Ma, Tuhan itu ada gak sih?
Minggu kemarin ,seperti minggu-minggu sebelumnya, saya selalu merasa malas ikut kebaktian di gereja. Bukannya tidak mau…biasanya selalu dihalangi oleh kejadian-kejadian (yang menurut saya ;p) tak terduga. Misalnya dengan jam tidur saya yang tidak normal, bangun pagi untuk melakukan ritual adalah pilihan terakhir bagi saya. Selain itu kalau mau gereja sore, apa mau dikata saya sudah pecicilan kesana-kemari (walaupun tanpa penghasilan 20 juta sebulan. Hehehe).
Tapi dengan tekad yang kuat (dan paksaan bangun dari kakak saya), kami berdua pun pergi kebaktian. Penampilan tetap nomor satu…maka karena berdandan, kami hampir saja terlambat.
Masuk, seperti biasa, nyanyi, berdoa, pengakuan iman rasuli, lalu kothbah. Saya selalu berminat terhadap kothbah di kebaktian manapun. Memang saya akui kadang-kadang (baca: sering sekali) tujuan saya hanya mencari celah untuk mencela. Namun tidak jarang juga kok, justru membuat saya lebih berpikir.
Mulai dari pembacaan satu perikop, lalu dibahas panjang lebar. Lalu untuk menyegarkan suasana, dia menceritakan cerita tentang anaknya. Cukup menarik menurut saya. Anaknya baru kelas dua SD (atau kelas tiga yah? Saya lupa). Karena mengalami suatu kejadian, dia bertanya kepada ibunya (yang notabene pendeta, begitu juga ayahnya) pertanyaan yang mengejutkan sang ibu.
“Ma, Tuhan itu ada gak sih?”
Jujur saja, pikiran saya yang mulai ngelantur langsung fokus lagi. Si penginjil lalu bercerita. Dia (tentu saja) sudah mengajarkan konsep keTuhanan kepada sang anak. Mengajarkan dari mulai dasar sampai ritual. Lantas si anak bertanya demikian. Wah…wah…wah…anak sekarang pinter-pinter ya? (Bukan maksud saya mencari dukungan, tapi lihat deh artikel “Kami Butuh Bahasa Baru”. Nyambung looohh…)
Memang akhirnya udah ketebak. Tentu saja si anak kemudian berakhir dengan kepercayaan akan eksistensi Tuhan. Yang mau saya bahas adalah keterbukaan si ibu sekaligus penginjil yang mengakui kalau memang (ini pengakuan dia lho) semua ilmu tentang Tuhan mungkin dia bisa ajarkan, namun masalah percaya apa tidak, tetap tergantung pada orang pribadi. Tergantung dengan hubungan atau kejadian pribadi dengan si Tuhan itu sendiri.
Lalu saya berfikir. Oke. Saya setuju dengan si pendeta. Tanpa bermaksud merusak konsep itu, timbul pertanyaan, mengapa ya banyak orang justru menekankan pentingnya ritualitas daripada religiusitas? Kalau menurut pacar saya sih (yang merasa dibicarakan, I love you! Huahahahha…!!!) secara filosofis kan seharusnya ritualitas menunjang religiusitas. Namun karena masalah konsep kejadian pribadi tadi itu, menurut saya ritualitas itu sendiri tidak bisa diharapkan akan berefek sama pada setiap orang. Ah, itu nantilah di bahas di artikel lain…
Saya dengan tulus mengatakan saya kagum terhadap penginjil yang satu ini. Keterbukaannya terhadap kenyataan membuat dia bisa belajar lebih banyak lagi. Karena biasanya orang-orang kebanyakan (termasuk saya, mungkin) biasanya hanya mau menerima apa yang mau diterima. Contoh: buku-buku self-help biasanya memuat fakta-fakta pendukung saja. Mana mungkin dibuat fakta-fakta yang menyerang. Padahal menurut saya justru kontradiksi seperti itu akan memudahkan saya untuk menilai, lalu saya dapat berusaha sendiri untuk mencari hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi.
Niatnya sih saya mau nyelametin dia lantas diskusi lebih lanjut. Tapi saya takut akan efek-efek serta kejadian-kejadian yang mungkin terjadi selanjutnya, ataupun ekspektasi dari dia yang tidak mungkin saya penuhi. Maka saya memutuskan pergi makan nasi rames dengan kakak saya.