspektasi anda tak terpenuhi, lalu anda kecewa, lalu anda sakit hati, lalu anda berniat memperbaikinya bersama dan memulai siklus itu lagi berulang-ulang. Bisa dibayangkan betapa muak, eneg dan bosannya diri anda. Lalu pada akhirnya semua berakhir! AHHHHHHHHH…. Kelegaan melanda. Seperti orgasme yang tertahan lalu tiba tiba keluar dengan kekuatan ekstra besar! Betapa ekstasi yang menyenangkan! Lepas dari semua perasaan yang mengganggu!

Jadi kesimpulan saya. Mengapa kita terus-menerus mencari romance? Tak bisa hidup tanpanya? Mudah saja. Mungkin karena, it feels so great when its over! (dikutip dari film “Mirror Has Two Faces”).

|
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com