Work – Friendship
Bagaimanakah seseorang menghadapi masalah?
Lebih tepatnya, bagaimana seseorang menghadapi pembuat masalah?
Saya yakin tidak ada aturan ideal untuk ini.
Baru-baru ini seseorang yang saya kenal membuat masalah. Cukup seru. Orang ini dengan lihainya dapat membuat orang-orang disekitarnya membuat kelompok-kelompok. Kalau satu kelompok kontra, maka yang lain akan pro. Dan hebatnya, yang tadinya kontra bisa menjadi pro.
Saya benar-benar heran akan kemampuan persuasive seperti itu. Kagum, lebih tepatnya.
Tapi lebih baik si-pembuat-masalah kita kesampingkan sekarang. Karena saya sudah eneg membahasnya dan kemungkinan besar tulisan saya akan memancing kericuhan kecil di sekitar saya.
Mari kita bahas orang-orang disekitarnya. Baik yang pro maupun yang kontra.
Satu hal yang bisa langsung saya pelajari disini, kebanyakan orang memandang masalah secara bias. Pihak-memihak mustahil ditentukan pemikiran logis. Terkadang pendekatan personal dapat membuat semua orang yang kontra sontak menjadi pro. Pendekatan personal itu misalnya menjelaskan mengapa dia membuat masalah tersebut (baik kenyataan maupun fiktif). Dan tentu saja yang paling terkenal, for-the-sake-of-friendship.
Masalah tetap masalah. Persetan dengan persahabatan…
Jangan salah sangka. Saya bukannya orang yang tidak menghargai persahabatan. Tapi kadang-kadang ada teritori yang tidak bisa dicampur dengan teritori persahabatan. Teritori persahabatan itu private.
Bukankah dengan menggunakan persahabatan sebagai defense mechanism itu taktik yang sangat licik? Apakah atas nama persahabatan masalah yang terjadi akan segera selesai? Apakah kekacauan yang dibuatnya tiba-tiba secara ajaib akan rapi seketika? Apakah semua kesalahannya akan lenyap tiba-tiba seperti tidak pernah terjadi? Tentu saja tidak. Itu hanya tindakan orang pengecut.
Saya bicara tentang tanggung jawab. Ketika seseorang membuat kekacauan, maka konsekuensi logisnya adalah dia seharusnya merapikan kekacauan yang dibuatnya sendiri.
Ketika orang tersebut lari dari tanggungjawabnya, tentu saja orang sekitarnya akan bereaksi. Secara logis seharusnya reaksi yang muncul adalah kontra. Namun ketika area persahabatan masuk ke dalam masalah, maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Lebih parahnya lagi ketika pembuat masalah tersebut menggunakan kelemahannya sendiri sebagai perisai. Dengan kelemahannya dia berhasil meluluhkan hati orang lain. Saya tidak tahu hati mereka benar-benar luluh atau pura-pura luluh supaya disebut berhati nurani atau bermoral baik (tidak seperti saya).
Yang sangat saya sesalkan adalah ketidakmampuan banyak orang untuk melihat masalah secara logis dengan menggunakan nalar. Sehingga ketika si pembuat masalah bikin onar, maka masalah tersebut dicampur-aduk-kan dengan hal-hal lain. Like and dislike misalnya.
Ketika ‘dislike’ berperan maka orang cenderung melihat masalah dengan lebih objektif. Apakah ini berarti orang yang bekerjasama seharusnya tidak menyukai satu sama lain?
Who knows…
Dari pemikiran ini saya berpikir tentang pentingnya sebuah persahabatan.
Sahabat saya pernah mencoba suatu tes terhadap saya. Tes psikologi. Salah satu hasilnya mengatakan kalau penempatan diri saya di lingkunan sosial sangat baik. Tapi saya mempunyai hambatan dalam berelasi intim dengan orang lain. Bahasa lebih umumnya adalah saya tidak gampang menjalin relasi sahabat dengan orang lain karena ada hambatan. Entah itu dari diri saya sendiri atau dari lingkungan saya.
Saya sudah tahu itu.
Dengan gamblang saya mengatakan hal tersebut kepada sahabat saya. tentu saja saya menghambat diri saya sendiri untuk menjalin relasi sebagai sahabat dengan orang lain. Karena pada hakekatnya, saya berpikir dua orang sahabat adalah orang yang mempunyai dasar prinsip yang sama. Dan yang paling crucial adalah saling menghormati. Apa yang harus dihormati ? Tentu saja banyak hal. Area pribadi, filosofi hidup dan masih banyak yang lain.
Dari dasar saling menghormati tersebut saya bersikap sangat memilih untuk masalah sahabat. Ketika sesorang tidak mampu menerima saya dengan segala pemikiran saya maka lebih baik dia pergi jauh-jauh dari hadapan saya. Karena dasar saling menghormati yang saya bicarakan pada pargraf sebelumnya tidak eksis.
Beranjak dari pemikiran tersebut maka saya sangat membenci orang yang menggunakan persahabatan sebagai defense mechanism. Karena menurut saya dia sudah menginjak-nginjak rasa saling menghormati tersebut. Karena dia menggunakan persahabatan itu sebagai alat demi tujuannya. Karena dia menggunakan sahabatnya sendiri demi tujuannya. Karena dengan demilkian dia mengganggu kepentingan orang lain dengan kepentingannya. Karena dia telah merugikan orang lain.
Kepentingan atas persahabatan menurut saya adalah kebutuhan kita akan afeksi. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hal lain. Maka ketika afeksi tersebut disalahgunakan demi tujuan apapun (sadar atau tidak sadar) maka menurut saya persahabatan itu sendiri sudah berakhir saat itu juga.
Saya menjadi sedikit ragu untuk bekerja dengan sahabat-sahabat saya. Karena saya takut saya akan mencemari persahabatan yang telah saya bangun dengan susah payah.
Semoga ketika saya bekerja dengan sahabat, saya dapat tetap menjaga nilai persahabatan saya dengannya. Hal ini saya lakukan karena saya menghormati pemikiran yang telah saya buat sendiri dan menurut saya inilah yang saya percayai sebagai kebenaran yang harus dilakukan.
Tapi kini motivasi saya bertambah.
Jangan sampai saya jadi seperti si pembuat masalah yang saya ceritakan diatas.
Idih...amit-amit...
Jangan sampe....(knock knock knock)
Written only by (FNS)